YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Perubahan tak selamanya bergerak perlahan, ada yang tiba-tiba mengubah segalanya dengan cepat. Melihat realitas yang terus bergerak dinamis, seorang santri dituntut berani berfantasi dalam menggambarkan masa depan. Dengan demikian ia dapat melihat ancaman dan sekaligus peluang secara bersamaan. Untuk mendorong hal tersebut maka Pesantren Muhammadiyah harus berpikiran maju dan mencerahkan.
Dunia menjadi sangat sempit setelah hadirnya teknologi telekomunikasi. Jarak menjelma kereta listrik berkecepatan cahaya di saat waktu sedang berhenti. Setiap orang dapat bertemu orang lain dengan sangat mudah. Di ruang pertemuan virtual.
Agus Purwanto, seorang Sainstis dan sekaligus penggagas Pesantren Trensains mungungkapkan bahwa ia sangat menyangkan dengan kondisi umat Islam yang sangat terbelakang dalam hal sains. Umat Islam saat ini sangat bergantung kepada kekuatan lain di luar dirinya. Alhasil, kita hanya menjadi masyarakat konsumen yang tak berdaya.
“Apa gunanya kita mendidik anak-anak, jika pada akhirnya mereka hanya menjadi buruh,” ujar Agus Purwanto dalam Webinar yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) PP Muhammadiyah dengan tema, “Pesantren Muhammadiyah Sebagai Pusat Kaderisasi Ulama, antara Realitas, Harapan dan Tantangan, Jum’at (18/12).
Paradigma pesantren yang hanya meluluskan santri dengan keahlian berpidato dan tampil di ruang publik, menurutnya sudah tidak relevan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan kehidupan seorang ilmuan atau pemikir. Sebut saja Albert Einstein. Dia adalah orang yang introver. Einsten baru bicara di usia enam tahun. Ia tinggal di Bern. Ini adalah kota dimana ia dapat melahirkan pemikiran tentang teori khusus relativitasnya.
Guru Besar di bidang Fisika ITS tersebut mengatakan, dunia Islam dan Barat sama-sama sedang mengalami kentimpangan yang serius. Di Barat, relasi antara manusia dengan alam berjalan dengan baik, tetapi Tuhan dilupakan. Di Timur, hubungan manusia dengan Tuhan sangatlah kuat, namun mereka memusuhi alam. Dan akhirnya dipinggirkan oleh alam semesta.
“Jika kita bertanya kenapa semua ini terjadi, karena kita antipati terhadap filsafat dan sains,” jelasnya.
Gus Pur sapaan akrabnya, mengajak kepada semua pihak untuk membangun paradigma pesantren yang maju dan mencerahkan. Baginya, santri di masa depan tidak hanya berbicara tentang halal dan haram. Mereka juga akan berbicara tentang astronomi, penjelajahan luar angkasa, fisika nuklir, mekanika quantum, thermodinamika, hydrologi, meteorology, dan masih banyak lainnya.
Tantangan Dunia Pesantren
Khoiruddin Bashori, Wakil Ketua LP2 PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa tantangan pesantren adalah scientific literacy. OECD PISA Framework (2015) mendefinisikan literasi saintifik sebagai kemampuan untuk terlibat dengan isu-isu terkait ilmu pengetahuan dengan ide-ide ilmiah, sebagai warga dunia yang reflektif. Seseorang yang melek ilmu, tidak saja berwawasan luas, akan tetapi juga dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.
Ia menambahkan, ke depan, Ulama milenial harus memiliki kemampuan dasar yang berkaitan dengan konsep digital dan literasi digital. Potensi ini diawali dengan kemampuan menganalisis dan mengevaluasi. Kemampuan mencari sumber informasi yang dapat dipertanggungjawabkan menjadi sangat penting, di tengah percepatan perkembangan teknologi digital dan banjir bandang informasi.
“Dalam konteks literasi digital, setiap santri memerlukan kemampuan untuk dapat mengakses, menganalisa, mencipta, melakukan refleksi, dan bertindak menggunakan aneka ragam perangkat digital, sebagai bentuk ekspresi dan strategi dalam berkomunikasi,” tegasnya. (diko)