Jika Usiaku Tinggal Sehari Lagi
Oleh: Raspa Abdullah
“Ayah,,,beberapa helai rambutmu sudah kelihatan ubannya!” seorang anak gadis kecil berujar setengah berteriak, sambil menunjuk kearah rambut ayahnya. Ayahnya tampak sedang asyik menikmati kopinya, sembari memperhatikan segerombolan anak ayam yang ke sana kemari di depan mereka mengikuti kemana indungnya pergi.
Mereka berdua sering melepas senja ketika ayahnya pulang kerja lebih awal, sama dengan yang terjadi hari itu. Tanpa ingin mengganggu ibunya yang sedang menyelesaikan pekerjaan di belakang, mereka juga menghamburkan biji-biji jagung untuk diperebutkan ayam-ayam yang sedang mencari perbekalan agar tidur malamnya bisa nyenyak.
Seolah ingin membuktikan apa yang diucapkan, sang putri mendekatkan pandangannya ke arah kepala ayahnya. Tentu maksudnya adalah untuk bisa melihat dengan jelas, dan memastikan apa yang diucapkannya.
“ahhh,,,ini benar-benar uban, yah” ujarnya sambil menyibakkan helai demi helai rambut ayahnya. Semua sisi kepala ayahnya ditelusuri dengan seksama, di sana ditemukan helai rambut ayahnya yang sudah tidak hitam lagi.
Ayahnya yang sedari tadi menikmati kopi hitam kesukaaanya, sejenak terusik. Biji-biji jagung yang berada dalam tangannya, dihambur ke satu arah seolah ada hal penting yang harus segera diselesaikannya. Setengah berlari, ia meninggalkan anaknya yang setengah kebingungan melihat tingkah bapaknya.
Ternyata, bapaknya berlari menuju ke kamar keluarga. Di sana, dia langsung berhadapan dengan cermin besar yang sedang menempel keras pada lemari pakaian mereka. Perlahan didekatkan kepalanya, sebelah sisi kanan kepalanya nyaris menempel pada cermin tersebut.
Matanya digerakkan ke atas, berusaha untuk melihat gambaran helai-helai rambutnya yang terlukis di cermin.
Helai-helai rambut putihnya tampak jelas terlihat di cermin itu. Berbalik lagi sisi kiri kepala kirinya didekatkan ke cermin, melakukan hal yang dan ditemukan juga gambaran yang sama. Rambutnya sudah memutih sebagian. Begitu pula bagian atas kepalanya “ternyata saya sudah tua” gumamnya dalam hati setelah apa yang dilihatnya memperkuat apa yang disampaikan oleh putri kesayangannya. Ada rasa yang bercampur aduk dalam hatinya. Ada rasa takut yang perlahan muncul. Ada keluh yang harus tersampaikan. Gejolak itu semakin menyesakkan dada, hingga jebol benteng kokohnya sebagai seorang laki-laki. Perlahan keluar air mata…dia menangis.
Tersadar,putri kecilnya ditinggal sendirian di luar, segera dia tinggalkan kamarnya untuk menemui putrinya. Karena kekhawatirannya, hingga ia lupa menyeka air mata yang sempat mengalir di pelupuk matanya. Setengah terjeut, sang anak menatap ayahnya penuh curiga.
“Ayah kenapa menangis?” tanyanya seolah butuh penjelasan. Anak perempuannya yang masih duduk di kelas 4 SD itu seakan paham apa yang sedang terjadi pada ayahnya. Mungkin karena ikatan emosional antara mereka berdua begitu kuat.
Perlahan dipeluk anak perempuannya, pelukan seorang ayah yang begitu hangat seolah tak ingin dilepaskan.
“Nak, ternyata ayah memang sudah tua” gumamnya pelan.
“Terus kenapa ayah menangis?” Tanya anaknya penasaran sambil sedikit memaksa keluar dari pelukan ayahnya. Dia ingin melihat wajah ayahnya dengan baik.
Dengan tidak melepaskan pelukannya, perlahan dituntun anak perempuannya mendekati tempat mereka duduk tadi. Duduklah mereka berdampingan, sambil meletakkan tangan nya pada bahu anak perempuannya.
“Nak..memutihnya rambut ayah atau uban ini, adalah isyarat dari Tuhan bahwa ayah sudah tua. Sudah berkurang usia ayah menemanimu” perlahan ayahnya berucap sambil melihat lurus ke depan tanpa melihat wajah anaknya.
“Apakah itu yang membuat ayah menangis tadi?” Tanya anaknya sambil memandang wajah sang ayah.
“Iyah nak,,ayah sedih. Ayah khawatir kalau usia ayah tinggal sehari lagi. Karena memutihnya rambut itu sinyal dari Tuhan kalau ajal ayah semakin dekat. Sama dengan ketika tulang ayah sudah mulai melemah” semakin lembutnya ayahnya berucap hingga seakan hanya didengar oleh putrinya.
“Ayah sedih, kalau sore ini menjadi sore yang terakhir menemanimu bermain. Tentu sudah tidak ada lagi hari-hari bahagiamu kita lewati bersama” perlahan dia menoleh ke arah putrinya. Tampak jelas wajah ayahnya, walau sedikit tertutup gelap karena senja mulai beranjak pergi.
“Ayah sedih,,,karena jika usia ayah tinggal sehari lagi, maka ayah tidak bisa lagi menemanimu pada momen-momen bahagiamu. Ayah tidak lagi menemanimu pada saat penerimaan raportmu. Tidak akan ada senyum bangga ayah yang terlihat saat engkau lulus sekolah nak” kembali lagi dia berpaling dari wajah anaknya, karena butir-butir bening telah berbaris keluar dari matanya.
“Walau kelak dewasa nanti, engkau akan menemukan laki-laki yang siap melanjutkan tanggung jawab ayah. Tapi ayah khawatir, kalau dia tidak bisa menyayangimu, seperti sayangnya ayah padamu” semakin serak suara ayahnya, tidak bisa menyembunyikan kalau ia sedang menangis.
Tak kuasa membendung perasaannya, dipeluk rapat-rapat anak perempuannya yang sudah mulai juga meneteskan air mata.
“Nak,,jika usia ayah tinggal sehari lagi, maaafkan ayah yang belum sempurna mendidikmu. Maafkan ayah belum bisa jadi sosok panutan yang baik. Maafkan ayah,,,yang belum bisa membuatmu tersenyum bahagia, seperti kawan-kawanmu yang lain. Maafkan ayah…yang masih ingin bersamamu seribu tahun lagi”
Seiring suaranya sang ayah yang semakin mengecil, terdengar alunan merdu suara adzan maghrib di masjid. Perlahan sang ayah mengecup kening putrinya, dituntunnya ke dalam rumah. Bergegas ia ke masjid, memenuhi panggilan Tuhannya.
Satu persatu anggota tubuhnya dibilas dan dibasuh dengan air, sebagai bagian dari rukun wudhu. Lantas masuk dalam barisan shalat berjamaah. Mengangkat tangan memuji kebesaran Tuhan, meyakini bahwa kebesaran Tuhan jauh di atas kebesaran makhluk ciptaan-Nya.
“Rabbi, jika usiaku tinggal sehari lagi, maka terimalah ibadahku ini sebagai salah satu dari ibadah-ibadah terbaikku” gumamnya.