Tantangan Sedekah Pemikiran dalam Keseharian
Oleh: Miqdam Awwali Hashri
Dalam kehidupan keseharian kita, ada dua macam sedekah, yaitu sedekah yang bersifat material dan immaterial. Sedekah yang bersifat material yaitu yang berwujud kebendaan seperti makan, minum, uang, dan sejenisnya. Sedangkan sedekah yang bersifat immaterial yaitu yang tidak berwujud namun manfaatnya dapat dirasakan contohnya adalah pemikiran, saran, nasihat, peringatan, dan sejenisnya.
Sedekah yang bersifat material sangat mudah diterima oleh kebanyakan orang karena wujudnya nampak. Ambil contoh makanan. Orang akan sangat suka jika diberi makanan atau ditraktir makan. Biasanya orang yang suka mentraktir akan lebih disukai dan populer. Makanan gratis memang nikmat, oleh karenanya beberapa lembaga zakat dan masjid mempunyai program sedekah makanan khususnya dihari jumat. Makanan tidak hanya untuk menegakkan punggung atau sekedar mengenyangkan perut, melainkan yang paling penting adalah untuk kebutuhan nutrisi agar manusia memiliki daya nalar yang baik.
Kebalikan dengan sedekah yang bersifat material, sedekah yang bersifat immaterial cenderung sulit diterima oleh kebanyakan orang. Contoh sedekah immaterial adalah pemikiran. Selain karena tidak nampak wujudnya, sedekah dalam bentuk pemikiran membutuhkan cara penerimaan tersendiri bagi setiap orang. Pemikiran dalam hal ini bisa dalam bentuk kritik, saran, nasihat, atau pengingat. Jika sedekah makanan mudah masuk ke dalam tubuh, maka sedekah pemikiran seringkali sulit diterima oleh orang yang hendak disedekahi.
Sulitnya memberikan sedekah pemikiran seringkali disebabkan oleh ego, baik ego bagi pihak yang memberikan sedekah maupun pihak yang diberikan sedekah. Mereka yang diberi sedekah pemikiran seringkali merasa tidak membutuhkan atau merasa sudah benar. Sedangkan bagi pemberi sedekah pemikiran juga seringkali merasa benar sehingga terkesan menggurui. Jika ini terjadi maka sedekah pemikiran akan sulit disampaikan dan menjadi mubadzir. Sedekah pemikiran yang awalnya merupakan suatu hal yang sangat bermanfaat, namun karena ego dari kedua pihak yang sama-sama keras, maka menjadi terbuang sia-sia.
Sedekah material dalam bentuk makanan sebetulnya pengaruhnya sangat singkat. Bahkan jika sudah diolah dalam tubuh, ampasnya harus dibuang karena jika tidak akan menimbulkan penyakit. Sedangkan sedekah immaterial dalam bentuk pemikiran, jika diolah maka justru akan semakin berkembang dan tidak meninggalkan ampas. Pengaruhnya long term (jangka panjang) bahkan hingga si pemberi sedekah telah meninggal dunia, manfaatnya masih dapat dirasakan. Semakin sering diolah, sedekah dalam pemikiran justru akan terus memberikan manfaat kepada manusia. Berbeda dengan sedekah makanan yang hanya bisa diolah sekali saja.
Karena manfaat dan pengaruhnya yang bersifat jangka panjang, tentunya juga memiliki tantangan tersendiri. Tidak mudah dalam memberikan sedekah dalam bentuk pemikiran karena bisa dikatakan akan jauh dari pujian manusia. Berbeda dengan sedekah makanan yang mudah untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dari manusia. Bahkan seringkali memberi sedekah dalam bentuk pemikiran justru mendapatkan celaan atau bullying karena dianggap “hanya bisa ngomong” atau berwacana saja, dalam bahasa Jawa biasa disebut “Omong-omong thok”.
Kunci Sedekah Pemikiran
Banyak orang yang tidak paham bahwa untuk memberikan suatu sedekah pemikiran, seringkali seseorang harus banyak membaca buku. Buku pun tidak ada begitu saja melainkan harus diusahakan dengan membeli atau meminjam di perpustakaan. Proses memahami suatu buku juga tidak singkat, seringkali membutuhkan waktu yang cukup panjang sehingga dapat dipahami. Selain membaca buku, proses agar dapat memberikan sedekah pemikiran juga dilakukan dengan menempuh pendidikan baik dari jenjang terendah hingga tertinggi yang tentunya juga membutuhkan proses perjalanan yang tidak singkat.
Dalam menempuh jenjang pendidikan tersebut pemberi sedekah pemikiran juga menempuh bermacam-macam proses seperti diskusi, debat, dan diuji oleh orang-orang yang kompeten. Bukan saja sekedar waktu, energi, bahkan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Bisa jadi dana yang dikeluarkan untuk menempuh pendidikan serta membeli buku lebih besar daripada sekedar mentraktir makan. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa seseorang yang memberikan sedekah pemikiran telah mengeluarkan effort yang lebih besar dibandingkan dengan sekedar memberikan sedekah berupa makanan.
Contoh yang paling mudah yang bisa diambil hikmahnya pada masa pandemi saat ini, yaitu ketika ulama sejak awal mewabahnya covid-19 telah memberikan panduan kepada masyarakat, termasuk dalam hal praktik beribadah. Namun hal ini tidak mudah diterima oleh segolongan masyarakat bahkan hingga level tinggi. Himbauan tersebut seakan tidak ditanggapi dengan serius bahkan cenderung diabaikan.
Tidak sedikit yang menganggap bahwa covid-19 adalah tipuan belaka yang hendak mencoba merenggangkan ikatan jamaah umat Islam karena adanya himbauan jaga jarak termasuk dalam shaf shalat. Namun belakangan ini pencegahan covid-19 juga dijadikan tameng untuk hal-hal yang dapat menguntungkan suatu pihak dan menekan pihak lain. Alhamdulillah, bagaimanapun juga masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tetap patut bersyukur karena hingga saat ini Muhammadiyah masih tetap istiqamah dalam berjuang melawan covid-19, baik dari segi penanganan medis maupun yang bersifat advokatif.
Tantangan yang begitu besar dalam memberikan sedekah pemikiran pada akhirnya juga akan mendapatkan balasan dari Allah SWT sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhamamad SAW “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim). Seringkali orang yang diberikan sedekah pemikiran tidak sadar manfaat yang begitu besar dari sedekah pemikiran. Kunci sukses sedekah pemikiran adalah pengendalian diri dan tidak terjebak pada ego.
Menurut filsuf modern abad 20, Allama Muhammad Iqbal, ego atau disebutnya dengan khudi memiliki potensi besar untuk mendorong kemajuan manusia karena sifatnya yang dinamis. Khudi dapat diolah, dipupuk, dikembangkan hingga mencapai keparipurnaan. Jika khudi dibiarkan statis maka akan cenderung jumud, kaku, dan beku yang pada akhirnya sulit untuk menerima sedekah dalam bentuk pemikiran. Sedekah pemikiran inilah yang dapat mengolah dan mengembangkan khudi agar terus tumbuh dan berdayaguna.
Kecenderungan manusia yang lebih mudah menerima sedekah kebendaan dikhawatirkan dapat membentuk sifat materialistis. Pada akhirnya kesenangan dan kegembiraan hanya diukur berdasarkan materi yang bisa diindra sehingga manusia dapat terjebak pada berhala kebendaan. Bahkan ada kecenderungan adanya pemahaman bahwa sedekah haruslah yang berwujud. Orang-orang kemudian mengharapkan adanya sedekah dalam bentuk materi. Padahal tidak jarang pada akhirnya sedekah material dikorupsi oleh oknum zhalim. Oleh karena itu, sudah selayaknya manusia membuka diri untuk dapat memberi dan menerima sedekah pemikiran dalam rangka memajukan peradaban manusia. Wallahua’lam
Miqdam Awwali Hashri, Kader Muhammadiyah Kudus, Mahasiswa Magister Sekolah Pasca Sarjana Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia