JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pandemi Covid-19 yang hampir berlangsung satu tahun di Tanah Air, telah mendisrupsi hampir semua aktivitas ekonomi. Tingkat pengangguran bertambah, lapangan kerja tidak tersedia, tingkat kemiskinan meningkat tajam, ekspor tergerus, investasi anjlok, daya beli masyarakat strata terbawah semakin jatuh, sehingga jika tidak ditangani dengan manajemen pengelolan negara dengan baik, handal, cerdas, dan bertanggungjawab, maka ketidakpastian ekonomi akan terus berlanjut dan akan berdampak pada ketidakstabilan sosial dan politik di Tanah Air ke depan.
Demikian disampaikan Herry Zudianto Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam, Economic Outlook 2021 MEK PP Muhammadiyah pada 12 Januari 2021. Dalam kaitan kondisi itu, untuk mengurangi tensi ketidakpastian ekonomi, maka pendekatan ekonomi tidak cukup dalam menyelesaikan masalah. Harus melibatkan pendekatan sosial dan budaya.
Dalam konteks pendekatan ekonomi, mitigasi risiko-risiko ekonomi harus selalu diperhitungkan. Pandemi Covid-19, sejatinya yang paling terkena efeknya adalah masyarakat menengah paling bawah dan masyarakat miskin. Sementara, masyarakat menengah-atas dan pemilik modal besar, masih bisa bertahan, bahkan masih bisa mengakumulasi tabungan, deposito, dan investasi dalam berbagai produk dan instrumen. Data membuktikan, beberapa kembaga perbankan nasional melaporkan, justru terjadi peningkatan nasabah prioritas hingga dua digit.
Artinya, masyarakat menengah-atas dan pemiliki modal raksasa, masih sangat mampu “mengamankan” asset dan kekayaannnya, sementara masyarakat menengah-bawah dan miskin makin jatuh dan terkapar. Di sinilah peluang peningkatan ketimpangan ekonomi makin nyata dan melebar di masa pendemi Covid-19 ini.
Selanjutnya, dalam pendekatan sosial dan budaya diperlukan pendekatan modal sosial (social capital), dalam bentuk mengajak masyarakat menengah bawah untuk berimitra dan bekerjasama usaha (partnership). Setidaknya, sikap-sikap filantropis dan sikap tidak menunjukkan kemewahan hidup bagi segelintir orang kaya di arena publik menjadi sangat penting. Tunjukkan sikap-sikap gotong royong dan kesederhanaan hidup.
Dalam kaitan kemitraan, tidak semata kemitraan antara masyarakat (usaha kecil, mikro, dan ultra mikro) dengan pihak swasta (skala menengah dan besar). Tapi juga kemitraan dengan pihak pemerintah. Berbagai bentuk kebijakan dan alokasi stimulasi ekonomi pemerintah kepada masyarakat, misalnya, dalam bentuk Bansos dan lainnya, harus dipastikan tepat sasaran dan tidak boleh lagi ada oknum pemerintah yang menjadikan sumber bancakan untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi ke depan, kemitraan dan kebijakan gotong royong antara masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah harus menjadi skala prioritas. Ketidakpastian hanya bisa diatasi dengan kebersamaan, bukan dengan kepongahan antarpihak.
Melihat ketidakpastian kondisi ekonomi itu, Muhammadiyah sebagai persyarikatan dan gerakan, secara genetikal tentu ikut bertanggungjawab. Bagaimana Muhammadiyah dengan teologi al ma’un dan teologi al ashr nya bisa menjadi solusi cerdas. Dalam teologi al ma’un, Muhammadiyah ikut melakukan pemihakan kepada kelompok masyarakat rentan dan termajinalkan (masyarakat miskin, usaha ultra mikro, dan mikro) untuk untuk terus diberdayakan, diadvokasi, dan ditingkatkan kapasitas dan skala usahanya.
Sementara dalam konteks teologi al ashr, bagaimana masyarakat diberikan solusi yang bersifat jangka panjang. Berupaya memberikan pencerahan kepada masyarakat untuk tidak hidup penuh pesimisme, selalu berpikir positif, dan selalu menjadikan waktu menjadi peluang. Muhammadiyah harus memberikan semangat optimisme bagi masyarakat. (MEK)