Pertanyaan sekaligus judul di atas bukanlah bermaksud pesimis. Namun, saya ingin membuka kemungkinan wacana lain untuk perbaikan kehidupan petani ketimbang menuntut penyusunan undang-undang agraria baru yang, tentu saja, akan membentur kepentingan banyak aktor neoliberalis sektor lain.
Mengapa demikian? Ini karena kondisi sosial-ekonomi masyarakat desa hari ini sudah tidak lagi mengikuti pola seperti yang diceritakan Clifford Geertz tentang involusi pertanian atau ekonomi moral petani menurut James Scott.
Perubahan ekonomi dan politik global tidak hanya tampak nyata di kawasan megapolitan dan metropolitan, tetapi juga merasuk hingga keseharian hidup masyarakat pedesaan. Pada hari ini kita bisa melihat lahan-lahan desa diakuisisi menjadi kawasan industri komoditas global, baik industri manufaktur maupun agroindustri. Ironisnya, orang-orang desa malah pergi ke luar desa untuk bekerja pada sektor-sektor di luar pertanian.
Keberagaman ekonomi yang meningkat di desa dewasa ini, menurut saya, tidak lepas dari dampak historis ketimpangan akumulasi lahan. Susunan kebijakan pemerintah ditambah hasutan kelompok kapitalis menambah runyamnya praktik kepemilikan lahan yang menjadi semakin timpang hari ini.
Tulisan ini hanya berfokus pada kawasan pedesaan dan itu pun hanya mengambil contoh-contoh permasalahan di Jawa. Berikut saya coba uraikan singkat mengenai deagrarianisasi dan diferensiasi ekonomi yang terjadi hingga hari ini akibat ketimpangan kepemilikan lahan antara si kaya dan si miskin.
Krisis Agraria, Deagrarianisasi, dan Diferensiasi Ekonomi Pedesaan
Tanah bukan saja modal produksi utama pertanian, tetapi juga identitas kultur petani. Sayangnya, tidak semua petani mendapat akses yang sama. Penguasa dan orang kaya selalu membuat peraturan yang mengurangi akses petani miskin terhadap lahan. Lalu, bila tanah tak lagi “tersedia” (deagrarianisasi), maka ke mana petani akan pergi? Akhirnya, mereka akan mencari sumber penghidupan baru di luar sektor pertanian (diferensiasi ekonomi petani).
Sudah sejak lama desa-desa tidak hidup dengan pola homogen yang menggantungkan produksi ekonomi mereka hanya pada sektor pertanian semata. Catatan terlama yang bisa saya telusuri —mungkin lebih tua lagi— pada abad ke-17 perempuan-perempuan desa di Jawa sudah terlibat menjadi pemain industri tekstil dan batik untuk perdagangan antaremporium, termasuk dengan VOC. Namun, ini belumlah menunjukkan diferensiasi ekonomi yang saya maksud.
Kecenderungan petani berpindah ke ekonomi sektor nonpertanian semakin meningkat pada akhir abad ke-19. Menurut Frans Husken, hal ini ditengarai oleh aturan swastanisasi lahan yang dilegalkan dalam Agrarische Wet 1870. Dalam kata lain, tanah bisa diperjual-belikan dengan uang, sehingga terhapuslah sistem-sistem tanah komunal. Akibatnya, regulasi ini memungkinkan orang kaya mengakumulasi lahan secara besar-besaran, sedangkan petani miskin harus menerima nasib menjadi buruh tani atau mencari penghidupan di sektor lain.
Kondisi di Majalaya, misalnya, di sana Ben White mendapati banyak warga miskin menjual tanah pertaniannya pada tuan tanah karena krisis ekonomi yang tidak lagi bisa ditanggungnya saat akhir Perang Dunia I. Oleh karena tidak ada lagi lahan, warga desa banyak yang beralih menjadi buruh industri tekstik yang sedang berkembang di sana.
Berlanjut pada masa ketika UU Pokok Agraria 1960 sudah disahkan. Nawacita Sukarno untuk memberikan kesetaraan hak modal lahan kepada petani lewat regulasi ini juga tidak terlalu terasa. Apalagi ketika Soeharto yang patrimonial menjalankan program Revolusi Hijau, tidak ada cerita bahwa petani miskin mendapat distribusi tanah dari pemerintah.
Bukannya membuka kesempatan yang setara untuk semua petani ikut menanam sebanyak-banyaknya tanaman pangan, tetapi petani miskin atau landless peasant tetap menjadi buruh. Ketimpangan si kaya dan si miskin di desa pun semakin parah. Sebab, tuan tanah yang memiliki modal besar dapat dengan mudah berpartisipasi dalam program pemerintah.
Belum cukup sampai sana, “pasal karet” dalam UUPA 1960 juga membuka peluang otoritarianisme pemerintah. Sebut saja pembangunan industri semen di Tuban yang mengokupasi lahan Perhutanan Sosial milik Pehutani. Atas nama “kepentingan negara”, ladang-ladang warga di sana harus digusur. Padahal, akses lahan utama warga di sana adalah Perhutanan Sosial. Dengan demikian, deagrarianisasi yang terjadi memaksa warga berpencar mencari penghidupan lain, ada yang menjadi buruh di kota, TKI di luar negeri, atau buruh kasar di pabrik.
Fenomena lain dari diversifikasi ekonomi petani akibat deagrarianisasi adalah generasi muda yang tidak mau bertani (depeasantisation). Mungkin, bukan saja karena tidak ada lahan garapan yang diwariskan dari orang tua mereka, tapi juga karena perubahan standar “sukses”, urbanisasi, dan konsumerisme yang meningkat, sedangkan pemuda tidak lagi melihat “cahaya benderang” di ladang pertanian.
Uraian singkat di atas bisa menunjukkan kepada kita bahwa kebiasaan mencari penghidupan di luar sektor pertanian sudah terjadi lama dan semakin beragam sampai saat ini. Kebiasaan melakukan diferensiasi ekonomi di luar pertanian bisa dikatakan sudah menjadi kebiasaan dan membentuk “pengetahuan” baru dalam bertahan hidup.
Rencana “bagi-bagi lahan” lewat reformasi agraria agar petani makmur bisa saja tidak tepat menjadi solusi. Pasalnya, “pengetahuan” baru untuk bertahan hidup dengan melakukan diferensiasi ekonomi ini malah dapat membuka problem baru, sebagaimana konsep unintended outcome yang dicetuskan Tania Murray Li.
Memikirkan Ide lain untuk Kesejahteraan Petani
Sepintas, upaya melakukan diferensiasi ekonomi memang tampak sebagai tindakan improvisasi ekonomi rasional petani. Namun, perlu dipahami bahwa diferensiasi ini dilakukan karena tekanan kuasa pemerintah dan kepentingan pemilik modal yang menutup jalur penghasilan utama. Diferensiasi ekonomi yang dilakukan pun bukanlah sumber-sumber penghasilan yang nominalnya besar, tetapi hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar, seperti upah buruh pabrik.
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan? Apakah kita perlu mengambil tanah-tanah yang diakumulasi orang kaya dan diberikan kepada petani miskin melalui reformasi undang-undang agraria? Tampaknya, langkah tersebut akan memakan banyak waktu dan membentur banyak penguasa ekonomi raksasa.
Mari kembali melihat kondisi agrarian di Tuban. Sisa lahan pertanian yang tidak dialih fungsi menjadi area pertambangan adalah tanah bebatuan kapur, baik milik pribadi ataupun Perhutanan Sosial. Artinya, tanah semacam ini hanya bisa ditanami saat musim hujan tiba. Ditambah lagi, ukuran lahan pertanian yang menyempit karena sudah menjadi pertambangan batu kapur untuk pabrik semen. Bayangkan, betapa tidak mencukupinya hasil panen tahunan untuk membiayai kehidupan sehari-hari, serta harus membayar biaya sewa lahan Perhutanan Sosial tersebut pula —tentu saja skema sewa lahan ini dilakukan oleh mafia Perhutani.
Dalam hal ini, bila saja reformasi agraria terlaksana dan petani miskin tanpa lahan (landless) kembali memiliki lahan, maka persoalannya tidak sampai di situ saja.
Berkaca pada kondisi di Tuban, saya pikir, hal yang lebih mendesak adalah peningkatan teknologi pertanian, berupa irigasi, daripada kepemilikan lahan. Hal lain yang mendesak adalah penyediaan modal pertanian yang murah, seperti pupuk dan bibit, dan perbaikan manajemen distribusi pertanian. Tujuannya agar harga beli hasil pertanian dari petani bisa ditingkatkan dan memutus rantai-rantai tengkulak.
Jadi, selain memberi fokus pada reformasi agraria, saya lebih cenderung mendorong pengarusutamaan kebijakan ketahanan pangan. Dengan begitu, upaya intensifikasi pertanian pangan lewat teknologi, pasar, dan subsidi modal akan lebih diutamakan. Bila hal ini dilakukan, kepentingan pertanian untuk ketahanan pangan bisa menang saat berbenturan memperebutkan lahan dengan kepentingan pembangunan ekonomi sektor lain. Bahkan, upaya mengarusutamakan ketahanan pangan, dengan sendirinya akan membuat reformasi agraria dapat terlaksana.
Lalu, bagaimana dengan petani yang sudah terjun terlalu dalam pada sektor nonpertanian maupun generasi muda yang tidak lagi mau ke sektor pertanian? Menurut saya, jika kebijakan ketahanan pangan bisa memberi kepastian hasil yang memakmurkan, maka dengan sendirinya sektor petanian dapat menjadi magnet baru.
Pola diferensiasi ekonomi memang sudah mengakar kuat, terutama pada gelombang generasi muda. Namun, saya menekankan bahwa fenomena ini jangan dipandang sebagai “dosa” petani karena sudah keluar dari lahan-lahannya. Saya menanggap ini sebagai dampak dari krisis agraria yang menunjukkan bahwa arah kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia belum berpihak pada petani dan ramah lingkungan.
Lalu, apa langkah selanjutnya? Selain langkah-langkah advokatif yang harus ditempuh untuk perisapan kebijakan ketahanan pangan, lembaga atau organisasi masyarakat yang ada juga harus mulai mengidentifikasi sosio-politik-kultur daerah-daerah. Di samping itu, pengenalan inovasi pertanian dan teknologi pertanian baru juga sudah harus mulai dirintis pengaplikasiannya di desa-desa. Semoga Muhammadiyah cukup moderat untuk mengambil langkah-langkah perbaikan umat seperti ini.
Yayum Kumai, Pasca Antropologi UGM, Penyelaras Penerbit Suara Muhammadiyah