Mengorbankan Kultural Demi Struktural? Terlalu Mahal
Karena isu agama, munculah keributan dan kegaduhan akhir-akhir ini. Tiba-tiba obrolan publik mengeras. Terbelah dua kelompok fanatik baik di dunia nyata maupun di dalam medsos. Tidak sedikit dari warga Muhammadiyah yang turut larut menghabiskan tenaga dan pikirannya pada perdebatan ini. Dalam hati berucap, kenapa lag-lagi isu agama dibawa-bawa ke ranah politik praktis? Tapi itulah politik, demi jabatan struktural, atas nama kekuasaan, segalanya ditempuh guna teracapainya kepentingan pribadi maupun kelompok.
Maka ada baiknya warga Muhammadiyah merenungkan kembali jawaban Kiai Dahlan atas ajakan Agus Salim untuk mengubah bentuk Muhammadiyah menjadi organisasi partai politik. Mengutip tautan https://www.suaramuhammadiyah.id/2018/11/18/jawaban-kiai-dahlan-ketika-agus-salim-bicara-politik-di-muhammadiyah/, berikut jawaban Kiai Dahlan, “Apakah Muhammadiyah itu? Apakah gerakan Islam itu? Apakah yang kita lakukan ini, untuk apa dan mengapa?” Ajakan Agus Salim tersebut ditolak sekaligus Kiai Dahlan mengukuhkan bahwa Muhammadiyah akan tetap pada gerakan kultural bukan struktural.
Sederhananya, Dr Moh Damami Zain Dosen Tetap UIN Suka menjelaskan, gerakan kultural ini adalah penguatan akar-akar nilai sebagai modal dasar mengarungi kehidupan yang kompleks dan selalu berubah. Istilah pohon, Damami mencontohkan, walau ia dipukul-pukul, terhempas anging, tapi karena akar sudah kuat, maka pohon tersebut tetap akan berdiri tegak. Tidak mudah termakan isu, apalagi isu-isu kasuistik terkait politik. Sebab dalam politik dikenal jargon tidak ada lawan dan kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Hari ini saling sikut, besok saling rangkul. Pemandangan yang sering ditemukan di negara ini.
Pesan serupa juga pernah disampaikan Pak AR Ketua Umum PP Muhammadiyah 1971-1990. Intinya ia berpesan agar jangan terlalu dekat dengan penguasa atau kekuasaan. Warga Muhammadiyah harus bisa menjaga jarak. Sebab jika terlalu dekat, maka akan lahir kekecewaan.
Itulah, lanjut Damami, yang terjadi hari ini. “Sekarang, saya kira umat Islam terlalu jauh ke sana (politik praktis) sehingga muncul kebencian-kebencian. Kenapa muncul kebencian, kekesalan? Karena yang struktural tersebut penuh dengan kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok. Walaupun saya tidak tahu individu dan kelompok di sini siapa,” terangnya.
“Mengorbankan yang kultural untuk tercapainya kepentingan struktural, terlalu mahal,” imbuhnya.
Gerakan Kultural Muhammadiyah
Lalu kenapa gerakan kultural, sebagaimana yang sudah dilakukan Muhammadiyah sejak lahir hingga sekarang, itu penting?, tanya Damami. Sebab, jawabnya, gerakan kultural adalah modal untuk melahirkan akhlak Islam ideal, yaitu rahmatan lil ‘alamiin. “Kalau gerakan kultural diperbesar, maka ini akan menjadi solusi lahirnya rahmatan lil ‘alamiin,” ucapnya.
Nah ulama, sambung Damami, disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai pewaris Nabi, waratsati al-anbiyaa’, itu karena ulama adalah pemelihara nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamiin, ajaran yang damai untuk kebaikan alam semesta tidak hanya untuk manusia saja. “Waratsati al- anbiyaa’ itu bukan kemudian dengan mengaku sebagai keturunan Nabi, itu topeng. Sebab Nabi pun tidak pernah berbicara akulah keturunan Ibrahim. Tidak ada,” jelasnya.
Karena selalu berkhidmad kepada gerakan kultural, tidak banyak terkontaminasi kepentingan politik, Muhammadiyah tampil sebagai teladan, model berorganisasi, salah satunya dalam hal suksesi kepemimpinan. Sudah menjadi budaya orang Muhammadiyah tidak mencari jabatan, tapi jika diberi amanah akan tanggungjawab.
“Karenanya setelah shalat saya selalu berdoa, Ojo nganti Muhammadiyah rebutan Ketua Umum,” pesannya. Sebab Muktamar Muhammadiyah dari waktu ke waktu selalu jadi teladan. Kalau sampai rebutan, siapa yang akan dijadikan teladan di masyarakat? Karenanya Muhammadiyah adalah harapan.
Terakhir, sebagai bahan renungan, Damami menguraikan, bahwa akhlak itu sifatnya transendental, maka pertarunganya adalah antara theos dan ego. Antara tuhan dan aku. Di mana “aku” ini melekat pada tubuh manusia yang terdiri dari saraf-saraf. Paling tidak ada panca Indra dan lima lainnya yaitu kerongkongan, perut, dubur, saluran kemih, dan seks. Artinya dalam diri manusia itu dikelilingi oleh 10 saraf-saraf tersebut yang sangat menekan. Maka fungsi Islam adalah untuk mengengkang 10 saraf-saraf tersebut agar tidak melenakan ego.
Dalam hemat saya, Damami menyimpulkan, ada hirarki akhlak. Jika thoes lebih besar dari ego, maka akhlak akan melahirkan iman. Jika theos sama kuatnya dengan ego, itulah akhlak sebagai ilmu. Dan jika ego lebih besar dari theos atau bahkan mutlak ego, itulah akhlak sebagai nikmat. Di manakah letak akhlak kita? Silahkan tanyakan pada lubuk hati yang paling dalam. (gsh)