Beberapa saat, saya terpesona oleh sebuah lukisan yang dikirim dari Whatsapp Buya Syafii Maarif pada 28 Desember 2020. Saya bukan seniman dan tidak paham tentang estetika dari lukisan karya seniman perupa Djoko Susilo ini. Saya juga tidak mengerti seberapa dalam makna yang dapat diserap dan diendapkan dalam lukisan istimewa ini. Saya pun tidak tahu tentang cerita di balik goresan kanvasnya. Namun, secara fitrah, manusia menyukai keindahan sebagaimana kecenderungan menyukai kebenaran dan kebaikan.
Lukisan ini menampilkan wajah dua guru bangsa yang menjadi anugerah bagi Indonesia. Dua negarawan yang tidak pernah lelah mencintai tanah airnya. Keduanya adalah tokoh agama yang mendalam ilmunya lagi bijaksana. Keduanya memberi teladan dan menjadi rujukan bagi semua. Yang satu berasal dari latar belakang Islam Nusantara dan satunya merepresentasikan Islam Berkemajuan. Adalah Buya Ahmad Syafii Maarif dan KH Mustofa Bisri.
Buya Syafii cukup senang mendapatkan lukisan ini. “Imajinasi Pak Djoko sungguh mendahului zaman. I’am proud of him. Maarif,” tulis Buya dalam pesan Whatsapp. Komentar Buya selanjutnya juga masih dalam bentuk apresiasi. Apalagi ketika tahu bahwa Djoko Susilo memiliki obsesi untuk membuat pameran seni rupa dengan tajuk NU-Muhammadiyah. “Matur nuwun sanget. Sangat tajam dan gagasan sebuah corak Islam pasca NU-Muhammadiyah luar biasa,” tutur Buya.
Lukisan Buya Syafii dan Gus Mus ini punya banyak interpretasi. Keduanya sedang dirindukan di tengah situasi bangsa yang banyak masalah. Kedua senantiasa menjadi perekat dan jembatan bagi semua, tanpa pernah merasa paling berjasa. Bagi saya, kedua tokoh ini adalah aset bangsa yang sangat berharga. Jika pada pertengahan Oktober 2020 lalu, sebuah lukisan seniman Sudjana Kerton dengan judul “Kehidupan Desa Indonesia” terjual seharga 15 milyar rupiah di Sothebys Hongkong, maka ini sama sekali tidak ternilai harganya.
Buya Syafii dan Gus Mus bahkan sudah tidak membutuhkan penghargaan-penghargaan material. Keduanya telah selesai dengan gelimang duniawi yang fana. Pada 2019, keduanya bahkan pernah ditawari untuk dinominasikan menerima hadiah nobel perdamaian. Namun, keduanya sepakat dan legawa mengalihkan nominasi kepada dua organisasi yang banyak berdedikasi dan menampilkan corak the smilling face of Islam, NU dan Muhammadiyah. Fakta ini disampaikan langsung oleh Dubes Norwegia, Todung Mulya Lubis kepada Buya Syafii.
Keteduhan wajah Buya Syafii dan Gus Mus telah menjadi objek lukisan dari banyak seniman, baik seniman profesional maupun seniman yang hanya melampiaskan hobi. Kedua wajah ini misalkan pernah dilukis oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Al-Makin. Gus Mus sendiri merupakan seorang pelukis dan penyair. Baginya, lukisan memiliki daya gugah spiritual untuk menerangi hati nurani.
Menikmati lukisan berarti kita menikmati keindahan yang merupakan limpahan dari Dia Yang Maha Indah. Lukisan merupakan ekspresi pengolahan ide, yang lahir dari endapan pengalaman reflektif dan imajinatif seorang perupa. Sebuah karya seni rupa lahir dari pengalaman yang sangat pribadi, yang digali dari kehidupan. Di situlah nyawa sebuah karya. Seseorang bisa saja meniru karya orang lain, namun karya itu akan kehilangan jiwa. Ibarat jasad tanpa nyawa. Oleh karena itu, isyarat estetika di balik sebuah karya tidak bisa dinilai sama. (Muhammad Ridha Basri)