Menimbang Harga Sekeping Dunia
Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Pada satu hari, Utsman bin Affan bercerita, ”Suatu saat di siang hari, aku melihat Zaid bin Tsabit keluar dari istana Marwan. Dalam hati, saya bertanya-tanya, ada apakah ia gerangan pada saat seperti ini? Aku yakin, pasti ada sesuatu yang penting ia bawa.” Utsman lalu mendekati Zaid dan langsung bertanya, ”Ada apa gerangan wahai Zaid?”
Zaid menjawab, ”Aku membawa sesuatu yang aku dengar langsung dari Rasulullah SAW.” Utsman bertanya lagi, ”Apa yang Rasulullah sabdakan kepadamu?” Zaid menjawab, ”Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ كانت الدنيا هَمَّهُ فَرَّق الله عليه أمرَهُ وجَعَلَ فَقْرَهُ بين عينيه ولم يَأْتِه من الدنيا إلا ما كُتِبَ له، ومن كانت الآخرةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ له أَمْرَهُ وجَعَلَ غِناه في قَلْبِه وأَتَتْهُ الدنيا وهِيَ راغِمَةٌ
“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan (tidak pernah merasa cukup) selalu ada di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat sebagai niat (tujuan utama-)nya, maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan (selalu merasa cukup) ada dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah, hina (tidak bernilai di hadapannya), meskipun ia enggan untuk menerimanya’. (HR Ibnu Majah dari Usman bin Affan).
Sementara itu, Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi, “Wahai anak cucu Adam, kalian mencurahkan segala ibadah hanya karena ingin ridla-Ku, pasti akan Aku penuhi hatimu dengan kekayaan. Aku juga akan tutup kefakiranmu. Jika tidak demikian, Aku akan penuhi hatimu dengan segala kesibukan. Aku juga tidak akan menutupi kafakiranmu.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Apa ayang disabdakan Rasulullah dan difirmankan Allah di atas memberikan gambaran hikmah. Pertama, dunia itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan akhirat.
‘‘Katakanlah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu nilainya kecil. Nilai akhirat jauh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (An Nisa: 77).
Rasulullah juga bersabda dari Al-Mustaurid bin Syaddad r.a., Rasulullah bersabda,
وَاللهِّ مَا الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟
“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?” (HR Muslim no 2868). Dalam riwayat Ahmad, ada tambahan وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ, Lalu beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya”.
Kedua, janganlah menjadikan dunia sebagai ambisi final, karena dunia sejatinya hanyalah tempat persinggahan sementara. Terminal akhir tetaplah kehidupan akhirat. Dunia adalah ladang tempat menanam kebaikan untuk menjadi bekal menuju akhirat. Dunia adalah jembatan menuju akhirat. Menjadikan akhirat sebagai tujuan akhir tidak berarti seorang muslim tidak boleh kaya dan memiliki jabatan kekuasaan. Namun, apa yang ia lakukan dan peroleh dengan kekayaan dan jabatannya ia gunakan untuk mengabdi kepada Allah dan bekal menuju Hari Akhir.
”Carilah nilai akhirat yang telah Allah sebarkan dalam kehidupanmu, tapi, jangan lupakan dunia. Berbuat baiklah di dunia sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu.’‘ (Al-Qashash: 77).
Ketiga, orang yang menjadikan akhirat sebagai ambisinya, akan Allah SWT cukupi segala kebutuhan hidupnya. Rasulullah mengibaratkan bahwa seandainya ia enggan menerima, harta itu akan tetap datang mengelilinginya. Kenapa enggan? Rasulullah mengatakan bahwa orang beriman itu sudah cukup kaya hatinya.
Ibarat orang menanam padi di sawah, maka ia rumput yang ada di sawah itu pun akan ikut tumbuh. Tetapi, seseorang yang menanam rumput belum ada ceritanya padi akan ikut tumbuh di sekelilingnya. Padi adalah perumpamaan akhirat, sementara rumput adalah dunia. Niatkan semua kebaikan hidup dan kehidupan kita ini untuk Akhirat, niscaya dunia akan mengikutinya. Jalaluddin Rumi pernah berpesan, “Genggamlah dunia ini dengan segala isinya, tapi jangan pernah dunia ini menyentuh hatimu.” Boleh kaya, berpangkat dan bergelimang dunia, tapi hati kita tetap menghadap pada Ilahi Rabbi. Wallahu a’lamu.
Bahrus Surur-Iyunk, Dosen STIT Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan Jatim.