YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pada rapat pleno Komisi III DPR yang dipimpin langsung oleh ketua Komisi III DPR Herman Hery yang digelar secara offline dan virtual di ruang rapat Komisi III kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/11), menyebutkan telah memilih tujuh nama anggota Komisi Yudisial (KY). Ketujuh nama yang telah lolos melewati uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), salah satunya adalah Prof Dr Mukti Fajar ND, SH, MHum, seorang akademisi Muhammadiyah yang juga Staf Ahli Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Untuk menjalankan fungsi pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial, Prof Mukti Fajar menginisiasi untuk melakukan review putusan hakim sejak adanya pengaduan dari masyarakat. “ Review ini dilakukan bukan untuk mengubah putusan hakim karena bertentangan dengan doktrin Judge made law dan kekuasaan kehakiman yang merdeka, tetapi untuk melihat apakah putusan itu lahir dari alur methodologis yang sesuai dengan logika hukum, sehingga akan nampak putusan yang yang wajar atau putusan yang aneh,” demikian jelasnnya. “Untuk itu diperlukan peningkatan kapasitas hakim agar mampu membuat putusan yang dapat dipahami secara nalar hukum”.
Terobosan ini tentunya akan dilakukan dengan menjalin kerjasama yang baik dengan Mahkamah Agung sebagai mitra kerja utama. “Jadi Komisi Yudisial sebagai pengawas ekternal harus bersinergitas dengan Mahkamah Agung sebagai pengawasan internal profesionalisme hakim, yang selama ini kurang berjalan dengan baik dibuktikan dengan adanya ribuan laporan namun yang bisa diselesaikan hanya beberapa ratus saja,” papar Prof Mukti Fajar.
Untuk lolos menjadi anggota Komisi Yudsial dibutuhkan proses yang panjang. Ia mengatakan setidaknya ada 6 sampai 7 kali tes seleksi yang dimulai pada bulan Maret hingga Desember. Namun pilihan ini dia pilih bukanlah tanpa alasan. “Ini adalah panggilan jiwa akademis. Saya merasakan kegelisahan batin ketika setiap kali mengajar di kelas tentang teori-teori yang bicara tentang kebenaran namun praktiknya di lembaga peradilan kacau dan menyimpang dari ilmu yang saya ajarkan,” ungkap Guru Besar bidang Hukum UMY ini lagi.
Fenomena peradilan yang terjadi di Indonesia, dirasakan oleh Prof Mukti Fajar masih banyak yang belum memenuhi rasa keadilan. Sehingga lembaga peradilan tidak mendapatkan kepercayaan publik, baik oleh masyarakat Indonesia bahkan masyarakat internasional. Hal ini yang memanggil Prof Mukti Fajar untuk turun langsung dan memberikan dorongan kepada dosen hukum UMY ini untuk berkontribusi memperbaiki sistem peradilan di Indonesia, walaupun dia sadar sangat sedikit dan terbatas waktunya.
Prof Mukti Fajar pun akan berkomitmen untuk bekerja secara profesional dan tidak untuk mencari sensasional. Dia tidak ingin terbawa arus dengan para pejabat yang suka asal memberikan pendapat melalui media sosial yang memancing kontroversial, lalu viral dan akhirnya membingungkan masyarakat.
”Seharusnya informasi ke publik itu diberikan ketika telah menjadi sebuah keputusan yang final, sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara personal maupun kelembagaan. Doakan saja, agar tim kami, khususnya saya bisa istiqomah, amanah, dimudahkan dalam menjalankan tugas dalam menegakkan hukum yang adil di Indonesia,” tutupnya.
Tugas barunya di Komisi Yudisial tidak membuat Prof Mukti Fajar berniat menanggalkan tugasnya di UMY. “Ada pesan Pak Rektor kepada saya untuk tetap bertugas dan memikirkan kemajuan UMY ”. Prof Mukti Fajar sudah memiliki prinsip untuk komitmen ini. “ Dari UMY ini karir hidup saya dimulai. Sejauh kemanapun saya pergi, pasti akan kembali. Karena UMY adalah rumah saya,” demikian tegasnya. (Riz)