Oleh Yunahar Ilyas
Pendeta Buhaira adalah salah satu contoh bagamana Ahlul Kitab sudah banyak mendapatkan informasi dari Taurat dan Injil tentang kedatangan Nabi yang terakhir. Al-Qur’an mengatakan bahkan mereka sudah mengenal Nabi yang terakhir itu sebelum beliau diutus seperti mereka mengenal anaki-anak mereka sendiri. Allah SWT berfirman:
ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَعۡرِفُونَهُۥ كَمَا يَعۡرِفُونَ أَبۡنَآءَهُمۡۖ وَإِنَّ فَرِيقٗا مِّنۡهُمۡ لَيَكۡتُمُونَ ٱلۡحَقَّ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. “ (Q.S. Al-Baqarah 2: 146)
Hal yang sama diungkapkan juga dalam Surat Al-An’am ayat 20. Di antara pendeta Yahudi dan Nasrani yang mengetahui berita dan sifat-sifat Nabi terakhir yang akan diutus setelah Nabi Isa AS itu ada yang beriman seperti Abdullah ibn Salam, ada yang menyembunyikan informasi itu seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, bahkan ada yang tidak hanya menyembunyikan tapi malah merubahnya.
Betapapun mereka berusaha menyembunyikan berita tentang kedatangan Nabi yang terakhir itu, tetapi sampai sekarang masih tercantum dalam Kitab Perjanjian Lama beberapa teks keagamaan yang tidak sempat mereka ubah atau tidak mereka sadari, sehingga tetap tercantum yang menunjukkan kenabian dan kerasulan beliau. Misalnya dalam Perjanjian Lama Kitab Ulangan 33:2 disebutkan bahwa: “Tuhan telah datang dari Torsina dan telah terbit bagi mereka dari Seir dan kelihatan ia dengan gemerlapan cahaya-Nya dari gunung Paran”.
Teks ini sebagai berbicara tentang kedatangan Islam yang berpancar dari Mekah. Gunung Paran menurut Kitab Perjanjian Lama, Kitab Kejadian 21:21 adalah tempat putra Ibrahim yakni Nabi Ismail bersama ibunya Hajar, memperoleh air (Zam-Zam). Dengan demikian yang tercantum dalam Kitab Ulangan di atas mengisyaratkan tiga tempat terpancarnya ajaran Allah yang dibawa oleh tiga orang nabi yaitu Tursina, tempat Nabi Ismail dan ibunya Hajar mendapatkan air Zam-Zam. Siapakah nabi yang datang dari Paran membawa ajaran Ilahi itu? Adakah selain Nabi Muhammad saw? Kesaksian sejarah membuktikan bahwa hanya Nabi Muhammad saw sendiri. (Tafsir Al-Misbah: Jilid 1, 331)
Perang Fijar dan Hiflul Fudhul
Tatkala Nabi Muhammad berumur 20 tahun terjadi perang Fijar, yaitu perang antara Bani Qais Ailan dengan Suku Quraish yang didukung oleh Bani Kinanah. Sebenarnya sebelum perang meletus di pasar Ukaz telah terjadi percecokan tiga kali antara dua kubu itu, tapi tidak sampai perang fisik. Barulah pada percecokan yang keempat terjadi perang fisik, yang menyebabkan jatuhnya korban dari kedua belah pihak. Pemicunya adalah seseorang dari Bani Kinanah mengkhianati tiga orang dari Bani Qais Ailan. Kabar kejadian ini sampai ke pasar Ukaz, sehingga menyulut emosi kedua kabilah. Perang ini dinamakan perang Fijar karena telah melanggar kehormatan bulan suci. Pemuda Muhammad juga mengikuti perang ini tugasnya adalah menyiapkan anak panah untuk dibidikkan.
Akhirnya perang itu dapat didamaikan oleh tokoh Quraish. Untuk mengakhiri perang ini ditandatangailah Hilful Fudhul, pada bulan Zulqa’dah, salah satu bulan suci. Perjanjian ini disepakati oleh beberapa kabilah Quraish yaitu Bani Hasyim, Bani Muththalib, bani Asad ibn Abdil Uzza, Bani Zuhrah ibn Kilab dan Bani Taim ibn Murrah.
Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa siapapun penduduk Mekah atau lainnya yang didzalimi pasti akan dibela. Mereka akan terus mendampingi pihak yang terdzalimi sampai kedzaliman itu dibalaskan. Perjanjian ini memberikan dampak untuk menghilangkan fanatisme kabilah yang merupakan fanatisme yang berkembang pada zaman jahiliyah.
Pendapat lain mengatakan latar belakang dari perjanjian ini adalah dari seorang laki-laki dari Bani Zubaid yang datang ke Mekah membawa dagangannya, dan kemudian dibeli oleh Ash ibn Wa’il as-Sahmi, namun tidak membayarnya. Akhirnya laki-laki ini mengajak sekutu dari kabilah Abdul ad-Dar, Makhzum, Jumah, Sahm dan Adi, hanya saja ajakan itu tidak dipedulikan. Maka laki-laki ini menuju gunung Qubaisy dan membaca sebuah syair mengenai kedzaliman yang dialaminya, bersamaan dengan itu Zubair ibn Abdul Muthalib lewat mendengarnya dan mempertanyakan kenapa ia tidak ada yang menghiraukan seorang pun. Maka berkumpulah semuah kabilah tadi untuk bersepakat atas perjanjian Hilful Fudhul, yang kemudian menemui Ash ibn Wa’il untuk mengambil paksa apa yang telah dirampasnya. (Ar-Rahiiq al-Makhtum, hal. 72)
Menikah dengan Khadijah
Khadijah adalah seorang perempuan yang kaya raya hasil dari kegiatan berdagang, dibantu oleh ayahnya Khuwailid dan beberapa orang kepercayaannya. Sebelum Muhammad datang melamar, telah banyak sebelumnya pemuka Quraish pun melamar, hanya saja berakhir dengan penolakan, dengan anggapan mereka semua berkeinginan meminang Khadijah karena melihat harta kekayaan dari Khadijah.
Suatu ketika Abu Thalib mendengar kabar bahwa Khadijah sedang menyiapkan perjalanan dagang menuju Syam, dan membutuhkan tenaga untuk perjalanan tersebut. Mengetahui hal itu Abu Thalib bergegas menawarkan Muhammad kepada Khadijah untuk membantu selama perjalanan.
Tawarah Abu Thalib disetujui oleh Khadijah dengan membayarkan empat ekor anak unta. Selama memperdagangkan barang-barang Khadijah, Muhammad mampu mendapatkan keuntungan yang banyak melebihi apa yang pernah orang lain dapatkan sebelumnya, bermodalkan kejujuran para pelanggan merasa terpikat dan tertarik terhadap kepribadian Muhammad.
Kabar mengenai sifat Muhammad sampai kepada Khadijah melalui cerita Maisarah, budak Khadijah yang membersamai Muhammad dalam perjalanan dagang, disampaikan sifat-sifat yang diketahui seperti halus wataknyaa, baik budi pekertinya. Terutama saat mendengarkan langsung cerita dari Muhammad sendiri, bagaimana Muhammad bercerita dengan bahasa yang bergitu teratur, mampu menjelaskan apa saja barang yang dijual menandakan Muhammad begitu telaten dalam pekerjaan. Sesaat setelah mengetahui bagaimana pribadi Muhammad, timbul rasa cinta pada diri Khadijah, dan bersedia membuka hati untuk sebuah pernikahan yang selama ini tidak terfikirkan olehnya, mengingat sudah banyak laki-laki yang ditolak.
Keinginan yang sama juga muncul pada benak Muhammad, pada satu kesempatan Nufaisa binti Munya mendatangi Muhammad dan bertanya, “Kenapa kau tidak mau menikah?”, Muhammad menjawab: “Aku tidak mempunyai apa-apa untuk persiapan menikah”. Nufaisa melanjutkan dengan berkata “Jika telah ada perempuan yang cantik, memiliki harta dan keturunan yang terhormat tidakkah kamu mau menerima?”, siapa itu jawab Muhammad, Khadijah jawab singkat Nufaisa.
Bukan tidak ingin meminang Khadijah, hanya saja Muhammad belum meyakini bahwa Khadijah ingin hal yang sama. Seiring dengan maksud Nufaisa, setelah pertemuan dengan Muhammad diceritakanlan kepada Khadijah. Tidak lama kemudian Khadijah bersepakat untuk menentukan waktu bertemu antara keluarga Muhammad dan keluarganya untuk menentukan tanggal pernikahan. Pernikahan itu sendiri berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad sebab saat itu ayah dari Khadijah terlah meninggal sebelum perang Fijar. Dengan demikian dimulailah kehidupan Muhammad dan Khadijah sebagai suami istri. Waktu itu Muhammad berumur 25 tahun dan Khadijah 40 tahun. (bersambung)
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2018