Bekerjalah Dengan Baik dan Halal
Dalam beberapa kitab tafsir al-Quran, saya temukan uraian yang menyatakan bahwa ‘kita’ –umat Islam — diperintahkan untuk mengonsumsi makanan dan memeroleh rezeki yang halal dan thayyib (diperkenankan dan dianjurkan untuk dikonsumsi dan diperoleh).
Dalam QS al-Baqarah/2: 168 dan Al-Mâidah/5: 88 – misalnya — disebutkan dua rangkaian kata ‘halâl’ dan ‘thayyib’. “… makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi …” , dan “makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu ...”
Di dalam QS al-Baqarah, kita dianjurkan untuk memakan apa-apa saja di muka bumi ini sepanjang halal dan thayyib. Sementara itu, di dalam QS al-Maidah, kita dianjurkan untuk memanfaatkan rezeki Alah, sepanjang rezeki itu halâl dan thayyib. Dan Rasulullah saw pun memberikan contoh (konkret) untuk memanfaatkan semua karunia’ Allah yang halâl dan thayyib, dengan cara yang halâl dan thayyib, dan juga untuk sesuatu yang halal dan thayyib (yang tidak berdampak buruk, atau yang diperhitungkan bisa berdampak baik).
Contoh kasusnya, di dalam QS Thaha/20: 81 Allah berfirman: “Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas …”, yang ternyata bisa difahami, bahwa tidak semua yang semula dinyatakan halâl, dengan sendirinya bisa dinyatakan ‘baik’ untuk dimanfaatkan, karena ada kata ‘larangan’: “janganlah melampaui batas.”
Dalam wacana Fiqih, kata halâl (dan juga thayyib) bisa bermakna tiga macam. Pertama, terkait dengan dzat/bendanya sendiri (secara intrinsik); kedua: terkait dengan sebabnya, dan ketiga: terkait dengan akibat atau dampaknya.
Demikian juga dalam hal mencari ‘rezeki’, yang bisa kita disederhanakan pengertiannya, antara lain dengan: “bekerja untuk mencari nafkah,” kita pun akan berhadapan dengan kenyataan yang tidak semuanya bisa dinyatakan ‘halâl dan thayyib.’ Ada rezeki yang dzatnya (secara intrinsik) bisa dinyatakan ‘halâl’, tetapi karena rezeki itu diperoleh dengan cara yang ‘harâm’, maka rezeki itu pun bisa dinyatakan ‘harâm li ‘illatih (diharamkan karena sebabnya).
Oleh karena itu, dalam bekerja pun kita harus ‘cermat’ untuk memilih pekerjaan yang akan kita kerjakan, cara kita bekerja, dan juga dampak yang akan terjadi sebagai akibat dari pekerjaan yang kita jalani.
Sebagai muslim, kita harus memilih pekerjaan yang halâl dan thayyîb. Pilihlah pekerjaan yang diperkenankan oleh Allah dan rasul-Nya untuk kita kerjakan, tidak kita kerjakan dengan cara yang tidak diperkenankan oleh Allah dan rasul-Nya, dan juga bisa kita perhitungkan sebagai ‘pekerjaan’ yang tidak akan menimbulkan dampak negatif, bahkan diperhitungkan ‘bisa’ menimbulkan dampak positif bagi siapa pun, di mana pun dan kapan pun.
Ibda’ bi nafsik!
Muhsin Hariyanto, adalah Dosen Tetap Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.