Persinggungan Agama Dan Politik (2)
Prof Dr KH Dadang Kahmad, MSi
Di Indonesia, situasi hubungan antara agama dan politik tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dunia Islam lainnya. Dalam konteks demikian, untuk waktu yang agak lama, sejarah Islam Indonesia selama periode Orde Baru ditandai oleh kemandegan politik dalam hubungannya dengan agama. Bahkan, Islam politik (political Islam) sebagai bentuk perkawinan agama dan politik, pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan politik.
Karena adanya persepsi yang demikian itu, pihak politik berusaha menghambat dan melakukan domestifikasi terhadap gerak ideologis politik Islam. Akibatnya, bukan saja para pemimpin dan aktivis politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama Politik (sebagaimana terjadi pada tahun 1945-an, masa ketika Republik hendak didirikan, serta pada dekade 1950-an, yaitu ketika periode perdebatan ideologi-politik dalam Sidang Konstituante untuk merumuskan konstruk ideologi dan Undang-Undang Dasar) tetapi para penggagas Islam politik juga dituduh sebagai kelompok yang secara politik bersifat “minoritas” atau “out-siders”.
Pendeknya, sebagaimana yang sering dikatakan oleh sementara pengamat, politik Islam secara konstitusional, fisikal, elektoral, birokratik, dan simbolik telah terkalahkan. Yang lebih mengenaskan adalah, islam politik sering dicurigai sebagai anti ideologi politik Pancasila.
Situasi demikian, telah menimbulkan respon balik. Sebagai reaksi, banyak pemikir dan aktivis politik Islam memandang dengan rasa curiga terhadap politik. Terlepas dari kesediaan politik untuk memberikan berbagai fasilitas dan bantuan bagi komunitas Muslim dalam menjalankan ajaran agamanya, mereka menganggap politik berusaha untuk menghilangkan arti penting Islam secara politik serta menerapkan kebijakan sekuler. Bahkan, dalam situasi demikian, berkembang anggapan bahwa politik menjalankan kebijakan ganda (dual-policy) terhadap Islam.
Sementara membiarkan atau bahkan mendorong dimensi ritual Islam untuk tumbuh, politik tidak memberi peluang bagi Islam politik untuk berkembang. Dalam konteks hubungan semacam ini, dapatlah dikatakan bahwa rasa saling curiga antara pemikir dan aktivis politik Islam dan politik muncul di sebuah wilayah dimana mayoritas pendukungnya adalah Muslim.
Berkembangnya rasa saling curiga dan permusuhan politik seperti ini sebenarnya yang hendak diredusir (kalau tidak sama sekali bisa dihilangkan) oleh gerakan intelektualisme Islam yang muncul sejak awal periode 1970-an. Gelombang ini bergerak pada tiga tataran pemikiran yang berbeda. Pertama, pembaharuan teologis keagamaan. Kedua, pembaharuan politik/birokrasi, dan ketiga, transformasi sosial. Tujuan utama dari gerakan intelektualisme baru ini adalah untuk mengembangkan sebuah format baru politik Islam yang dianggap sesuai dengan konstruksi ideologis politik kebangsaan Indonesia. Gelombang pembaharuan tersebut banyak memberi kontribusi bagi tumbuh kembangnya gerakan yang lebih tersebar di berbagai level masyarakat sekarang.
Momentum terakhir, yang mengantar pada “babak baru” hubungan agama dan politik bertiup seiring kolapsnya rezim Orde Baru. Reformasi Mei 1998, demikian peristiwa ini dikenal memberi energi bagi bertaburnya partai-partai politik yang berbasiskan masa dan ideologi agama. Di antara puluhan partai, tidak semuanya secara terang-terangan menggunakan identias agama, namun tak dapat disangkalbahwa beberapa partai bertumpu pada sokongan organisasi, sentimen serta identitas kelompok agama (ormas) tertentu. (IM)
Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2020