Al-Mushawwir, Allah yang Maha Membentuk Rupa
Kata al-Mushawwir dalam berbagai bentuknya ditemukan delapan kali di dalam al-Qur’an. Kata ini dirangkai sebagai satu kesatuan dengan kata al-Khaliq (Maha Pencipta) dan al-Bari (Maha Mengadakan). Ketiga kata ini berkaitan dengan perbuatan Allah: mencipta, berkreasi, membuat sesuatu dari tiada menjadi ada. Namun, satu kata lainnya memiliki perbedaan makna, baik dari segi aksentuasi maupun implikasinya.
Allah itu Khaliq (Pencipta) langit, bumi dan segala yang ada, termasuk manusia, karena Dia yang mengukur kadar ciptaan-Nya. Allah itu Bari’ karena Dia menciptakan dan mengadakan dari ketiadaan. Sedangkan Allah itu Mushawwir karena Dialah yang memberi bentuk dan rupa, cara dan substansi bagi ciptaan-Nya yang beraneka ragam.
Dari sekian banyak makhluk-Nya, manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang terbaik dari segi bentuk dan potensinya, dengan memberinya kemampuan berpikir dengan akal, memberinya hati dan hidayah (petunjuk jalan kehidupan) melalui wahyu dengan mengutus para Nabi dan Rasul. Selain itu, Allah juga menyediakan segala fasilitas kehidupan (rezeki) di muka bumi ini agar manusia dengan bentuk tubuh dan rupa yang baik, akal yang cerdas, hati yang bersih, dan petunjuk wahyu yang menyinari jalan kehidupannya mampu memerankan dirinya sebagai hamba dan khalifah-Nya dengan berbuat baik, membangun peradaban berkemajuan, dan tidak merusak alam raya.
Meneladani al-Mushawwir
Meneladani nama dan sifat Allah al-Mushawwir mengharuskan hamba untuk mengaca diri, berintrospeksi sekaligus mensyukuri (menerima, mengapresiasi, dan memaknai) anugerah sebagai manusia yang merupakan ahsan taqwim, agar tidak menjadi asfal safilin (posisi yang serendah-rendahnya) karena kufur, ingkar, dan maksiat kepada-Nya.
Bentuk rupa, wajah, kepribadian, kemampuan, dan peran manusia yang berbeda-beda mengandung hikmah mulia bahwa kehidupan di dunia ini “warna-warni”, plural, bineka, bersuku-suku, berbangsa-bangsa. Tujuannya adalah agar satu sama lain sangat mengenal, saling berdialog, saling menerima dan menghargai perbedaan. Dengan demikian, sebagai hamba al-Mushawwir, manusia semakin mengimani Allah yang Maha Sempurna dalam ciptaan-Nya. Di atas semua itu, hamba al-Mushawwir senantiasa dituntut untuk menunjukkan kinerja dan kreativitas terbaiknya dalam menjalani peran kehidupannya.
Meneladani al-Mushawwir juga mengharus hamba untuk berpikir kreatif dengan berupaya mengaktualisasikan ide-ide kreatif dalam rangka memaknai kehidupannya. Hamba al-Mushawwir senantiasa merasa perlu keluar dari zona nyaman (comfort zone), rutinitas yang membelenggu, menuju kreasi baru yang mencerahkan, menginspirasi, dan memotivasi amal shalih yang berkontribusi positif bagi keummatan, kemanusiaan, dan kebangsaan. Karena bentuk rupa, wajah, pesona, dan peran yang diberikan oleh Allah merupakan yang terbaik –dibandingkan dengan makhluk lainnya— maka hamba al-Mushawwir harus mampu menampilkan akhlak terbaik: akhlak kepada Allah, kepada sesama dan kepada makhluk lainnya, sebagaimana doa yang dibaca saat bercermin: “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah membaguskan ciptaanku, maka perbaiki dan perbaguslah akhlakku”.
Muhbib Abdul Wahab, Kaprodi Magister PBA FITK UIN Syarif Hidayatullah dan Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 19 Tahun 2017