Pernikahan Kader-Kader Muhammadiyah, Tanggung Jawab Siapa?
Oleh: Nur Ngazizah, S,Si,M.Pd
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar Rum; 21)
Menikah , tentu menjadi hal yang diidam idamkan oleh para pemuda dan pemudi yang secara umur sudah memasuki usia layak menikah. Pertanyaan kapan menikah seringkali menjadi momok ketika berkumpul dengan keluarga besar, teman sejawat atau teman kuliah. Termasuk dalam hal ini adalah kader kader, para pimpinan ortom, termasuk di dalamnya adalah para guru guru dan dosen di amal usaha Muhammadiyah. Pertanyaan kapan menikah yang diterima berkali kali adalah hal tentunya menjadi sensitive.
Pernikahan kader kader Muhammadiyah ini sebetulnya tanggung jawab siapa ? Apakah ini menjadi urusan pribadi mereka, ataukah ada kepedulian persyarikatan? sehingga ini menjadi masalah organisasi yang harus diselesaikan secara serius. Termasuk dengan siapa mereka menikah adalah penting untuk diperhatikan bersama. Mengapa demikian? karena menikahnya kader adalah bukan sekedar rasa suka, tetapi bagaimana pernikahan ini membawa ruh dakwah amar ma’ruf nahi munkar sehingga terwujud keluaraga sakinah mawadah warahmah dan penggerak dakwah yang mencerahkan dan menggembirakan ini.
Menikah di jalan dakwah adalah akar dari pengkaderan dalam Muhammadiyah, mengapa demikian, karena dengan menikah yang tidak hanya berdasar rasa saling suka saja,tetapi berdasarkan tekad untuk membentuk keluarga yang sakinah mawadah warahmah dan menegakkan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, maka dapat dipastikan dalam proses pernikahanpun akan mempertimbangkan tentang pola kaderisasi dalam Muhammadiyah lewat keluarga yang terbentuk ini. Sehingga kepedulian dari gerakan dakwah ini sangat diperlukan untuk keberlangsungan pengkaderan lewat keluarga-keluarga muda kader- kader Muhammadiyah.
Menikah Di jalan Dakwah
Di dalam Kitab Tafsir Al Azhar Karya Buya Hamka disebutkan bahwa Nabi Muhammad hidup dengan Khadijah selama 17 tahun sebelum kerasulannya dan 11 tahun sesudah itu. Setelah Khadijah wafat, Rasulullah menikah dengan Saudah binti Zam’ah, janda Sakran bin Amr bin Abd Syams. Tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Saudah adalah seorang wanita cantik, berharta atau mempunyai kedudukan yang akan memberi pengaruh duniawi dalam pernikahan itu. Saudah adalah istri orang yang termasuk mula-mula masuk lslam, termasuk orang-orang yang dalam membela agama Allah, turut memikul pelbagai macam penderitaan.
Adapun Aisyah dan Hafshah adalah putri-putri dua orang pembantu dekatnya, Abu Bakar dan Umar. Hal inilah yang membuat Rasulullah mengikatkan diri dengan kedua orang itu, Sama juga halnya beliau mengikatkan diri dengan Usman dan Ali dengan jalan menikahkan kedua putrinya kepada mereka. Sedangkan dengan Aisyah gadis itu dipinangnya kepada orang tuanya tatkala ia berusia sembilan tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum pernikahan dilangsungkan. Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa beliau sudah mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil. Hal ini diperkuat lagi oleh pernikahan beliau dengan Hafshah binti Umar yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai saksi.
Rasulullah menikahi Aisyah atau Hafshah bukan karena cintanya atau karena suatu dorongan berahi, tapi karena hendak memperkokoh ikatan masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua orang pembantu dekatnya itu. Sama halnya ketika beliau menikahi Saudah, maksudnya supaya pejuang-pejuang Muslimin itu mengetahui, bahwa kalau mereka gugur dalam membela agama Allah, maka istri dan anak-anak mereka tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.
Pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Khuzaimah dan Ummu Salamah mempertegas hal tersebut. Zainab adalah istri Ubaidah bin Harits bin Muthalib yang syahid dalam Perang Badar. Dia tidak cantik, hanya terkenal karena kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sampai ia diberi gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin). Sedangkan Ummu Salamah sudah banyak anaknya sebagai istri Abu Salamah, yang wafat akibat luka yang dideritanya dalam Perang Uhud. Empat bulan setelah kematian Abu Salamah, Rasulullah meminang Ummu Salamah. Tetapi wanita ini menolak dengan lemah lembut karena ia sudah banyak anak dan sudah tidak muda lagi. Namun akhirnya, ia setuju dinikahi Rasulullah yang bertindak mengurus dan memelihara anak-anaknya.
Demikian kisah pernikahan Rasulullah Muhammad SAW yang sarat dengan visi dakwah untuk memperkuat barisan orang orang yang berjuang di masa itu. Sehingga dengan pernikahan yang penuh dengan visi dakwah ini, menikah menjadikan kekuatan berjuang dan berdakwah semakin tinggi. Bukan justru melemahkan dakwah yang tengah ditempuh.
Bagaimana Muhamadiyah Mengatur Kehidupan Berkeluarga
Tidak hanya dalam kehidupan pribadi, Muhammadiyah juga mengatur tentang tatacara hidup berkeluarga yang baik. Karena bagaimanapun juga, keluarga merupakan bagian penting dari sebuah kehidupan. Bagaimana Muhammdiyah mengatur kehidupan warganya? Berikut ini pedoman hidup islami warga muhammadiyah dalam kehidupan keluarga sebagaimana yang diterbitkan oleh Muhammadiyah dalam website www.muhammadiyah.or.id.
Kedudukan Keluarga
- Keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat dan bangsa sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai yang paling intensif dan menentukan, Karenanya menjadi kewajiban setiap anggota Muhammadiyah untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah yang dikenal dengan Keluarga Sakinah.
- Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah dituntut untuk benar–benar dapat mewujudkan Keluarga Sakinah yang terkait dengan pembentukan Gerakan Jama’ah dan da’wah Jama’ah menuju terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Kedudukan keluarga yang di PHIWM ini mencerminkan bahwa Muhammadiyah tidak hanya mengatur kehidupan pribadi warga Muhammadiyah, tetapi kehidupan berkeluarganyapun diatur dan menjadi urusan organisasi. Hanya yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana proses mewujudkan keluarga Muhammadiya ini. Bagaimana langkah yang harus ditempuh, sehingga pernikahan kader Muhammadiyah ini menjadi urusan organisasi di semua tingkatan.
Pentingkah dibentuk Lembaga Pernikahan yang bisa memfasilitasi kader kader Muhammadiyah untuk menikah. Sehingga gerakan dakwah amar ma’rif nahi munkar ini tetap eksis ,karena kader kadernya menikah dalam nuansa dakwah persyarikatan. Sehingga ruh dakwahnya tetap terus berlanjut setelah menikah.
Fungsi Keluarga
- Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah perlu difungsikan selain dalam mensosialisasikan nilai-nilai ajaran Islam juga melaksanakan fungsi kaderisasi sehingga anak-anak tumbuh menjadi generasi muslim Muhammadiyah yang dapat menjadi pelangsung dan penyempurna gerakan da’wah di kemudian hari.
- Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah dituntut keteladanan (uswah hasanah) dalam mempraktikkan kehidupan yang Islami yakni tertanamnya ihsan/kebaikan dan bergaul dengan ma’ruf, saling menyayangi dan mengasihi, menghormati hak hidup anak, saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, memberikan pendidikan akhlaq yang mulia secara paripuma, menjauhkan segenap anggota keluarga dari bencana siksa neraka, membiasakan bermusyawarah dalam menyelasaikan urusan, berbuat adil dan ihsan, memelihara persamaan hak dan kewajiban, dan menyantuni anggota keluarga yang tidak mampu.
Melaksanakan fungsi kaderisasi sehingga anak anak tumbuh menjadi generasi muslim Muhammadiyah ini menjadi tugas yang tidak mudah bagi semua keluarga Muhammadiyah. Karena itu membutuhkan kesamaan visi saat membentuk keluarga dan tentunya juga diperlukan komitmen yang luar biasa dari semua anggota keluarga terutama Ayah dan Ibu tentunya. Jika fungsi keluarga adalah kaderisasi, bagaimana mungkin fungsi ini bisa terwujud jika secara organisasi pernikahan para kader muda Muhammadiyah ini tidak ada yang memperhatikan dan mengaturnya. Akan menjadi suatu hal yang bertolak belakang jika fungsi kaderisasinya begitu ditekankan, tetapi mewujudkan rumah tangganya tidak ada yang menangani secara serius.
Bagiamana Mewujudkan Pernikahan Antar Kader
- Diperlukan suatu Lembaga/badan/biro di bawah Majelis Kader atau Tabligh di semua tingkatan, paling bawah di tingkatan daerah. Sehingga pendataan di tiap daerah lewat ortom, AUM, PCM dan PCA bisa lebih dikoordinasikan dengan rapi.
- Ada tim yang khusus menangani Lembaga tersebut, bisa membentuk semacam Sakinah Centre Muhammadiyah, yang bersinergi antara Muhammadiyah dan Aisyiyah beserta ortom yang lain.
- Menyelenggarakan kelas kelas atau sekolah Pranikah untuk diikuti oleh semua kader Muhammadiyah baik di Ortom maupun amal Usaha Muhammadiyah dan Aisyiyaj. Ini sangat relevan dengan program Nasyiatul Aisyiyah yaitu Samara Course dan juga Keluarga Muda Tangguh NA. Ada juga program dari Aisyiyah berupa Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Aisyiyah. Sekolah Pranikah ini menjadi wadah untuk membekali calon pengantin baik laki laki maupun perempuan.
- Setelah mengikuti sekolah Pranikah ini, maka bisa dilakukan proses lebih lanjut oleh Tim bagi peserta peserta sekolah Pranikah
- Menjadi mediator dalam upaya pernikahan para kader ini membutuhkan keseriusan dan keikhlasan. Kewajiban kita berikhtiar semaksimal mungkin, bukan hanya bertanya kapan mereka menikah. Tetapi menjadi solusi dengan siapa dan bagaimana mereka menikah.
Tulisan ini muncul karena kegalauan dan keresahan hati melihat kondisi di sekitar, harus ada upaya yang solutif dan bahu membahu untuk masa depan kaderusasi Dakwah Muhammadiyah lewat keluarga-keluarga yang terbentuk. Keluarga kader bisa terbentuk semestinya juga oleh kader yang mumpuni. Sehingga kesadaran dan kepedulian bersama memikirkan bagaimana pernikahan kader ini menjadi langkah yang mesti ditempuh.
Berbuat dan melangkah dengan rapi sehingga hasilnyapun akan istimewa untuk masa depan dakwah Muhammadiyah. Jika tidak bisa berbuat untuk seluruh dunia ini, maka berbuatlah untuk satu negara ini. Jika itu tdak bisa, maka berbuatlah untuk satu wilayah. Jika itupun tidak bisa, maka berbuatlah untuk satu daerah, cabang atau ranting. Jika masih tidak bisa lagi, berbuatlah yang terbaik untuk keluarga kita. Belomba lomba di dalam kebaikan, dan pastikan diri kita hadir sebagai pemain kebaikan, bukan penonton kebaikan. Karena penonton tidak pernah jadi pemenang
Fastabiqul khiraat
Nur Ngazizah, S,Si,M.Pd, Dosen PGSD UM Purworejo, Ketua PDNA dan Ketua Majelis Tabligh PDA Purworejo