Menyiram Pohon
Cerpen Khusna R
Ruang tamu rumah itu khas. Menunjukkan kalau pemiliknya adalah pegiat Persyarikatan. Ruang tamu yang luas dengan empat set kursi tamu lengkap dengan empat meja. Di masing-masing meja ada taplak meja batik bergambar masing-masing, gambar Persyarikatan, ortom khusus, ortom pemuda dan ortom pemudi. Di bawah taplak di tempat majalah tertumpuk majalah khusus. Ada tabloid dakwah yang isinya selalu menyemangati pembaca. Juga ada koran daerah dan koran Jakarta.
Ada vas bunga dengan bunga plastik kecil-kecil, di meja dan mudah dipindah, dan tidak ada asbak. Sebab pemilik rumah ini adalah generasi keempat dari pendiri dan pegiat Persyarikatan di kota kecamatam itu. Pada generasi pertama dan kedua masih ada asbak di empat meja itu. Tetapi ketika orang tua dari pemilik yang sekarang aktif di Persyarikatan, mulai tidak ada asbak. Sebab kalau ada juga tidak ada gunanya. Pemilik rumah dan para tamu yang ngobrol atau rapat di tempat ini sudah bukan generasi perokok lagi. Mereka adalah generasi peminum kopi.
Sebagai ganti asbak, di atas meja justru ditaruh album foto. Isinya foto keluarga dan foto kegiatan persyarikatan dari generasi ke generasi. Foto dokumentasi itu cukup lengkap. Sedang di dinding malah tidak ada foto sama sekali. Yang dipasang di dinding adalah foto pendiri Persyarikatan dan isterinya, juga gambar pemimpin Persyarikatan sesudah sang pendiri. Gambar amal usaha Persyarikatan, poster-poster muktamar dari zaman dulu sampai yang terkini.
Sedang pada almari kaca, almari kabinet, tertata rapi buku tebal dan tipis, jugu buku tanfidz muktamar ke muktamar. Buku tebal berderet rapi, rata adalah buku tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Azhar, Al Manar dan Al Maraghi, kitab Asbabunnuzul, kitab Ushul Fikih, HPT, PHIWM, TJA lengkap, buku karangan para tokoh Pesyarikatan generasi dulu dan buku-buku terbaru terbitan Persyarikatan karya generasi sekarang.
”Kalau dirasa-rasa, rumah kita ini malah mirip museum ya Dik,” kata Ismail pada isterinya, suatu Ahad pagi.
”Ya, saya dulu diajak ibu ke sini rapat dengan ibumu juga merasa kalau rumah sampeyan ini mirip museum. Barang-barang dokumentasinya lengkap. Bahkan, ini lemari berisi barang kenang-kenangan kalau keluarga kita mengikuti tanwir atau muktamar sudah memenuhi dua almari, sepertinya kita harus membeli almari lagi kalau ada koleksi baru,” sahit Badilah, isteri Ismail, berkata panjang lebar.
”Di rumah orang tuamu sana kan juga mirip disini.”
”Ya, tapi tidak selengkap disini. Dan lagi keluargaku kan baru dua generasi masuk Persyarikatan. Kalau keluargamu kan sudah empat generasi.”
Mereka berdua berjalan-jalan mengelilingi ruang tamu yang mirip museum Persyarikatan itu. Ada rasa bangga menjadi generasi pewaris gerakan dakwah yang sekarang mendunia ini. Dengan penuh semangat mereka bisa bercerita secara rinci riwayat tiap-tiap benda disitu. Kalau ada tamu berkunjung bertanya ini itu, mereka bisa menjadi pemandu yang baik.
”Yah, Bu, saya pamit ya,” tiba-tiba muncul Fitri, anak bungsu mereka.
Fitri mencium tangan ayah ibunya.
”Mau kemana Fit?” tanya ayahnya.
”Mau rapat pecinta alam di kampus yang akan mendaki ke Merbabu sekalian hunting foto di sana. Kan bunga eidelweissnya indah sekali. Karena tidak boleh dipetik maka kami akan memetiknya dengan kamera. O,ya, kami sekalian membuat klip musikalisasi puisi dengan video pendakian nanti,” jawab Fitri denga suara penuh semangat.
”Ya, berhati-hatilah. Ayah dan Ibu mendoakanmu dan teman-temanmu bisa selamat sampai tujuan dan sampai pulangnya.”
”Amin.”
Sebentar kemudian terdengar motor hidup mesinnya, menderu menjauh.
Terdengar telepon di meja berdering. Badilah cepat mengangkatnya.
”Assalamu’alakum Bu, maaf Bu saya hari ini belum bisa pulang. Masih sibuk membuat film indie berlatar belakang pelabuhan di Tegal, tempat pasukan Sultan Agung dulu berangkat menyerbu Batavia,” terdengar suara di telepon.
”Nur, wah, lantas kapan selesainya?” tanya Badilah cemas.
”Paling tidak bisa tiga atau empat hari lagi, menunggu cuaca baik. Film ini mau kami ikutkan lomba lho. Kalau menang secara nasional akan kami ikutkan ke lomba internasional.”
Nur menutup teleponnya. Sepasang suami isteri merasa gembira sekaligus sedih. Nur adalah anak kedua dan paling suka membuat film bersama teman-teman sejak sekolah menengah. Dia mewakili generasi visual, bukan lagi generasi tekstual.
Muncul Fat, anak pertama, berjaket dengan menggendong tas punggung, bertopi, dan menyiapkan botol ar mineral di tas punggungnya.
”Mau kemana ini anak sulungku yang cantik ini?” tanya Badilah lembut.
”Mau ke Bandara Bu.”
”Lho, mau kemana?”
”Mau ke tanah Minang Bu, Kantorku mendapat proyek untuk membuatkan buku wisata yang representatif untuk ajang promosi. Aku akan survei dan mencari bahan, juga melakukan pemotretan awal. Paling tidak aku seminggu di sana,” kata Fat.
Ayah dan ibunya mengangguk, mendoakan aga anaknya sukses di sana.
”Amin, terima kasih ya.”
Di halaman telah menunggu mobil Grab yang mengantar Fat ke Bandara.
Sepeninggal Fat, rumah terasa amat sepi menekati sunyi. Badilah memeluk suaminya. Meneteskan air mata. Bisiknya,”Mas, menyiram pohon kader Persyarikatan di rumah sendiri amat sulit, ketika dulu kutahu anak kita tiga perempuan semua, kuharap ada yang mau jadi kader ’Aisyiyah. Ternyata ketiganya punya dunia sendiri-sendiri.”
”Ya, zaman berubah telah memotong generasi kader Persyarikatan di rumah ini,” sahut suaminya, menambah sedih hati isterinya.
Khusna R, penulis cerpen, tinggal di Yogyakarta
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 4 Tahun 2018