Bumi tidak akan kemana-mana. Bumi akan terus berevolusi. Namun jika manusia masih tetap ingin tinggal di bumi, maka mereka harus berubah. Penggalan narasi dalam film Semesta (2020) ini menjadi pengingat bagi kita untuk menjaga alam raya. Bumi sebagai satu-satunya planet yang ditempati makhluk hidup, sedang mengidap penyakit kronis, yang menyebabkan daya sangga bumi terhadap kehidupan mengalami gangguan dan penurunan. Bahkan, kelangsungan kehidupan di muka bumi dan alam raya ikut terancam.
Kita berada dalam krisis yang multidimensi. Terjadi banyak bencana, krisis pangan, kelangkaan air bersih, pencemaran air dan udara, deforestasi dan degradasi lahan, meningkatnya efek gas rumah kaca, pemanasan global, perubahan iklim, kehilangan keanekarangaman hayati, dan seterusnya. Di saat bersamaan, terjadi lonjakan jumlah penduduk yang eksponensial. Pada 2050 diperkirakan 10 milyar jiwa akan mendiami planet ini. Saat ini, lebih dari 7,7 milyar manusia masih bisa hidup saling berbagi. Namun, satu bumi dan seisinya tidak akan cukup memenuhi kebutuhan satu manusia serakah.
Harus segera disadari bahwa bumi tidak sedang baik-baik saja dan menuntut sikap kita semua untuk lebih peduli. Perlu ada perubahan paradigma dalam memandang alam raya. Menurut Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah Muhjidin Mawardi, pandangan antroposentris yang mendewakan manusia, ikut melahirkan laku eksploitatif. Tak sadar, manusia telah mengkhianati amanah untuk menjadi khalifah Allah. Padahal dengan akal dan pemikirannya yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia diberi peran mengupayakan penyebaran rahmat bagi alam raya.
Merusak alam merupakan pengingkaran tugas sebagai wakil Tuhan. Allah menegaskan dalam banyak ayat supaya manusia tidak membuat kerusakan, semisal Qs Al-Baqarah: 11, 12, dan 60; Al-A’raf: 56, 74, 85; Al-Anfal: 73; Hud: 85, 16; Al-Syu’ara: 152; Al-Qasas: 77, 83; Al-Ankabut: 56. Muhammad Abduh menyatakan bahwa manusia dan alam harus berkolaborasi menciptakan spiritual harmony. Manusia dan alam harus membangun relasi intersubjektif. Apa yang diterima manusia dari alam, sesuai dengan apa yang telah diberi pada alam. Baik dan buruknya yang diterima tidak akan menyalahi apa yang telah dilakukan.
Paradigma serupa dari Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah tertuang dalam buku Teologi Lingkungan: Etika Pengelolaan Lingkungan dalam Perspektif Islam (2011) dan Menyelamatkan Bumi melalui Perbaikan Akhlaq dan Pendidikan Lingkungan (2016). Dinyatakan bahwa alam atau lingkungan merupakan kesatuan yang komponennya terdiri dari: sang pencipta, alam, dan makhluk hidup. Kesadaran holistik ini melahirkan pola hubungan saling mengisi dan membutuhkan antara manusia dan lingkungan. Pertama, hubungan keimanan dan peribadatan. Alam merupakan ayat-ayat atau tanda-tanda yang menjadi sarana mengenal kebesaraan dan kekuasaan Allah. Manusia harus menyadari bahwa alam semesta diciptakan untuk tujuan yang tidak main-main (Qs Ad Dukhan: 38-39).
Kedua, hubungan pemanfaatan yang berkelanjutan. Alam boleh dipergunakan untuk kelangsungan hidup, namun tidak boleh boros. Manusia harus memperhatikan keberlanjutan alam bagi generasi setelahnya (Qs Al-An’am: 141-142). Ketiga, hubungan pemeliharaan untuk semua makhluk. Manusia wajib menjaga alam untuk mempertahankan kelangsungan hidup di muka bumi, karena manusia punya kemampuan konservasi alam. Sebagai wakil Tuhan, manusia diperintahkan memelihara, memanfaatkan, dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan alam.
Teks agama telah memberi rambu tentang paradigma memandang alam. Tokoh Nahdlatul Wathan, TGB Muhammad Zainul Majdi menyebut bahwa penafsiran Qs Al-Baqarah: 29, huwa alladzi khalaqa lakum ma fil ardhi jami’an, sering menjadi dalih keangkuhan manusia. “Kita sering menafsirkannya: Dialah yang menciptakan bumi untuk kemanfaatan kalian manusia. Karena dimaknakan sebagai untuk kemanfaatan, maka kita selalu bicara sisi eksploitatif. Semua ini buat kita pakai. Sering tidak sadar dari sisi eksploitatif itu akhirnya keluar rumusan bahwa bumi Allah itu di bawah (kuasa) manusia.”
Mantan Gubernur NTB ini mengajukan tafsiran lain, bahwa huruf lam pada ayat tersebut berfungsi lil i’tibar. Sehingga maknanya menjadi, Dialah yang menjadikan bumi untuk kalian mengambil pelajaran. Konsekuensinya menjadi jauh berbeda. “Bumi Allah yang demikian indah adalah wadah yang terbaik untuk sampai kepada pengetahuan tentang sang pencipta. Karena itu, bumi harus dijaga keindahannya, dijaga kesempurnaannya, dijaga segala macam resources-nya supaya bisa terus-menerus ada di setiap generasi,” tuturnya. Pada akhirnya, kesadaran ini akan mengantarkan manusia pada sang pencipta semesta yang Maha Sempurna.
Paradigma tentang alam ini, kata TGB Zainul Majdi, masuk dalam wilayah akidah, syariah, akhlak. Wilayah akidah karena manusia diberi amanah menjadi khalifah untuk menjaga alam. Ayat-ayat Allah yang terbentang di alam raya mengantarkan pada keimanan. Bidang syariah karena manusia diperintahkan waf’alul khair, yaitu setiap amal yang kemanfaatannya itu mencakup seluruh eksistensi yang ada di sekitar kita, termasuk lingkungan. Dari sisi akhlak, jelas sekali manusia harus menjaga akhlak dengan Allah, sesama manusia, dan dengan makhluk Tuhan lainnya, yaitu alam semesta.
Muhjidin Mawardi mengingatkan bahwa semua kita bisa memulai dari hal kecil, semisal kepedulian pada masalah sampah. “Indonesia menjadi negara buangan sampah atau keranjang sampah internasional.” Selain isu sampah, MLH PP Muhammadiyah gencar mengedukasi masyarakat tentang pentingnya green building, bangunan ramah lingkungan dalam hal pemakaian air tanah dan energi listrik. Tata ruang bangunan di negara sub tropis seperti Indonesia harus memperhatikan kebutuhan ruang keluar masuk udara, cahaya, serta sanitasinya, sehingga mampu mengurangi penggunaan AC dan listrik.
Ketua Prodi Geografi UNY Dyah Respati Suryo Sumunar menyebut bahwa di Yogyakarta, TPST Piyungan menerima 650 ton sampah pasar dan sampah rumah tangga setiap hari. “Radius 2-3 km dari sini pasti akan terdampak, mulai dari baunya, atau mungkin sekarang air sumurnya sudah tercemar atau air tanahnya sudah tercemar.” Diperlukan solusi bersama dari mulai tingkatan RT. Dyah mencontohkan kebijakan mantan Walikota Yogyakarta Herry Zudianto tentang keharusan pemilahan sampah di rumah tangga dan RT. Minimal ada pemilihan sampah untuk memudahkan proses reduce, reuse, recycle. Bahkan, olahan sampah dengan bantuan alat incinerator, bisa menghasilkan listrik tenaga sampah.
Paradigma itu harus dimulai dari lingkup keluarga melalui proses pendidikan, ungkap guru besar Kimia UNY Nurfina Aznam. Perilaku anggota masyarakat harus ditunjang oleh sistem yang mendukung upaya pelestarian lingkungan. Sistem menjadi penting dalam membentuk perilaku, karena misalnya tentang anak-anak yang diajarkan tidak membuang sampah sembarangan di sekolah, sering tidak mendapat teladan di masyarakat. Sistem harus menjamin penegakan hukum. Semisal tentang peraturan limbah pabrik, sistem hukum harus tegas kepada pelaku industri. (ribas, bahan: ayu/erik/rbs/hnf/fah)
Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2020