Al-Muhaimin; Maha Penjaga

Al-Muhaimin

Al-Muhaimin

“Dialah Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, (Dialah yang memiliki sifat) al-Malik, al-Quddus, as-Salam, al-Mu’min, al-Muhaimin, al-Aziz, al-Jabbar, al-Mutakabbir; Maha Suci Allah dari segala apa yang mereka persekutukan” (Qs al-Hashr: 23).

Kata “Muhaimin” berasal dari kata “Haimana” yang berarti kekuasaan, pengawasan, dan kewenangan terhadap sesuatu (M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 3, 2004: 112). Yang dimaksud kata “kekuasaan” di sini adalah menguasai secara penuh berdasarkan keluasan ilmu-Nya. Sementara kata “kewenangan” yang dimaksudkan adalah memiliki kewenangan mutlak untuk melakukan tindakan sesuai dengan keluasaan ilmu-Nya, atau berarti juga memiliki kekuasaan menjaga secara mutlak sesuai dengan keluasan ilmu-Nya.

Karena itu Dr Muhammad al-Tonjy (Al-Mu’jam al-Mufashal fi Tafsiri Gharibi al-Qur’ani al-Karimi, 2003: 498), memaknai kata “Muhaimin” ada 3 pengertian, yaitu menyaksikan, mengawasi, dan menjaga. Jadi Allah SwT memiliki sifat khusus di mata makhluk-Nya, yaitu senantiasa menyaksikan (yang kelihatan dan yang ghaib), senantiasa mengawasi (yang kelihatan dan yang tersembunyi), dan menjaga (agar makhluk-Nya tetap lurus dan selamat). Tegasnya, Allah bersifat “Al-Muhaimin”.

Sifat Al-Muhaimin

Dengan adanya sifat khusus dan istimewa di atas, maka selaku makhluk-Nya yang lemah dan banyak kelemahan di hadapan Allah SwT, dianjurkan memupuk kesadaran terhadap 2 hal. Pertama, melakukan introspeksi diri secara terus-menerus terhadap segala tindakan jasmani maupun polah rohani. Sebab tindakan jasmani yang bersifat kasat mata maupun polah rohani yang bersifat batini, tersembunyi, seluruhnya senantiasa disaksikan secara gamblang, diawasi ketat, dan dijaga secara seksama oleh Allah SwT agar tidak terjerumus ke hal-hal yang tidak diinginkan.

Kedua, melakukan musyahadah, dalam arti batin terdalam senantiasa, seolah-olah, menyaksikan Allah SwT secara terus-menerus agar kita mampu terus-menerus menerima cahaya-Nya. Melakukan muraqabah, dalam arti batin terdalam senantiasa kita awasi secara terus-menerus untuk mendapatkan keridhaan Allah SwT, dan melakukan muhafadhah, dalam arti batin terdalam kita secara terus-menerus jaga diri dari kelalaian mengingat kebesaran Allah SwT, tersebab terlena pada fitnah dan cobaan nikmat kegembiraan dan penderitaan yang bersifat duniawi.

Bahwa kehidupan di dunia ini memang harus dijalani, sekalipun isinya penuh ritme yang silih berganti antara sedih-gembira, susah-senang, rugi-untung, kurang-tambah, sakit-sehat, gagal-berhasil, lambat-cepat, miskin-kaya, kalah-menang, bangkrut-sukses, terkucil-populer, terhina-terhormat, dan sebagainya. Namun kita yakin Allah Swt memiliki sifat Al-Muhaimin dan kita diberi peluang memanfaatkan kekuatan intropeksi, musyahadah, muqarabah, dan muhafadhah. Di situlah ketemunya.

Dr. H. Mohammad Damami Zain, M.Ag, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2017

Exit mobile version