Akar Relasi Baik Muhammadiyah dan Para Dokter
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Muhammadiyah selama ini dikenal sebagai organisasinya kelas menengah Indonesia. Artinya, para anggota maupun simpatisannya didominasi oleh mereka yang profesinya berada di tengah hierarki sosial, seperti pedagang, pegawai negeri, pamong praja, pekerja swasta dan guru. Ini tidaklah mengherankan mengingat akar Muhammadiyah yang kuat di kota, di mana modernisasi birokrasi dan pendidikan merupakan suasana yang kondusif bagi kelahiran dan perkembangan kelas menengah. Mereka dan keluarga mereka pula yang mengisi dan menggerakkan berbagai amal usaha Muhammadiyah.
Namun, ada satu profesi lain yang dekat kaitannya dengan Muhammadiyah, namun belum banyak mendapat tempat dalam ingatan publik menyangkut sejarah Muhammadiyah, khsususnya di periode formatif organisasi ini. Profesi itu ialah dokter. Bagaimana Muhammadiyah memandang para dokter di zaman ketika masyarakat pribumi masih sangat percaya pada dukun? Siapa saja dokter yang rapat relasinya dengan Muhammadiyah? Bagaimana para dokter membantu amal usaha Muhammadiyah?
Sejak di tahun-tahun awal pendiriannya, Muhammadiyah tidak hanya memberi kepercayaan pada pada guru agama yang berpengetahuan sebagai ujung tombak purifikasi Islam. Organisasi ini juga membawa misi baru, yakni memodernkan pemikiran dan kebiasaan kaum Muslim Hindia Belanda. Untuk misi ini, mereka memberikan kepercayaan kepada salah satu produk dunia modern: dokter.
Pada tahun 1915, atau tiga tahun setelah Muhammadiyah berdiri, dari internal organisasi ini muncul kampanye untuk memasyarakatkan penggunaan teknologi kesehatan terbaru, tak hanya untuk menjaga kesehatan, tapi bahkan untuk menjalankan ajaran agama. Kala itu seorang penulis Muhammadiyah mengkritik dukun sunat Jawa (bong) yang sering dijadikan sebagai petugas untuk mengkhitan anak. Bong kerap melakukan kesalahan sehingga muncullah berbagai masalah kesehatan paska anak dikhitan.
Barangkali ini disebabkan oleh praktik mereka yang hanya berdasarkan pengalaman turun-temurun dan bukannya penyelidikan ilmiah yang sistematis guna menemukan metode perawatan kesehatan yang lebih baik. Maka, yang disarankan adalah agar kaum Muslim untuk mengkhitankan anaknya di dokter karena dokter lebih memahami perkembangan ilmu kesehatan terbaru dan melakukan pekerjaan dengan lebih terampil.
Muhammadiyah dan Para Dokter
Atensi dan kepercayaan Muhammadiyah pada profesi dokter kian meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1918 Muhammadiyah mendirikan Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) sebagai lembaga untuk membantu korban letusan Gunung Kelud. Lembaga baru ini juga pernah membantu korban kebakaran di Yogyakarta. Titik sejarah penting lembaga ini adalah pada 15 Februari 1923, ketika Klinik dan Poliklinik (belakangan menjadi rumah sakit) PKU Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta. Sebagaimana telah dikemukakan oleh berbagai tulisan tentang sejarah PKU, lembaga maupun Rumah Sakit PKU berperan penting dalam menjaga kesehatan banyak pasien asal Kota Yogyakarta di era 1920an itu. Namun, bukan hanya pasien yang menjadi elemen penting dalam PKU, tapi juga para dokternya.
Kelahiran dan keberlangsungan Klinik dan Poliklinik PKU Muhammadiyah Yogyakarta sangat tergantung pada para dokter. Pemimpin pertama Klinik dan Poliklinik PKU Muhammadiyah adalah seorang dokter, Mas Dokter Somowidagdo. Ia adalah seorang dokter asal Malang, Jawa Timur, yang sangat terkesan dengan pendirian rumah pemeliharaan yatim piatu Muhammadiyah, sebuah alasan yang kemudian mendorongnya bergabung dengan Muhammadiyah.
Di kalangan internal Muhammadiyah sendiri, Somowidagdo dikenal sebagai seorang dokter yang pandai sekaligus tulus. Kehadiran Somowidagdo dengan gelar dokternya telah menarik minat banyak pasien, baik dari Yogyakarta sendiri maupun wilayah sekitarnya seperti Bantul. Bahkan, ada sejumlah orang Tionghoa yang menjadi pasien di klinik Muhammadiyah, memperlihatkan kepercayaan dari suatu kelompok masyarakat yang secara sosial dan ekonomi lebih tinggi kedudukannya dari kalangan pribumi pada dokter yang bekerja di klinik Muhammadiyah.
Pengembangan Klinik Muhammadiyah dibuka di luar Yogyakarta juga amat bergantung pada bantuan para dokter. Pada tahun 1924, Muhammadiyah berencana untuk membuka klinik di Surabaya, kota terbesar di Jawa Timur. Pertimbangannya, di kota ini banyak sekali orang sakit yang belum tertolong. Lantaran sakit yang tak terobati, mereka banyak yang, dalam istilah H. Mas Mansoer, Voorzitter (Ketua) Muhammadiyah cabang Muhammadiyah kala itu, “tersesat”.
Akibatnya, mereka tak bisa bekerja dan berakhir dengan tinggal di jalan ataupun di bawah jembatan. Memang sudah ada rumah sakit milik pemerintah, tapi ada sangat banyak pasien yang tak tertangani. “Maka oleh karena itoe”, terang Mas Mansoer, “kami sebagai manoesia, merasa wadjib sekali mendjoendjoeng mereka itoe dari pada tersesatnja”.
Untuk keperluan di atas, Muhammadiyah cabang Surabaya berencana untuk membangun sebuah klinik. Selain dana, unsur lain yang dibutuhkan adalah dokter. Dr. R. Soetomo, seorang nasionalis terkemuka, merupakan salah seorang dokter Surabaya yang berkenan membantu pendirian klinik itu. Ia bahkan mengajak serta delapan koleganya, yang kesemuanya adalah dokter juga, guna menyelenggarakan klinik tersebut. Ketika PKU Muhammadiyah Surabaya akhirnya dibuka pada 14 September 1924, rupanya ada lebih banyak dokter, baik dari kalangan dokter pribumi maupun dokter Belanda, yang membantu rumah sakit ini lewat berbagai cara.
Perkembangan pesat klinik Muhammadiyah di beberapa kota besar di Jawa tampaknya menarik minat lebih banyak banyak dokter untuk bergabung. Selain teman-teman dokternya Dr. Soetomo, pada Agustus 1924 ada seorang dokter lain yang menyatakan keinginannya membantu Muhammadiyah. Namanya Dokter Hirdjan. Selama empat tahun sebelumnya ia bekerja sebagai dokter di Jeddah. Tidak diketahui persisnya di bidang apa, namun agaknya ia merupakan dokter yang ditugasi pemerintah kolonial untuk menangani perawatan kesehatan para haji asal Hindia Belanda. Setelah tidak lagi bekerja di Jeddah, ia ingin mengabdi sebagai dokter di Tanah Jawa. Dan, Muhammadiyah adalah pelabuhannya.
Banyak kalangan Muslim Hindia Belanda yang percaya bahwa menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Belanda, termasuk di sekolah kedokteran, akan menjauhkan anak-anak dari agama Islam. Memang, kala itu sekolah Belanda dikenal sebagai institusi pembaratan Belanda. Menyikapi hal ini, Muhammadiyah cabang Surabaya mengambil langkah penting untuk memastikan agar anak-anak Muslim di sekolah kedokteran yang didirikan Belanda di kota itu, NIAS (Nederlandsch Indisch Artsenschool, asal mula Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga) mendapatkan pelajaran agama.
Para calon dokter ini dididik dalam bidang agama Islam oleh H. Mas Mansoer, Ketua Muhammadiyah cabang Surabaya. Pada September 1924 ia mengadakan Cursus Islam yang dikhususkan bagi para siswa NIAS Surabaya. Diadakan setiap hari Sabtu pukul 17.00-18.00, kursus ini diikuti oleh puluhan siswa NIAS. Karena semua siswa yang mengikuti Cursus Islam adalah orang Jawa, pengajaran diberikan dalam bahawa Jawa kromo. Dengan pengajaran ini, diharapkan agar para siswa ini, setelah menyelesaikan pendidikan kedokterannya, akan kembali ke masyarakat tidak hanya sebagai dokter yang terampil, tapi juga kuat pemahaman agamanya.
Dari penjelasan di atas, tampaklah bahwa di tahun-tahun formatifnya, Muhammadiyah tak hanya menaruh perhatian dan harapan besar pada guru agama, tapi juga pada para dokter. Dokter pada hakikatnya adalah pelopor dalam perbaikan kesehatan masyarakat. Tapi, bagi Muhammadiyah, fungsi dokter jauh luas lagi. Dalam pandangan Muhammadiyah, seorang dokter yang ideal memiliki setidaknya tiga karakteristik, yakni menguasai ilmu medis modern, mempunyai kepekaan sosial yang tinggi terhadap penderitaan yang dialami masyarakat, serta, yang tak kalah penting, harus memiliki pengetahuan agama yang baik. Seperti itulah relasi baik antara Muhammadiyah dan para dokter.
Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan
Sumber: Majalah SM Edisi 3 Tahun 2019