Al-Iman, berasal dari kata kerja ‘aamana’ (أمن) — yukminu’ (يؤمن) bermakna terpercaya, baik lahir atau batinnya. Seorang mukmin berbeda standar dengan seorang muslim. Hal ini, dilihat dari aspek pemanfaatan fasilitas diri secara intrumental bahwa pernyataan kemukminan itu berbeda dengan pernyataan kemusliman. Gambaran kedua perbedaan itu, ditunjukan oleh QS al-Hujurat ayat 14.
۞قَالَتِ ٱلۡأَعۡرَابُ ءَامَنَّاۖ قُل لَّمۡ تُؤۡمِنُواْ وَلَٰكِن قُولُوٓاْ أَسۡلَمۡنَا وَلَمَّا يَدۡخُلِ ٱلۡإِيمَٰنُ فِي قُلُوبِكُمۡۖ وَإِن تُطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتۡكُم مِّنۡ أَعۡمَٰلِكُمۡ شَيًۡٔاۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٤
Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ´kami telah tunduk´, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Ayat itu, secara kebahasaan menunjukan bahwa standar keislaman itu bersifat formal lahiriyah, sedangkan standar keimanan bersifat batiniyah. Bagaimana penyatuan diantara tuntutan lahiriyah dengan batiniyah itu terjadi secara benar, dan sebagai wujud hakiki beragama Islam yang sebenarnya.
Secara fithriyah (asal penciptaan), manusia itu memiliki empat potensi. Pertama, hawas / indra dengan lima potensi (panca indra), yaitu indra penglihatan (mata), pendengaran (telinga), peraba (kulit), membau (hidung), dan pengecap (lidah). Kedua, qalb / hati dengan dua potensi yang kontradiksi, yaitu buruk / fujûr dan baik / taqwâ),
Ketiga, fu’âd / perasaan, yaitu potensi selektor/safety, kemampuan memilih dan menempatkan diri pada tempatnya. Keempat, lub / nurani, yaitu penentu kebenaran adanya kebaikan dalam diri manusia. Pemanfaatan kelengkapan secara terintegrasi ini, dikatakan makna hakiki al-syukr atau tasyakur kepada Allah SWT yang berarti adanya keimanan dalam dirinya.
Syukur sendiri artinya berterimakasih kepada Allah SWT atas segala nikmat-Nya atau bisa bererti pujian bagi-Nya. Lebih luas lagi, syukur berarti ungkapan lega dan senang atas semua nikmat Allah yang diwujudkan dalam lisan, hati, dan perbuatan. Semoga kita termasuk orang-orang yang pandai bersyukur.
Ayat Dimyati, Dosen Tetap UIN Gunungjati Bandung
Sumber: Majalah SM Edisi 20 Tahun 2017