Oleh Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi
Kiai Haji Ahmad Dahlan dikenal sebagai tokoh pembaruan Islam. Nurcholish Madjid menyebutkan pendiri Muhammadiyah itu pembaruannya tergolong break-trought, bersifat lompatan karena tidak mengalami prakondisi sebelumnya. Artinya, banyak kejutan dari jejak pembaruan Islam yang dilakukan tokoh dari Kauman Yogyakarta itu.
Penulis sendiri dalam buku Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010) sampai pada kesimpulan bahwa Ahmad Dahlan seorang mujadid besar, yang pembaruannya memiliki kekhasan tertentu yang tidak dimiliki oleh para pembaru Islam sebelumnya. Dari rahim pemikiran dan langkah pembaruannya lahir Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern dan reformis.
Namun di sebagian kalangan Muhammadiyah sendiri tidak jarang masih kurang pemahaman mengenai sosok pendiri gerakan Islam itu. Sebagian masih berpandangan lama kalau Kiai Dahlan sebagai tokoh pemurnian Islam, yang sering diidentikkan dengan gerakan Salaf, yakni gerakan kembali pada masa Nabi dan tiga generasi sesudahnya dalam cakupan terbatas pemurnian. Manhaj Ahmad Dahlan pun disamakan dengan Manhaj Salafiyah murni tersebut.
Salafiyah Tajdidiyah
Benarkah Ahmad Dahlan kembali ke Salaf dan disamakan sebagai tokoh gerakan Salaf atau Salafiyah? Jika Manhaj Salaf atau Salafiyah dimaksudkan secara muktabar pada Islam masa Nabi dan tiga generasi sesudahnya tentu benar dan tidak ada yang keliru. Muhammadiyah pun dalam hal akidah sebagaimana disebut dalam “Kitab Al-Iman” pada Himpunan Putusan Tarjih mengikuti akidah yang selamat dari generasi Salaf.
Namun perlu pemahaman yang luas dan mendalam bahwa Manhaj Salaf sering dimaknai secara terbatas pada pemurnian belaka. Khusus untuk mengikuti jejak Islam masa Nabi sifatnya mutlak dan tidak ada keraguan, bahkan nama Muhammadiyah sendiri dinisbahkan pada nama Nabi akhir zaman itu, sebagai “pengikut Nabi Muhammad.” Meskipun, dalam sejumlah hal di kalangan umat Islam sendiri tidak jarang terdapat perbedaan pemahaman mengenai jejak Islam era Nabi tersebut, baik yang menyangkut tafsir ayat Al-Qur’an maupun Hadits Nabi.
Mengenai Islam tiga generasi sesudah Nabi tentu tidak sama-sebangun dengan masa Nabi, selalu ada dinamika tergantung tokoh dan umat di setiap masa, yang juga terdapat konteks yang berbeda. Pada era pasca Nabi corak aktualisai Islam tidaklah mutlak dan memerlukan pandangan atau pemahaman kritis baik menyangkut pandangan keislaman maupun peristiwa sejarah, semuanya terbuka pada kritik dan tidak jarang terdapat bias.
Di sinilah pentingnya pemahaman bahwa masalah generasi dan Manhaj Salaf menjadi tidak monolitik. Islam zaman Nabi menjadi tonggak utama dalam hal generasi dan Manhaj Salaf, bahkan tanpa perlu embel-embel Salaf atau Salafiyah sekalipun. Yakni, Islam yang berpatokan pada “al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah” plus ijtihad sebagai paradigma utama Islam baik dengan memakai maupun tanpa harus terikat dengan Salaf atau Salafiyah.
Masalah Manhaj Salaf atau Salafiyah pun jangan dimaknai pada hal-hal yang bersifat parsial atau terbatas, meskipun menyangkut akidah dan ibadah yang dikenal sebagai gerakan pemurnian akidah dan ibadah. Dimensi akidah dan ibadah itu sifatnya mendalam dan luas, bukan soal-soal parsial seperti menyangkut “TBC.” Aspek akidah menyangkut ajaran yang mendasar soal iman dan tauhid, yang dimensinya luas bukan hanya pemurnian semata. Ajaran akidah dan ibadah dalam Islam itu sangat kaya makna dan fungsi bagi setiap Muslim. Iman itu terkait erat dengan Islam, ihsan, dan amal shaleh.
Akidah itu bukan hanya menyangkut habluminallah semata tetapi juga berfungsi pada habluminannas. Asghar Ali bahkan mengaitkan tauhid dengan pembebasan kaum mustadh’afin yang dikenal “teologi pembebasan Islam,” Ali Syariati menarik tauhid pada dimensi sistem kehidupan yang luas, Amien Rais tentang tauhid sosial, bahkan Kiai Dahlan sebelum era para tokoh itu memperkenalkan sekaligus mempraktikkan “teologi Al-Ma’un.”
Ajaran tentang ibadah pun bukan hanya rukun yang harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Tetapi juga kekhusyukan dan tahsinah atau fungsi kebaikan dari ibadah yang harus melahirkan ihsan dalam kehidupan. Karenanya, konstruksi tentang Salaf atau Salafiyah jangan sampai mempersempit ajaran Islam baik tentang akidah dan ibadah maupun tentang akhlak dan mu’amalah dunyawiyah.
Konstruksi Manhaj Salaf atau Salafiyah akan semakin terbuka untuk dilakukan kritik atau pemaknaan ulang manakala hanya dikaitkan dengan Sunnah Nabi yang terbatas seperti cara berpakaian, cara makan-minum, berjenggot, dan hal-hal yang parsial lain. Sunnah Nabi itu sangatlah luas, termasuk membebaskan perempuan dari perendahan martabat di zaman Jahiliyah. Lebih jauh lagi Nabi dan umat Islam kala itu membangun peradaban Islam yang berkemajuan sebagaimana simbol al-Madinah al-Munawwarah, yakni membangun kota peradaban yang mencerahkan.
Kiai Haji Ahmad Dahlan baik dalam pemikiran maupun amaliah mempraktikkan Islam zaman Nabi sebagai model utama dengan mengembangkan ijtihad. Tujuh pokok ajaran Kiai Dahlan yang ditulis Kiai Hadjid bukan hanya permurnian, tetapi lebih jauh dan luas banyak yang bersifat pembaruan, termasuk dalam penggunaan akal pikiran. Salah atau keliru jika ada yang menyimpulkan pelajaran Kiai Dahlan itu sebagai Manhaj Salaf yang bersifat pemurnian, apalagi minus pembaruan.
Demikian halnya dengan amal pembaruan Kiai Dahlan yang melahirkan jejak Muhammadiyah generasi awal. Jika ada yang menggolongkan Kiai Ahmad Dahlan sebagai mengikuti atau menepati Manhaj Salaf, maka kesimpulan yang tepat ialah pendiri Muhammadiyah itu masuk dalam kategori Salaf Tajdid atau Salafiyah Tajdidiyah, yakni Manhaj Salaf Pembaruan!
Manhaj Berkemajuan
Dalam kesaksian Kiai Hadjid, bahwa Kiai Haji Ahmad Dahlan membaca kitab-kitab Ibn Taimiyah, Al-Ghazali, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Farid Wajdi, Rahmatullah Al-Hindi, serta dalam hal aqa’id kitab beraliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Tetapi jangan simpulkan dengan membaca kitab-kitab tersebut secara sederhana dan bias bahwa Kiai Ahmad Dahlan ber-Manhaj Salaf, lebih khusus salaf pemurnian. Suatu kesimpulan “kaum salafi” yang ingin menarik pendiri Muhammadiyah itu sebagai “salafi murni” dan Muhammadiyah sebagai “gerakan pemurnian” secara terbatas.
Kiai Dahlan sebagaimana disebut Kiai Sudja’ memang sempat menyoroti soal ziarah kubur dan dengan tegas melarang pengeramatan terhadap kuburan dan orang yang meninggal. Tetapi Ahmad Dahlan sangat jauh berbeda dari Muhammad bin Abdul Wahhab, karena tidak disertai aksi membongkar dan menghancurkan kuburan. Abdul Wahhab bahkan hampir menghancurkan kuburan Nabi manakala tidak dilarang. Hal itu menunjukkan Kiai Dahlan dan Muhammadiyah sama sekali tidak mengikuti manhaj Muhammad bin Abdul Wahhab, sehingga tampak jelas bukanlah Wahabi dan bukan pula Salafi Wahabi.
Wajah tajdid dalam makna pembaruan jauh lebih kuat dan menonjol dalam diri Kiai Dahlan dan Muhammadiyah generasi awal. Sebutlah dalam hal meluruskan arah kiblat, mengembangkan sistem pendidikan Islam modern, gerakan Al-Ma’un disertai pembentukan Rumah Sakit atau Poliklinik serta Rumah Miskin dan Rumah Yatim, taman pustaka antara lain merintis Majalah Suara Muhammadiyah, memelopori gerakan perempuan Islam ke ruang publik melalui ‘Aisyiyah, memperkenalkan pengajian-pengajian umum dan khusus di ruang publik, pengorganisasian haji, pengorganisasi zakat, dialog dengan tokoh agama lain, dan sebagainya. Lebih khusus dengan pengembangan pemikiran yang maju di berbagai bidang, pengembangan akal murni, sehingga pada pelajaran ketujuh beliau menganjurkan orang Islam belajar ilmu teori dan ilmu praktik. Semua bukti tersebut menunjukkan pendiri Muhammadiyah tersebut sebagai bermazhab tajdid bercorak pembaruan yang reformis dan modernis.
Jika disimpulkan sebenarnya tajdid Kiai Dahlan lebih kuat warna pembaruannya daripada pemurniannya, sehingga kalau pun ada yang masih menggolongkan tokoh utama Muhammadiyah tersebut sebagai ber-Manhaj Salaf, maka lebih ke genre Salafiyah Tajdid, meskipun beliau sebenarnya lebih bebas dan tidak perlu dinisbahkan pada Mazhab Salafiyah. Kini dapat menjadi patokan bagi seluruh warga, kader, dan pimpinan Muhammadiyah bahwa pemaknaan tajdid mengandung muatan pemurnian dan pengembangan dengan pendekatan dalam memahami Islam secara bayani, burhani, dan irfani. Dalam MKCH bahkan secara tegas disebutkan Muhammadiyah dalam mengamalkan ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah Nabi dengan mengembangkan akal pikiran sesuai jiwa ajaran Islam. Kesimpulan utamanya bahwa Kiai Dahlan dan Muhammadiyah tidaklah ber-Manhaj Salaf dalam makna Salaf-pemurnian, lebih-lebih yang berwajah konservatif. Ahmad Dahlan ber-Manhaj Tajdid dengan wawasan Islam berkemajuan!
Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2018