Suara Muhammadiyah, Tahun Baru, Dan Visi Baru: Sebuah Akar Sejarah
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Di dalam sejarah Muhammadiyah, ada dua aktivitas yang kerap dilakukan dalam dua waktu yang berdekatan. Pertama, refleksi atas apa yang telah dilakukan selama setahun terakhir. Manfaatnya adalah untuk memeriksa sejauh mana pencapaian yang telah diperoleh Muhammadiyah. Refleksi ini biasanya dilakukan di akhir tahun. Kedua, menetapkan visi yang akan menjadi panduan organisasi di masa yang akan datang.
Di sini diterangkan tentang langkah-langkah strategis yang akan dijalankan untuk memajukan persyarikatan. Di samping itu, membentangkan visi yang segar juga memberi harapan baru sekaligus kekuatan kepada segenap warga Muhammadiyah untuk menjalani masa yang baru dimasuki. Kebiasaan kedua ini umumnya dilakukan di setiap awal tahun. Dan, kebiasaan ini telah berlangsung sejak lama. Beberapa contoh bisa dikemukakan di bawah ini, dalam hal ini terkait publikasi resminya, Suara Muhammadiyah.
Satu catatan paling awal tentang bagaimana Suara Muhammadiyah menjadikan tahun baru sebagai masa untuk menentukan visi baru adalah di tahun baru 1923. Sebagai majalah terbitan Taman Pustaka Muhammadiyah, Soewara Moehammadijah pada edisi Januari 1923 mengutarakan kepada para pembacanya bahwa sejak awal tahun baru itu mereka “membawak peroebahan jang tida begitoe ketjil, melainkan besar dan penting bagi rumah tangganja Soewara Moehammadijah”. Perubahan yang dimaksud tergolong visioner, menggambarkan tentang bagaimana majalah ini membayangkan masa depan Persyarikatan Muhammadiyah.
Perubahan pertama menyangkut tentang penyebaran majalah Soewara Moehammadijah. Mengingat perkembangan organisasi dan sekolah Muhammadiyah yang sudah menjangkau daerah-daerah yang jauh di luar wilayah asalnya (Residensi Yogyakarta), maka tanggung jawab untuk menyebarkan majalah ini tidak bisa lagi ditangani dari Yogyakarta semata. Maka, sejak Januari 1923 dibuatlah pembagian wilayah persebaran Muhammadiyah.
Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta, umpamanya, bertanggung jawab untuk mensirkulasikan majalah ini kepada pembacanya di Residensi Yogyakarta, Kedu dan Banyumas. Muhammadiyah Cabang Solo bertanggung jawab untuk sirkulasi di Residensi Surakarta, Madiun dan Kediri. Muhammadiyah Cabang Surabaya bertanggung jawab untuk sirkulasi di Residensi Surabaya, Madura, dan Celibes (Sulawesi), sementara untuk sirkulasi di wilayah Residensi Batavia, Serang, Bangka dan Sumatra ditangani oleh Muhammadiyah Cabang Batavia.
Persebaran Suara Muhammadiyah
Dapat dikatakan bahwa ini adalah akar dari apa yang bertahun-tahun kemudian muncul sebagai jaringan-jaringan persebaran Suara Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Pertama, melalui organisasi cabang Muhammadiyah di daerah. Kedua, ini merupakan awal dari munculnya agen lokal Suara Muhammadiyah, yang perannya krusial membawa majalah ini sampai ke tangan pembaca di seluruh Nusantara. Dan, ini juga merupakan bentuk awal dari institusi sirkulasi Suara Muhammadiyah yang lahir di masa yang jauh lebih belakangan lagi, Suara Muhammadiyah (SM) Corner, yang kini tersebar di seantero Indonesia dan menyediakan berbagai produk Suara Muhammadiyah.
Tahun baru lainnya yang menjadi penanda visi baru bagi Suara Muhammadiyah adalah 1937. Bila di atas kita ketahui bahwa ujung tombak sirkulasi Suara Muhammadiyah di luar Residensi Yogyakarta adalah cabang-cabang Muhammadiyah, maka di era 1930an, ada ujung tombak lainnya, yakni Majelis Pemuda dan Majelis Pimpinan ‘Aisyiyah.
Di dalam Soeara Moehammadijah edisi Desember 1936 diumumkan tentang usaha “perloeasan” yang dilakukan majalah ini terhitung Januari/Februari 1937. Yang dimaksud perluasan di sini adalah bahwa sesuai dengan keputusan Congres Seperempat Abad, maka mulai Januari 1937 itu majalah ini akan menjadi organ resminya Majelis Pemuda dan Majelis Pimpinan ‘Aisyiyah.
Itu artinya, persebaran majalah ini tidak hanya di antara Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta dan cabang-cabang Muhammadiyah di berbagai residensi di Hindia Belanda, tapi juga mencakup organisasi pemuda dan organisasi perempuannya Muhammadiyah. Perubahan ini juga memungkinkan kedua organisasi sayap Muhammadiyah itu untuk mempublikasikan berita yang berkaitan dengan organisasi mereka masing-masing di majalah ini, sesuatu yang tidak kita temukan di era 1920an.
Tantangan dan Optimisme
Beberapa dekade kemudian, tahun baru masih menjadi masa tatkala Suara Muhammadiyah menetapkan keputusan-keputusan baru demi memajukan dirinya. Indonesia memasuki tahun baru 1966 dengan penuh keprihatinan. Percobaan pengambilalihan kekuasaan terjadi beberapa bulan sebelumnya di Jakarta. Perekonomian nasional buruk dengan harga berbagai kebutuhan melonjak tajam.
Krisis juga menghantam dunia pers, di mana Departeman Penerangan, yang bertanggung jawab menyediakan kertas bagi penerbit pers di Indonesia, menjatah kertas secara terbatas. Maka, Suara Muhammadiyah pun memasuki tahun baru 1966 dengan penuh kesulitan, sama seperti yang dialami oleh banyak pihak lainnya di Indonesia kala itu.
Di edisi Januari 1966, redaksi Suara Muhammadiyah menulis bahwa “dengan berat hati dan terpaksa” mereka mengambil beberapa keputusan yang akan memberatkan pembaca namun diperlukan untuk keberlangsungan majalah ini di tengah zaman krisis. Keputusan pertama adalah harga langganan dan tarif iklan yang naik. Keputusan kedua adalah pengetatan aturan pada para pelanggan lama yang masih menunggak uang langganan, di mana keberadaan mereka akan digantikan dengan pelanggan baru. Ini dilakukan mengingat terbatasnya jatah kertas yang diterima majalah ini.
Suara Muhammadiyah menyadari bahwa memasuki tahun baru dengan harga dan tarif baru, dan pemutusan langganan bagi sebagian pembacanya, adalah situasi yang pelik. Tapi ini adalah solusi yang paling realistis. Bagi majalah ini, “perekonomian kita jang agak lesu ahir-ahir ini” tidak boleh menghentikan tersebarnya Suara Muhammadiyah.
Ada optimisme pula yang muncul di sana, karena majalah ini menekankan bahwa perubahan adalah hal yang wajar dalam kehidupan (ibarat “pasangsurutnja kehidupan ini”, tulis redaksi majalah ini) dan patut dijalani karena dengan demikian diharapkan ke depannya “segala sesuatunja akan tetap berdjalan lantjar”, yang pada akhirnya akan “menempa diri kita, bangsa kita, untuk perdjalanan selandjutnja”.
Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan
Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2019