YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pembahasan mengenai Presiden pertama Indonesia Ir Sukarno akan selalu menarik. Mulai dari kisah perjuangan hingga pandangan-pandangan politis serta religiusnya. Banyak penulis yang menuangkan pemikirannya khusus untuk mengulik sisi Nasionalisme Religius dari Sukarno, salah satunya Prof M Ridwan Lubis.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) melalui Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M), memberikan ruang diskusi publik untuk membedah buku Sukarno dan Islam, Dialog Pemikiran Modernisme Islam di Indonesia karya Prof M Ridwan Lubis, Rabu (20/1). Acara ini diselenggarakan secara virtual dan mengundang beberapa tokoh Nasional seperti Anggota DPR RI Hamka Haq, Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia Prof Dr Yudi Latif, MA, dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti.
Penulis Buku, Prof M Ridwan Lubis mencoba memperlihatkan tiga wajah Sukarno yang telah ia tuangkan dalam karyanya yaitu pribadi, pemikiran, dan sisi politisnya. Menurutnya juga ada keunikan dari Bung Karno yaitu sebagai pemikir Islam. “Sumber pemikiran Sukarno adalah dari demokrasi barat. Pemikiran tentang Islamnya didapat dari (Saudi Arabia, Turki, Mesir), humanisme India, sejarah eksploitasi bangsa Indonesia,” tuturnya.
Namun begitu, Bung Karno mengemukakan pandangan yang dianggap kontroversial pada masanya. Di tengah alur pemikiran mu’tamad-tekstual-tradisional yang cenderung menatap masa lalu, Bung Karno mengemukakan pemikiran rasional-filosofis-spekulatif menatap masa depan (deconfessionalized of muslim thought).
“Jadi dari orientasi pemikiran Islam bergeser dari simbolistik formee verklarin kepada substansi menuju Islam gerakan. Fokus perhatian fase kemajuan Islam (abad 7-13 M) dan kebangkitan Islam (abad 18-20) merupakan orientasi pemikirannya yaitu lebih tertuju optimisme kebangkitan Islam, sebagai sumbangsih untuk kemerdekaan bangsa dari penjajahan,” tambah Ridwan.
Muhammadiyah dan Sukarno
Prof Abdul Mu’ti memberikan sisi lain dari Sukarno yang menurut catatan sejarah sangat dekat dengan Muhammadiyah. “Dalam konteks perjalanan, Sukarno seorang pengembara keagamaan yang menemukan dan mendalami Islam. Ia dilahirkan dari Ayah yang beragama Islam dan Ibu beragama Hindhu. Tapi komitmennya terhadap Islam begitu tinggi. Sejarah panjang kehidupannya tidak menunjukkan bahwa ia anti terhadap Islam. Pemikirannya tentang Islam pun mengacu kepada KH. Ahmad Dahlan yang notabene pendiri Muhammadiyah,” jelasnya.
Seperti yang kita ketahui bersama, KH. Ahmad Dahlan dikenal sebagai sosok yang menjelaskan Islam secara rasional dan Ilmiah, terbuka dan positif terhadap ilmu pengetahuan. Hal inilah yang menjadikan Muhammadiyah dan Bung Karno memiliki ketertarikan yang sama.
Dari buku ini kita bisa mengambil pelajaran berarti mengenai keseimbangan antara KeIslaman dan Nasionalisme. Yang mana hal tersebut begitu penting dibutuhkan di masa sekarang. “Kita bisa belajar dari Sukarno bahwa ia mencerminkan adanya keseimbangan Nasionalisme dan Religius baik dalam pemikiran dan tindakan. Itulah yang sedang kita butuhkan sekarang ini,” tandas Prof Abdul Mu’ti. (Hbb)