JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sejak awal Muhammadiyah berkomitmen mendukung setiap usaha dalam hal peningkatan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah, dengan catatan harus sesuai ajaran Islam. Bagi Muhammadiyah, kesesuaian segala perilaku dengan ajaran Islam memiliki posisi yang sangat penting dan utama dalam upaya memakmurkan dunia dan seisinya.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membidangi ekonomi, Anwar Abbas menyampaikan bahwa jika ada perilaku atau kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, maka tugas Muhammadiyah adalah melaksanakan fungsinya untuk berdakwah, menyuarakan amar ma’ruf nahi mungkar.
“Oleh sebab itu yang menjadi landasan dan pedoman bagi Muhammadiyah dalam kehidupan beragama adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan dalam urusan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila dan UUD 1945,” ujar Anwar Abbas dalam Webinar Nasional Economic Outlook 2021 dengan tema “Menjawab Ketidakpastian Ekonomi: Posisi dan Peran Strategis Muhammadiyah” pada Selasa, 12 Januari 2021.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana implementasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap Pancasila dan UUD 1945. “Banyak tulisan atau artikel yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, tetapi setelah saya lihat kembali kenyataannya tidaklah demikian,” ucapnya.
Anwar Abbas meminta kepada pemerintah untuk kembali mengamalkan seluruh nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Pancasila harus tetap ada pada posisinya sebagai dasar negara. Jangan dirusak, diubah, diusik, dan jangan lagi dipertentangkan.
Dalam hal pembangunan ekonomi yang berdasarkan Pancasila, maka harus bertumpu pada sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Maksudnya adalah ekonomi yang bermoral, berakhlak, dan beretika.
“Saya melihat banyak sekali praktek-praktek ekonomi yang melanggar etika, akhlak, dan moral. Oleh karena itu kita harus berusaha mengembalikan jalan ekonomi kita kepada jalan yang lurus,” ungkap Anwar Abbas.
Anwar mengingatkan bahwa dalam praktek ekonomi tidak boleh ada praktek-praktek untuk mengeksploitasi orang lain demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Meraup keuntungan yang sebesar-besarnya bagi segelintir orang. Hal ini tentu sangat bententangan dengan sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
Selain itu, pembangunan ekonomi yang terlalu terpusat di Jawa menyebabkan kesejahteraan tidak merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Di mana 50% ekonomi nasional berputar di Jakarta. Ketimpangan ekonomi yang sangat besar ini dapat mengakibatkan stabilitas sosial terganggu. Terjadi kecemburuan sosial, kebencian, hingga perpecahan antar warga masyarakat. Hal ini lagi-lagi bertentangan dengan sila ketiga “Persatuan Indonesia”.
Mengingat belum adanya kepastian ekonomi karena hantaman Covid-19, negara harus hadir memberikan perlindungan kepada rakyatnya yang rentan dan miskin. Meningkatkan stimulus ekonomi bagi UMKM, sebagaimana yang terkandung dalam sila keempat Pancasila.
Ekonomi yang berkeadilan dinilai memiliki peran strategis karena dapat menopang seluruh sendi benegara setiap rakyatnya. Kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan individu menjadi sebuah keharusan jika sebuah negara ingin tetap eksis. Negara ini harus diurus bersama, jika tidak, maka akan hancur dengan sendirinya.
“Saya meminta kepada pemerintah supaya betul-betul memfungsikan mata, telinga, dan hatinya agar dapat mendengar jeritan dan merasakan penderitaan rakyat. Karena menurut saya, pemerintah ada karena rakyat. Kalau tidak ada rakyat maka pemerintah tidak ada gunanya,” pesannya. (diko)