Wanita, Keledai, dan Anjing Hitam Pembatal Shalat?

Wanita, Keledai, dan Anjing Hitam Pembatal Shalat?

Oleh: Ruslan Fariadi

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ قَائِمًا يُصَلِّي فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ قُلْتُ مَا بَالُ الْأَسْوَدِ مِنْ الْأَصْفَرِ مِنْ الْأَحْمَرِ فَقَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ (رواه النسائي)

“Dari Abu Dzarr dia berkata; Rasulullah saw bersabda: Apabila salah seorang diantara kalian shalat, hendaknya dia membuat pembatas di hadapannya seperti kayu yang dijadikan sandaran di belakang pelana. Karena kalau tidak ada pembatasnya, shalatnya akan terputus apabila lewat di hadapannya seorang perempuan, keledai dan anjing hitam. Lalu aku bertanya kepada Abu Dzar, kenapa yang berwarna hitam, bagaimana dengan warna kuning atau merah? Dia menjawab, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw sebagaimana yang anda tanyakan kepadaku, dan beliau saw menjawab; Anjing hitam adalah setan.” (HR. An-Nasa’i)

Pendahuluan

Meraih kekhusyukan dalam beribadah termasuk dalam shalat merupakan hal yang sangat didambakan oleh setiap muslim. Karena salah satu golongan yang termasuk kategori orang yang beruntung adalah orang yang khusyuk dalam shalatnya (Qs. Al-Mu’minun [23]:1-2). Namun pada sisi lain, terdapat berbagai hal yang dapat mempengaruhi tingkat kekhusyukan seseorang dalam shalat, bahkan sampai membatalkannya. Dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi menyebutkan bahwa wanita, keledai dan anjing hitam termasuk hal yang dapat menghilangkan kekhusyukan, bahkan membatalkan shalat.

Ditinjau dari aspek validitasnya, Hadits riwayat An-Nasa’i tersebut telah memenuhi keteria Hadits shahih serta dapat dijadikan hujjah (argumen). Selain An-Nasa’i, matan Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, Malik dalam AlMuwaththa’-nya, dan Muslim dalam al-Jami’ as-Shahih-nya. Dalam riwayat Muslim terdapat Hadits sebagai berikut;

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ قُلْتُ يَا أَبَا ذَرٍّ مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنْ الْكَلْبِ الْأَحْمَرِ مِنْ الْكَلْبِ الْأَصْفَرِ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ. (رواه مسلم)

Dari Abu Dzarr dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian hendak shalat, sebaiknya kamu membuat sutrah (penghalang) di hadapannya yang berbentuk seperti kayu yang diletakkan diatas hewan tunggangan, apabila di hadapannya tidak ada sutrah seperti kayu yang diletakkan diatas hewan tunggangan, maka shalatnya akan terputus oleh keledai, wanita, dan anjing hitam.’ Aku bertanya, ‘Wahai Abu Dzarr, apa perbedaan anjing hitam dari anjing merah dan kuning? Dia menjawab, ‘Aku pernah pula menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. sebagaimana kamu menanyakannya kepadaku, maka jawab beliau, ‘Anjing hitam itu setan‘.” (HR. Muslim)

Namun untuk memahami matan Hadits tersebut, perlu dikaji secara mendalam dan tidak hanya secara harfiah karena akan dikesankan bias gender (misoginis) yang meletakkan wanita dalam posisi linier dengan keledai dan anjing hitam. Oleh sebab itu, untuk memahaminya dibutuhkan metode dan pendekatan ilmu ma’anil hadits (penjelasan Hadits), agar terhindar dari kesalahan dalam memahami maksud dan isi kandungannya.

Hadits riwayat An-Nasa’i dan Muslim di atas berisi perintah untuk mengenakan sutrah (pembatas) ketika shalat, dan jika seseorang tidak mengenakan sutrah, maka shalatnya tidak sah jika melintas di hadapannya wanita, keledai dan anjing hitam. Namun benarkah demikian?

Hal ini perlu diulas lebih lanjut, karena dalam kitab-kitab fikih yang membahas tentang faktor yang dapat membatalkan shalat (mubthilat as-shalah) tidak satupun yang meletakkan ketiga hal tersebut sebagai pembatal shalat. Oleh sebab itu, untuk memahami makna mendalam dari matan Hadits tersebut, perlu dikupas tiga kata kunci (key word) yang terdapat dalam Hadits tersebut, yaitu; wanita, keledai, anjing hitam dan kata yaqtha’u (terputus)

Wanita (Perempuan)

Secara harfiah, matan Hadits di atas menunjukkan bahwa wanita merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kekhusyukan bahkan sampai membatalkan shalat. Wanita menunjukkan pada istilah untuk jenis kelamin (manusia) yang bisa menstruasi, hamil, dan melahirkan anak (KBBI). Oleh karenanya, cakupannya pun menjadi sangat luas, yaitu bisa berarti istri, anak perempuan kandung, ibu kandung, ibu mertua, wanita mahram dan bukan mahram, bahkan perempuan yang masih kecil hingga dewasa termasuk dalam pengertian wanita.

Jika difahami secara harfiah, semua kategorisasi tersebut dapat membatalkan shalat jika lewat di depan orang yang sedang melaksanakannya. Padahal dalam Hadits lain riwayat imam Muslim dari Aisyah ra. justru menjelaskan makna sebaliknya.

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ قَالَ فَقُلْنَا الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ فَقَالَتْ إِنَّ الْمَرْأَةَ لَدَابَّةُ سَوْءٍ لَقَدْ رَأَيْتُنِي بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَرِضَةً كَاعْتِرَاضِ الْجَنَازَةِ وَهُوَ يُصَلِّي (رواه مسلم)

Dari Urwah bin az-Zubair dia berkata, Aisyah berkata, “Apa yang memutuskan shalat?” Perawi berkata, “Kami menjawab, “Wanita dan keledai!” Kata Aisyah, “Apa wanita itu adalah hewan melata yang jelek?. Sungguh aku melihat diriku sendiri (sering) tidur melintang seperti jenazah di hadapan Rasulluah saw, ketika beliau sedang shalat.” (HR. Muslim)

Hadits ini terkesan ta’arudh (kontradiktif) dengan Hadits-Hadits sebelumnya, sehingga diperlukan kajian yang mendalam untuk dapat memahaminya dengan benar. Para ulama telah menjelaskan makn Hadits tersebut, antara lain seperti yang dikemukakan oleh imam Nawawi. Beliau menyatakan bahwa bahwa perempuan tidak termasuk faktor yang memutuskan shalat seorang lelaki berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair.

Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa, adanya beberapa Hadits yang berbeda ini menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama’. Namun mayoritas ulama salaf maupun khalaf termasuk Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, dan lainnya berpendapat bahwa shalat tidak batal karena melintasnya salah satu dari ketiga faktor tersebut. Hal yang sama juga disampaikan oleh Asy-Syaukani bahwa wanita yang lewat di depan laki-laki yang sedang shalat tidak sampai membatalkan shalatnya.

Keledai

Keledai merupakan salah satu jenis hewan berkuku satu, mirip kuda kecil, bertelinga panjang dengan ekor yang hanya pada ujungnya berbulu (KBBI) dan banyak dijadikan sebagai alat transportasi dan angkutan barang oleh masyarakat Arab pada masa jahiliyah maupun di zaman Nabi saw. Namun di sisi lain, keledai sering kali dijadikan perumpamaan dalam Al-Qur’an dalam makna negatif seperti perumpamaan untuk orang bodoh atau berakhlak buruk, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Al-Jumu’ah ayat 5:

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS. Jumu’ah [62]:5)

Dalam surat Luqman ayat 19 juga disebutkan,

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Qs. Luqman [31]: 19)

Terkait dengan makna Hadits di atas, dimana keledai sebagai salah satu faktor yang dapat membatalkan shalat, Ibnu Arabi menjelaskan, keledai bisa memutuskan shalat karena kebebalan-kebandelannya dan tidak segera pergi jika dihalau. Juga karena suaranya yang melengking dan mengganggu, atau karena sulit dihalau hingga mengeluarkan kotoran. Hal ini menunjukkan hilangnya kekhusyukan atau bahkan sampai membatalkan shalat, bukan semata-mata karena keledainya namun lebih kepada dampak lain yang ditimbulkannya. Bahkan dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari sangat jelas bahwa Rasulullah tetap melanjutkan shalatnya pada saat salah seorang sahabat lewat mengendarai keledai di hadapan jamaah yang sedang mengerjakan shalat.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ وَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَيَّ (رواه البخاري و مسلم)

Dari Abdullah binAbbas berkata; aku datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh, dan Rasulullah sedang shalat di Mina dengan tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada orang yang menyalahkanku“. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Keledai Foto Dok The Conversation

Anjing Hitam

Maksud dari anjing hitam secara spesifik sudah dijelaskan dalam matan Hadits di atas, “al-Kalbu al-Aswadu as-Syaithan” (anjing hitam adalah setan). Namun demikian, ungkapan tersebut juga masih multi tafsir, sebab apakah setiap anjing yang berwarna hitam itu setan? Juga maksud dari setan tersebut apakah dalam pengertian hakiki ataukah majazi (kiasan), yaitu sesuatu yang mengganggu? Semua ini masih memerlukan penjelasan secara lebih rinci. As-Suyuti menjelaskan setan dapat berubah wujud seperti anjing hitam, dan warna hitam menggambarkan sesuatu yang berbahaya dan buas. Bahkan terdapat Hadits yang memerintahkan untuk membunuh anjing hitam.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنَّ الْكِلَابَ أُمَّةٌ مِنْ الْأُمَمِ لَأَمَرْتُ بِقَتْلِهَا فَاقْتُلُوا مِنْهَا الْأَسْوَدَ الْبَهِيمَ (رواه ابو داود)

Dari Abdullah bin Mughaffal, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya anjing itu tidak termasuk salah satu umat diantara berbagai umat, niscaya aku diperintahkan untuk membunuhnya. Bunuhlah anjing yang hitam pekat.” (HR. Abu Dawud)

Namun sebagian ulama memahami Hadits tersebut bukan semata-mata karena warnanya yang hitam, namun dikaitkan dengan buas dan berbahaya serta membawa penyakit rabies yang mematikan. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari realitas yang terjadi di saat Hadits ini dimunculkan. Sedangkan untuk saat ini, tidak semua anjing hitam itu berbahaya dan buas, sebab banyak yang dipelihara sejak kecil hingga menjadi jinak dan bersahabat dengan pemiliknya. Selain itu, ada juga yang mengaitkan sebagai penyebab batalnya shalat karena dikaitkan dengaan liur anjing yang termasuk kategori najis mughallazah (najis berat).

Yaqtha’u (Memutuskan)

Kata “yaqtha’u” dalam bahasa Arab merupakan fi’il mudhari’ dari kata kerja lampau (fi’il Madhi) “qatha’a” yang berarti putus atau memutuskan. Kata ini difahami oleh para ulama dengan ragam makna. Sebagian ulama mengartikan kata “yaqtha’u” dalam Hadits tersebut dengan makna “batal atau membatalkan”, seperti pendapat Abu Hurairah, Anas, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Al-Hasan Al-Bashri, Abul Ahwash, dan Ibnu Hazm Azh-Zhahiri. Sebagian ada yang mengkhususkan makna yaqtha’u khusus pada anjing hitam (lihat kitab Nailul Authar dan AlMuhalla).

Sementara kelompok lainnya ada yang memaknai kata “yaqtha’u” dengan makna kurangnya kekhusyukan dalam shalat, sebagaimana pendapat jumhur ulama antara lain Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i (lihat, Al-Muhalla dan Subulus Salam). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Al-Qurthubi dan As-Suyuti, bahwa kata “yaqtha’u” adalah bentuk balaghah atas kekhawatiran akan terputus (batal) nya shalat karena hilangnya kekhusyukan akibat fikiran terkonsentrasi pada tiga hal tersebut.

Isi Kandungan Hadits

Dari uraian dan pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa para ulama memiliki pemahaman dan interpretasi yang beragam terhadap redaksi Hadits di atas. Namun jika dikaji secara mendalam, pada prinsipnya wanita, keledai, dan anjing hitam bukan merupakan faktor yang secara langsung menyebabkan hilangnya kekhusyukan hingga membatalkan shalat, namun aspek atau akibat lain yang muncul dari ketiganya.

Hal ini menunjukkan, bahwa selain dari ketiga faktor tersebut, juga terdapat faktor lain yang sama-sama berpotensi mengganggu dan menghilangkan kekhusyukan jika berada atau lewat di hadapan orang yang sedang melaksanakan shalat. Maka laki-laki yang lewat di hadapan jamaah perempuanpun juga berpotensi menyebabkan berkurangnya kekhusyukan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Hadits tersebut sesungguhnya tidak diskriminatif gender jika difahami secara benar dengan mengkomunikasikan antara teks dan konteks (sabab al-wurud) serta menggunakan metodologi pemahaman yang tepat.

Sutrah (Pembatas) Sebagai Solusi

Persoalan kekhusyukan sesungguhnya sangat terkait dengan faktor internal orang yang melaksanakan shalat, baik terkait dengan keimanan, pemahaman agama, pemahaman bacaan shalat dan lain sebagainya, dan bukan semata-mata karena faktor eksternal yang ada di sekitarnya. Namun untuk mengantisipasi dan meminimalisir gangguan dalam shalat yang bersifat eksternal, Rasulullah saw. memerintahkan untuk membuat sutrah (pembatas/tabir) yang diletakkan di hadapan orang yang sedang shalat. Perintah menggunakan sutrah, salah satunya terdapat dalam Hadits berikut;

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ…. (رواه ابو داود وابن ماجه)

Dari ‘Abdurrahman bin Abu Sa’id dari Bapaknya ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang dari kalian shalat, hendaklah menghadap ke sutrah dan mendekatinya. Jangan membiarkan seseorang melintas di depannya…” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Hukum menggunakan sutrah adalah sunnah dan bukan menjadi syarat sahnya shalat. Bahkan jika mengenakannya dapat menimbulkan kemudaratan seperti membuat sutrah pada saat shalat di Masjidil Haram pada saat haji atau umrah, maka tentu harus dihindari, karena hal tersebut sangat tidak memungkinkan di saat jamaah memenuhi Masjidil Haram. Adapun media yang dapat digunakan sebagai sutrah, menurut An-Nawawi dapat menggunakan apa saja seperti tembok, tabir, tali, dan sejenisnya (Nailul Authar), sebagai isyarat agar orang lain tidak melintas di hadapan orang yang sedang shalat. Isyarat tersebut dapat difahami dari Hadits berikut ini;

عَنْ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ زَيْدَ بْنَ خَالِدٍ أَرْسَلَهُ إِلَى أَبِي جُهَيْمٍ يَسْأَلُهُ مَاذَا سَمِعَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَارِّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي فَقَالَ أَبُو جُهَيْمٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ قَالَ أَبُو النَّضْرِ لَا أَدْرِي أَقَالَ أَرْبَعِينَ. (رواه الجماعة)

Dari Abu An Nadlr budak ‘Umar bin ‘Abaidullah dari Busr bin Sa’id bahwa Zaid bin Khalid mengutusnya kepada Abu Juhaim untuk menanyakan apa yang didengarnya dari Rasulullah saw tentang orang yang lewat di depan orang yang sedang shalat. Abu Juhaim berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Sekiranya orang yang lewat di depan orang yang sedang shalat mengetahui apa akibat yang akan ia tanggung, niscaya ia berdiri selama empat puluh lebih baik baginya dari pada dia lewat di depan orang yang sedang shalat.” Abu An Nadlr berkata, “Aku tidak tahu yang dimaksud dengan jumlah ‘empat puluh itu‘, (apakah empat puluh hari, atau bulan, atau tahun).” [HR. Jamaah]. Wallahu A’lam bis Shawab.

Ruslan Fariadi, Peminat Kajian Hadits, S3 PPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)

Sumber: Majalah SM No 7-9 Tahun 2018

Exit mobile version