Politik Muhammadiyah dan Gerakan Lain

Politik Muhammadiyah

Bendera Partai Foto Dok Ilustrasi

Politik Muhammadiyah dan Gerakan Lain

Oleh: Preli Yulianto

Kiprah Muhmmadiyah dalam membangun negeri sungguhlah tidak terelakan lagi. Diaspora kader-kader Muhammadiyah memberikan sumbangsih terhadap bangsa dan negara. Muhammadiyah melalui para kader-nya bergeriliya dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, kini Muhammadiyah konsisten berkontribusi pada Negara dan universal dengan gerakan dakwah yang meliputi aspek healing (pelayanan kesehatan), schooling (pendidikan), dan feeding (pelayanan sosial).

Keterlibatan Muhammadiyah dalam pergerakan Nasional sebagaimana penjelasan menurut Shobron (2003) bahwa diawali pada tahun 1918 Muhammadiyah mendirikan kepanduan yang diberi nama Hisbul Wathan yang artinya Pembela tanah air. Dalam kepanduan itu ditanamkan kesadaran berbangsa dengan rajin oleh K.H. Ahmad Dahlan, cinta tanah air, disilpin kerja keras, ihlas dalam berjuang, sekaligus ditingkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Sejarah mencatat, tokoh-tokoh Muhammadiyah berkontribusi terhadap bangsa sebut saja salah satunya yakni, Jenderal Sudirman yang merupakan kader Muhammadiyah membuktikan kiprahnya memimpin perang griliya dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Kemudian, tokoh fenomenal Insinyur Juanda yang merupakan tokoh Muhammadiyah yang menjadi pencetus Deklarasi Juanda tahun 1957, yang mendorong untuk kokoh menyatukan laut ke dalam kepulauan Indonesia, sehingga menjadi negara yang berintergritas dengan kesatuan yang utuh.

Muhammadiyah independen politik praktis namun, bukan berarti buta politik dan anti politik. Dalam membangun bangsa ini dibutuhkan peranan nyata, dan dibutuhkan politik pula sebagai cara untuk bisa memposisikan diri mengambil peran serta kebijakan agar bisa melakukan transformasi sosial. Maka dari itu, Muhammadiyah senantiasa membekali diri dan membentengi secara organisatoris dengan tetap komitmen dan konsisten terhadap garis perjuangan (khittah Muhammadiyah). Dalam artian, Muhammadiyah memainkan konsep high politics.

Petuah yang dapat menjadi garis perjuangan bagi kader melihat dari berbagai sisi untuk kokoh dan dapat membentengi dari politik haruslah memulai menelaah wejangan dari H.O.S. Cokroaminoto yakni: “Setinggi-tingginya ilmu, semurni-murninya tauhid, sepintar-pintar siasat”. Menjadi kader yang harus tinggi ilmunya, lurus tahuid-nya (tajdid), dan pintar siasat-nya dalam menghadapi dinamika kehidupan.

Muhammadiyah dan Politik

Muhammadiyah yang pada hakekatnya sebagai organisasi Islam yang senantiasa membumikan gerakan pemurnian (tajdid) mewujudkan Islam yang sebenar-benarnya berdasarkan yang diajarkan Rasulullah SAW. Dari pada itu, Muhammadiyah tidak terjun secara langsung atau politik tidak langsung (high politics). High politics dapat diartikan siasat yang lebih mengedepan moral dari pada mencari kekuasaan sebagaimana semestinya perjuangan yang dilakukan para subjek (pelaku) politik-praktis. Tidak berkecimpung dalam percaturan politik praktis namun, memposisikan menjadi the power yang memiliki pengaruh besar dan dibutuhkan serta diperhitungkan keberadaannya.

Muhammadiyah berkomitmen dan konsisten tidak akan terlibat dalam manuver politik partai manapun. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang tidak mau melumuri perjuangannya dengan cara yang tidak lurus. Muhammadiyah (1912) maupun 7 ortom yang dinaungi yang senantiasa mewujudkan tujuan Muhammadiyah yakni: Aisyiyah (1917), Pemuda Muhammadiyah (1932), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1964), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (1961), Hizbun Wathan (1918), Tapak Suci Putera Muhammadiyah (1960) konsisten independen politik praktis.

Adapun garis-garis perjuangan Muhammadiyah sebagai identitas yang menjadi salah satu landasan perjuangan Muhammadiyah yang disebut ”khittah” (garis perjuangan) Muhammadiyah. Pembuktian pada khittah ini tertangkup dalam momen yang nampak pada: Khittah Palembang (1956-1959), Khittah Ponorogo (1969), Khittah Ujung Pandang (1971), Khittah Denpasar (2002).

Adapun sebagaimana yang disampaikan Haedar Nashir (2008) menjelaskan bahwa pada prinsipnya melalui khittah yang dilangsungkan beberapa kali ingin melakukan penegasan ulang bahwa secara garis besar menentukan kebijakan dan orientasi gerakannya untuk:

  1. Menentukan garis-garis organisasi yang mengikat dan ditaati oleh seluruh anggotanya sebagai kebijakan, arahan, pedoman dan ketentuan dalam bersikap dan bertindak atas nama organisasi.
  2. Menempatkan secara objektif dan verifikasi kerja mengenai lapangan dakwah pembinaan masyarakat dengan lapangan perjuangan politik untuk meraih kekuasaan negara.
  3. Penegasan posisi dan peran Muhammadiyah yang bergerak di lapangan dakwah dan tidak bergerak di lapangan politik-praktis atau politik yang berorientasi pada kekuasaan.
  4. Garis kebijakan organisasi yang menetapkan tidak ada hubungan organisatoris dengan kekuatan/partai politik mana pun sebagai posisi objektif untuk bersikap netral/berjarak dan tidak mengimpitkan diri, mendukung, dan bekerja sama secara politik dengan organisasi politik tersebut.
  5. Garis kebijakan yang memberi kebebasan kepada anggotanya untuk aktif atau tidak aktif dalam partai politik, serta untuk memilih atau tidak pilihan politik sesuai dengan hak asasinya dengan ketentuan yang digariskan perserikatan.
  6. Pandangan teologis Muhammadiyah tentang politik sebagai arena ”urusan duniawi” yang berlaku hukum ijtihad dan kebijakan organisasi.
  7. Peran-peran Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga kendati tidak aktif/tidak memilih perjuangan politik praktis, tetapi proaktif dalam membangun masyarakat, bangsa, dan bernegara serta menentukan sikap tertentu terhadap kebijakan-kebijakan negara sebagaimana layaknya kekuatan masyarakat atau kelompok kepentingan dalam sebuah negara yang demokratis dengan posisi sebagai kekuatan moral-keagamaan dan bukan sebagai kekuatan politik.

Jelas sebagai kader Muhammadiyah harus senantiasa istiqomah agar nanti bisa ber-aktualisasi yang mengarah pada lahan perjuangan menjadi kader persyarikatan, umat, dan bangsa. Jikalau ingin berkarya melalui jalan baru secara personal diberi kebebasan, seperti menurut Ahmadi dan Anwar (2014) menjelaskan keberadaan partai praktis bukanlah tujuan dari perjuangan Muhammadiyah, sehingga harus atau terlibat dalam percaturan politik. Kendati tetap memberikan kebebasan bagi kadernya yang memiliki kapasitas dan integritas untuk terlibat dalam politik praktis. Maka, disinilah pentingnya Khittah Muhammadiyah yang memposisikan Muhammadiyah akan selalu menjadi dirinya sendiri sebagai organisasi dakwah amar mahruf nahi mungkar.

Diaspora kader menjadi jalan baru mencari karunia Allah SWT dengan tujuan yang suci dan diabadikan untuk kepentingan rakyat dan semata-mata mencari ridho Allah SWT. Prinsip kader yang ber-diaspora harus cukup bekal dan kokoh dalam pendirian yang memiliki tujuan awal ialah tujuan Muhammadiyah, sejauh mana bertebaran di muka bumi akan senantiasa kembali menebar kebaikan.

Muhammadiyah sebagaimana yang dijelaskan Nashir (2008), menetapkan kebijakan mengenai larangan rangkap jabatan tertentu antara jabatan-jabatan penting di persyarikatan dengan jabatan penting di partai politik, selain rangkap jabatan dengan organisasi lain yang sejenis. Kebijakan Muhammadiyah tersebut sama sekali bukan untuk menghalangi apalagi anti dan alergi terhadap kiprah di dunia politik-praktis. Garis tersebut tidak lain membingkai gerakan Muhammadiyah agar tetap pada koridornya. Sebagai gerakan Islam yang berkiprah di lapangan dakwah kemasyarakatan yang tidak berpolitik-praktis di ranah perjuangan kekuasaan negara.

Menjaga koridor organisasi dalam artian Muhammadiyah harus menjadi organisasi yang konsisten senantiasa menumbuhkan harapan menjadi organisasi yang menggemakan panji dakwah Islam yang kokoh murni memperjuangan Islam yang sebenar-benarnya bukan malah terhanyut oleh kubangan politik yang mengkikis niat sesuai dengan garis perjuangan Muhammadiyah (khittah).

Kalau pun mau berpolitik silahkan, namum menjadi catatan bahwa dalam ber-diaspora harus kokoh dalam tujuan, harus mampu menebar kebaikan membuat arus bukan malah tergilas dan redup dalam dinamika lahan. Hal itulah, menjadi konsekuensi berdiaspora untuk terus tegak dimana pun berada melewati batas diri. Tetap komitmen yang beridentitas, membumikan gerakan Muhammadiyah dengan cara lain, mengawal dan memajukan  Muhammadiyah dengan strategi lain.

Dalam tulisan Haedar Nashir, yang berjudul Dinamika Politik Muhammadiyah (2000) yang menjelaskan bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyara-katan, Muhammadiyah dapat memainkan fungsi sebagai “kekuatan politik” dan tidak “berpolitik praktis”. Dalam hal ini setidak-tidaknya ada dua skenario besar yang dapat dimainkan oleh Muhammadiyah, yaitu:

Pertama, peran politik institusional. Muhmmadiyah memainkan fungsi atau peranan secara kelembagaan. Bahwa Muhammadiyah secara organisasi (institusi) memainkan fungsi sebagai kelompok penekan, kelompok kepentingan, dan kelompok asosiasi yang memberikan kontrol politik, mempengaruhi pengambilan kebijakan politik, memainkan public opinion, memberikan pendidikan budaya politik, melakukan lobby, membangun komunikasi dan hubungan personal, menyampaikan protes dan demonstrasi, serta fungsi-fungsi politik tidak langsung lainnya, baik yang konvensional maupun non konvensional sesuai dengan dengan kepentingan, kondisi, dan prinsip yang dimiliki oleh Muhammadiyah.

Kedua, peran politik personal. Peran ini dimainkan oleh orang-orang Muhammadiyah yang aktif dalam partai politik, anggota legislatif dan eksekutif, dan mereka yang berada di jalur institusi kenegaraan/pemerintahan sesuai dengan posisi dan fungsi masing-masing. Peran personal juga dapat dimainkan oleh kader-kader Muhammadiyah di dunia swasta dan kaum profesional sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Muhammadiyah dan Gerakan lain

Gerakan poros Islam terbesar di Indonesia yakni, Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (1926) yang merupakan organisasi yang memiliki pengaruh besar terhadap bangsa, dan negara. Stigma yang sering terjadi yang dilakukan beberapa oknum yang justru membenturkan antara Muhmmadiyah dan NU dengan saling mengafirkan. KH Ahmad Dahlan dituduh ”Kristen Putih” maupun kafir, sementara pengikut tradisi NU dituduh pengamal takhayul, bidah, dan khurafat (TBC).

Menurut Burhani (2016) menjelaskan bahwa selama ini keberadaan NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah sering dianggap seperti dua sayap burung, jika satu tidak berfungsi maka burung itu tidak akan bisa terbang sama sekali. Beberapa tulisan bahkan menyebutkan hubungan kekerabatan dan pertemanan antara pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, dan pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Dua slogan yang dikembangkan oleh dua gerakan itu yakni ”Islam Nusantara” dan ”Islam Berkemajuan”, juga dinilai saling melengkapi atau lebih tepatnya bisa disingkat menjadi ”Islam Nusantara yang Berkemajuan”.

Apapun pro dan kontra diantra keduanya harus senantiasa melihat dari sisi positif sebagai organisasi yang membumikan gerakan Islam. Islam yang kokoh bukan saling sikut, dan saling caci, lantaran perbedaan pandangan. Sebaliknya diantara keduanya harus terus kokoh memperjuangkan nilai-nilai Islam sebagai risalah Illahi.

Dari sisi lain, dinamisnya gerakan partai politik sering kali menyeret organisasi besar seperti Muhammadiyah untuk bisa terlibat dan menyukseskan perhelatan akbar calon yang diusung oleh partai tertentu. Namun, disamping itu Muhammadiyah tetap konsisten dalam garis perjuangannya (khittah) untuk terus membumikan gerakan amar mahruf nahi mungkar.

Dan yang lebih parah lagi ada indikasi gerakan lain di tubuh armada Muhammadiyah, dengan masuk atau aktif, atupun merongrong secara internalisasi terkhusus di Amal Usaha Muhammadiyah. Angkatan Muda partai tertentu, mencoba melakukan manuver kecil di area kampus Muhammadiyah maupun ortom Muhammadiyah dengan dalil mengajak ataupun ikut serta dalam barisan kelompok mereka.

Dok UMM

Berdasarkan data Pusat Syiar Digital Muhammadiyah (PSDM) tahun 2020 dengan rincian yakni: 164 Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA) yang terdiri dari 4 Akademi, 13 Institut, 3 Politeknik, 75 Sekolah Tinggi, dan 61 Universitas dan kampus ‘Aisyiyah 3 Politeknik, 2 Sekolah Tinggi dan 3 Universitas. Selanjutnya, TK, Paud, KB sebanyak 22.000, SD/MI sebanyak 2.766, SMP/MTS sebanyak 1826, RS/Klinik sebanyak 364, Panti Asuhan sebanyak 384, Masjid/Mushola sebanyak 20.198, dan Pondok Pesantren sebanyak 356.

Aset Muhammadiyah yang begitu besar tersebut, dibutuhkan pula pondasi yang kokoh yang berhaluan Muhammadiyah yakni, kader. Kader tersebutlah yang menjadi anak panah Muhammadiyah sebagai pelopor, pelangsung, penyempurna Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Kader sebagai sukma dalam membawa AUM agar tetap lestari sesuai dengan tujuan Muhammadiyah.

Pasalnya, hampir dalam berbagai daerah bahwa munculnya gerakan yang meng-pressure yang cukup meresahkan dalam lingkungan kampus Muhammadiyah maupun internal organisasi yang membangun kekuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Muhammadiyah.

Gerakan tarbiyah salah satunya, yang massif dalam Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di banyak tempat. Membaca kondisi ini, PP. Muhammadiyah mengeluarkan Surat Keputusan PP Muhammadiyah nomor:149/KEP/I.0/B/2006 tentang Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pada point ke-3 putusan ini menetapkan bahwa PKS merupakan partai politik yang memiliki kepentingan politik. Sehingga segala bentuk aktivitas yang tidak mencerminkan khittah perjuangan Muhammadiyah dilarang untuk difasilitasi dan sekaligus konsolidasi bagi semua unsur Muhammadiyah.

Preli Yulianto, Mantan Ketua Umum PK IMM FP UM-Palembang Periode 2018-2019

Exit mobile version