Ada banyak kritik tajam yang dialamatkan kepada lembaga keuangan syariah (LKS), salah satunya bank Syariah –di negara lain populer dengan bank Islam-, bahwa bank syariah di negara kita ini belum sesuai dengan Syariah yang sebenarnya. Ada seorang da’i yang menyatakan, bahwa bank Syariah “lebih kejam” dari bank konvensional dengan alasan memberanikan diri mengguna dan melampirkan kata “Syariah”, namun pada tataran praktiknya adalah bunga yang diselimuti dan berkedok kata Syariah.
Bagi penulis, pertanyaan serta kritik di atas adalah wajar saja dan merupakan cerminan dari titik kisar pengetahuan masyarakat mengenai kata Syariah. Maka perlu didedah-telisikan mengenai, apa itu Syariah? Bedanya dengan “fikih” dan “hukum Islam”? Siapa yang mempunyai kuasa atau otoritas yang menjamin praktik LKS sesuai dengan Syariah? Khususnya di Indonesia. Pertama, harus memahami, bahwa syariah berbeda dengan fikih dan hukum Islam itu sendiri, jika dilihat dari segi bahasa dan klasifikasinya dalam ajaran Islam. Secara harfiah kata ‘syariah’ berarti jalan, dan lebih khusus lagi jalan menuju ke tempat air.
Dalam arti luas, syariah dimaksudkan keseluruhan ajaran dan norma-norma yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw yang mengatur kehidupan manusia baik dalam aspek kepercayaannya (akidah), maupun dalam aspek tingkah laku praktisnya (amaliah). Singkatnya, syariah adalah ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri. Dalam hal ini, syariah dalam arti luas, identik dengan syarak (asy-syar‘u) dan ad-din (agama Islam). Dalam arti sempit, syariah merujuk kepada aspek praktis (amaliah) dari syariah dalam arti luas, yaitu aspek yang berupa kumpulan ajaran atau norma yang mengatur tingkah laku konkret manusia. Syariah dalam arti sempit inilah yang lazimnya diidentikkan dan diterjemahkan sebagai hukum Islam (Syamsul Anwar, 2008).
Sementara fikih, adalah kata Arab yang bermakna tahu, mengerti dan paham. Sebagai istilah, fikih dipakai dalam dua arti: dalam arti ilmu hukum (jurisprudence), dalam arti hukum itu sendiri (law). Dalam arti pertama, fikih adalah ilmu hukum Islam, yaitu suatu cabang studi yang mengkaji norma-norma syariah dalam kaitannya dengan tingkah laku konkret manusia.
Dalam arti kedua, fikih adalah hukum Islam itu sendiri, yaitu kumpulan norma-norma atau hukum-hukum syarak yang mengatur tingkah laku manusia dalam berbagai dimensi hubungannya, baik hukum-hukum itu ditetapkan langsung dalam al-Quran dan Sunnah Nabi saw, maupun hasil ijtihad, yaitu interpretasi dan penjabaran oleh para ahli hukum Islam (fukaha) terhadap kedua sumber tadi (Syamsul Anwar, 2008).
Di lingkup Indonesia, frasa “Bank Syariah“ mempunyai sejarahnya sendiri dimana secara politik saat itu pemerintahan orde baru cenderung phobia (cemas) dengan penggunaan kata Islam di ruang publik Indonesia. Agar pendirian bank Islam mulus secara politis dan tidak menimbulkan antipati, dipilihlah frasa bank Syariah. Di Indonesia, kesyariahan (sharia compliance) dipahami, dijaga, diatur dalam fatwa dan regulasi-aturan yang sudah dikanonisasikan (undang-undangkan) dan diawasi oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) yang berkolaborasi dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
Para ulama anggota DSN yang berasal dari berbagai Ormas seperti Muhammadiyah bekerja keras-berijtihad kolektif memahami nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadis untuk masalah-masalah kontemporer ekonomi dan bisnis, sehingga dapat dipraktikan dalam dunia nyata seperti halnya dengan akad-akad yang selama ini menjadi dasar praktik untuk banyak produk yang ditawarkan bank Syariah.
Jadi, bank-bank Syariah di Indonesia sudah sesuai dengan Syariah dalam kacamata para ulama DSN MUI. Jika ada pendapat yang berbeda dengan keputusan DSN MUI, tentu itu akan lemah secara legal-politik karena, tidak diundang-undangkan dan tidak mengikat lembaga-lembaga keuangan syariah di negeri ini. (Abu Khalila Kinanah)
Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2017