YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Moderasi Islam melekat dengan ajaran Islam mengenai konsep wasatiyah atau wasatiyatul Islam atau Islam jalan tengah. Konsep dasar Islam tentang wasathiyah ini merupakan rumusan ijtihad yang lahir dari prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Sisi lain, moderasi keindonesiaan juga berakar pada karakter bangsa sejak lama.
Hal itu disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam Webinar Refleksi Akhir Tahun dengan tema “Moderasi Keislaman dan Keindonesiaan” yang diselenggarakan oleh Program Doktor Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bekerjasama dengan Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pascasarjana UMY, pada Rabu, 30 Desember 2020, via Zoom Meeting dan Live YouTube.
Menurut Haedar Nashir, pilihan paradigma wasathiyah ini bukan sesuatu yang qat’iy, namun punya akar yang kuat di dalam Al-Qur’an. Haedar merujuk ayat tentang ummatan wasatha dalam QS Al-Baqarah: 143. Mengutip Ibnu Katsir, Haedar menyebut ummatan wasathan merupakan ciri dari khairu ummah dalam QS Ali Imran: 110, yang model dan contoh teladan utamanya ialah Nabi Muhammad SAW.
Nabi mengajak umatnya untuk menjadi umat tengahan sebagai umat terbaik dan dilarang untuk ghuluw atau berlebihan dalam beragama. Wasathiyatul Islam dalam pandangan Muhammadiyah ada proses dan ada tujuan, untuk membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya atau masyarakat utama.
Haedar menyebut bahwa konsep Islam wasathiyah dalam konteks dunia modern dapat selaras dengan demokrasi, HAM, modernisme, dan seterusnya. Menurut Muhammad Hashim Kamali (2015) yang dirujuk Haedar, wasathiyyah sangat selaras dengan konsep keadilan dalam Islam yang berarti memilih posisi di tengah di antara titik-titik ekstrem.
“Wasathiyah mengandung nilai tengahan dan tidak ekstrem dalam beragama. Prinsip moderasi itu berasal dari karakter Islam itu sendiri,” ujarnya. Haedar menyatakan bahwa pada saat haji wada, ada seorang sahabat melempar batu dengan terlalu bersemangat, Nabi mengingatkan bahwa, “engkau jangan berlebihan atau ghuluw!”
Selain dalam Al-Qur’an, Haedar menyebut bahwa prinsip moderasi juga dapat ditemukan pada banyak hadis Nabi Muhammad. Semisal hadis, basysyiru wala tunaffiru, wayassiru wala tu’assiru. “Sampaikanlah kabar gembira dan janganlah menakut-nakuti, serta permudahlah dan janganlah mempersulit,” (HR Muslim).
Sementara itu, dalam konteks Indonesia, prinsip moderasi terbentuk sejak awal. Dalam proses integrasi berbagai suku menjadi suatu bangsa, terjadi proses yang interaktif dan moderat. “Suku setempat dan agama setempat mengalami proses transisi dan integrasi dengan cara yang damai,” kata Haedar. Ketika datang penjajah, semua bersatu melawan musuh dari luar.
Tantangan gerakan moderasi kerap harus berhadapan dengan alam pikiran radikal-ekstrem. Termasuk paradigma deradikalisme yang sebenarnya di dalamnya terkandung muatan radikalisme baru. Hal ini dianggap hanya oposisi-biner yang melahirkan radikalisme baru. “Moderasi bukan melawan ekstrem, tetapi membangun konstruksi tengahan,” ungkap Haedar.
Haedar mengingatkan para pejabat negara untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan. Negara jangan sampai terpola dengan gerakan deradikalisasi dalam menghadapi radikalisme. “Apalagi jika program deradikalisasi itu secara biasa ditujukan hanya kepada umat Islam yang dianggap sebagai sarang radikalisme-ekstremisme.” (ribas)