Perpustakaan-Perpustakaan Muhammadiyah
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Berdirinya Grha Suara Muhammadiyah yang megah pada tahun 2018 merupakan titik kisar penting dalam sejarah Muhammadiyah. Ini tidak hanya dalam pengertian hadirnya sebuah kompleks jurnalistik yang lebih representatif bagi para kru Suara Muhammadiyah. Selain ruang redaksi, percetakan, maupun toko buku Suara Muhammadiyah yang jauh lebih bagus daripada yang ada di kantor sebelumnya yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari gedung baru ini, ada satu ruang publik yang disediakan untuk penyimpanan dan penyebaran pengetahuan.
Ruang itu adalah perpustakaan Suara Muhammadiyah di lantai empat Grha. Di sini tersimpan berbagai koleksi buku dan majalah yang menyimpan memori tentang sejarah Muhammadiyah maupun sejarah Islam Indonesia secara khusus. Di tengah ruangan Perpustakaan Muhammadiyah yang adem itu terdapat sebuah boks kaca berisi reproduksi halaman yang diambil dari Suara Muhammadiyah tahun 1915, sebagai sebuah simbolisasi keberlangsungan hidup majalah ini selama lebih dari seratus tahun.
Namun, perpustakaan ini bukanlah satu-satunya perpustakaan yang dimiliki Muhammadiyah. Kehadiran perpustakaan dalam dunia gagasan Muhammadiyah sudah berumur sangat lama. Bagi para pengelola Muhammadiyah di dekade-dekade awal organisasi ini, kondisi keagamaan dan situasi sosial umat Islam Hindia Belanda tidak hanya perlu diperbaiki dengan pendirian sekolah agama dan rumah sakit, dua institusi yang hingga kini menjadi lambang pencapaian gemilang Muhammadiyah di level nasional. Ada sebuah institusi lain yang tak kalah penting, yakni perpustakaan. Muhammadiyah termasuk lembaga Islam paling awal yang memelopori penggunaan karya tercetak (dalam bentuk brosur agama, majalah, dan buku) sebagai medium mendiseminasikan dakwah Islam.
Karya tercetak tidak hanya membutuhkan ide, penulis, mesin cetak dan pembaca, tapi juga sebuah ruang yang secara fisik memfasilitasi penyebaran gagasan-gagasan keagamaan. Perpustakaanlah yang menyediakannya, karena perpustakaan dirancang untuk memudahkan pencari ilmu untuk mendapatkan akses pada beragam sumber pengetahuan. Dengan kata lain, progres yang dibuat Muhammadiyah dalam bidang pemikiran tidak hanya didapat dari kurikulum pendidikannya yang maju untuk ukuran zamannya, tapi juga pada apresiasi lembaga ini, sejak masa dahulu, pada perpustakaan.
Salah satu perpustakaan awal Muhammadiyah yang menarik dan patut untuk diingat adalah perpustakaan yang dikenal sebagai Gedoeng-Boekoe Moehammadijah. Perpustakaan yang berada di bawah Taman Pustaka Muhammadiyah ini diketahui sudah eksis pada tahun awal 1920an. Taman Pustaka sendiri merupakan bagian Muhammadiyah yang diresmikan K.H. Ahmad Dahlan tahun 1920. Pembukaan ulang perpustakaan Gedoeng-Boekoe Moehammadijah ini dilakukan pada hari Minggu, 4 Januari 1925. Alamatnya di Jagang Rotowijayan No. 7 Yogyakarta. Ada empat orang pengelolanya, yakni Haji Hanad, A. Amjad, H. Muslim dan M. Yunus Anis (yang 34 tahun kemudian menjadi Ketua PP Muhammadiyah). Perpustakaan Muhammadiyah ini tidak buka setiap hari, melainkan hanya pada malam Sabtu jam 18.30-21.00 dan Ahad pagi jam 09.00-10.30.
Walaupun jam kunjungannya terbatas, koleksi di Perpustakaan Muhammadiyah ini mencerminkan luasnya pandangan pengelolanya terhadap sumber-sumber pengetahuan. Tidak hanya buku berbahasa Jawa yang disimpan di sini, tapi juga kitab berbahasa Melayu—bahasa yang berperan sebagai bahasa persatuan di kalangan pribumi kala itu—dan bahasa Arab—bahasa asing yang penting untuk diketahui oleh orang Islam di Hindia Belanda. Dengan demikian, koleksi yang tersimpan di sana tidak hanya yang berkaitan dengan ajaran Islam, tapi juga berisi informasi tentang pengetahuan umum yang sesuai dengan abad modern.
Yang tak kalah penting, akses perpustakaan ini sifatnya sangat terbuka. Para pengelolanya pernah menyebut bahwa mereka “menerima dengan senang hati, saudara-saudara sekalian, dengan tiada memandang djenis dan bangsa, yang soeka datang membatja, memindjam dan memadjoekan kitab-kitab jang ada di Gedoeng Boekoe itoe”. Itu artinya, pengelolanya berharap agar koleksinya tak hanya bermanfaat bagi anggota Muhammadiyah semata, tapi juga segala “bangsa” yang ada di Yogyakarta di zaman itu.
Mengingat bahwa pada era 1920an itu yang bisa membaca aksara Latin, selain sebagian kecil orang pribumi, adalah orang Belanda, Indo-Eropa, dan Tionghoa, maka bisa dikatakan bahwa seruan di atas mempunyai setidaknya dua tujuan. Pertama, itu merupakan upaya Muhammadiyah untuk turut memajukan pengetahuan di kalangan seluruh bangsa di Hindia Belanda, baik pribumi maupun asing. Kedua, dengan perpustakaan itu Muhammadiyah berharap agar kalangan di luar Muhammadiyah dan Islam akan lebih jauh mengenal Islam maupun pergerakan Muhammadiyah via koleksi yang mereka punya.
Di masa-masa belakangan, seiring dengan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, maka berkembang pulalah perpustakaan Muhammadiyah. Bila di masa awal dahulu Muhammadiyah hanya punya satu perpustakaan, kini bisa dipastikan bahwa setiap perguruan tinggi Muhammadiyah setidaknya punya satu perpustakaan pusat yang mengakomodasi pencarian pengetahuan bagi mahasiswa maupun dosen di sana. Belum lagi dihitung perpustakaan di tingkat fakultas, jurusan, pascasarjana, dan pusat studi. Di luar perpustakaan di kampus-kampus Muhammadiyah, masih ada lagi perpustakaan jenis lainnya, termasuk perpustakaan di kantor pusat PP Muhammadiyah di Yogyakarta dan Perpustakaan Pusat Dakwah Muhammadiyah di Jakarta.
Kedua perpustakaan Muhammadiyah yang disebut terakhir ini merupakan sumber penting baik bagi para pemikir Muhammadiyah sendiri maupun bagi para peneliti yang fokus pada kiprah Muhammadiyah. Salah seorang cendekiawan muda Muhammadiyah, Hilman Latief, dalam bukunya, Melayani Umat, berterima kasih kepada kedua Perpustakaan Muhammadiyah ini yang dinilainya telah membantunya untuk menyusun buku tersebut. Bahkan, Ketua PP Muhammadiyah kini, Haedar Nashir, dalam karyanya tahun 2010, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, berterima kasih secara khusus pada Perpustakaan Muhammadiyah Pimpinan Pusat di Yogyakarta beserta stafnya, Nurhadi, yang ia sebut telah “membantu memasok data/buku lama yang ketika membuka lembarannya saja memerlukan tarikan nafas yang dalam karena sengatan kertas buram yang sudah lusuh dan ada yang robek karena puluhan tahun di rak perpustakaan”.
Di luar itu, perpustakaan Muhammadiyah tak hanya memberi pengetahuan bagi pembacanya, tapi juga membangun tradisi literasi hingga ke level yang mungkin tak terbayangkan oleh para pengelolanya hampir seabad silam. Pada tahun 2005, publik di Yogyakarta dan Indonesia mulai mengenal nama Dauzan Farook. Farook, anak Kauman yang kala itu berusia 80 tahun, merupakan seorang pengelola perpustakaan bergerak bernama Mabulir (Majalah dan Buku Bergilir). Berbagai media, lokal dan nasional, meliput aktivitasnya untuk meminjamkan berbagai buku bacaan dengan secara langsung mendatangi pembaca, khususnya anak-anak. Ia seperti menjadi ikon tentang pencari ilmu ideal, bahwa mencari ilmu dengan membaca itu benar-benar dilakukan sepanjang hayat.
Namun, yang mungkin kurang diketahui publik, ketertarikan Farook pada dunia buku dimulai dari ayahnya. Ayahnya rupanya seorang penyuka buku yang bekerja sebagai pengurus di Taman Pustaka Muhammadiyah. Mengingat Farook lahir tahun 1925, bukan tidak mungkin tatkala kecil ia pernah diajak ayahnya berkelana di perpustakaan Taman Pustaka Muhammadiyah di Yogyakarta, yang sempat disinggung di awal tulisan ini. Dalam konteks ini, perpustakaan Muhammadiyah telah berhasil membangun minat pada ilmu pengetahuan pada dua generasi berbeda, generasi ayah dan anaknya. Tak hanya Farook yang berterima kasih pada Muhammadiyah, tapi juga sebaliknya. Sebagai bentuk respek pada pustakawan senior ini, salah satu SD terkemuka Muhammadiyah, SD Muhamadiyah 4 Surabaya, memberi nama perpustakaannya “Dauzan Library”.
Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan
Perpustakaan – Perpustakaan Muhammadiyah, Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2019