Manusia Perusak Alam
Salah satu tugas manusia yang digariskan Allah SwT adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Untuk itu manusia dibekali berbagai pengetahuan. Dengan bekal itu semua yang ada di langit dan apa yang di bumi ditundukkan kepada manusia. (Qs Al-Luqman; 20). Oleh karena itu, manusia menjadi makhluk yang paling menentukan pola keseimbangan alam. Akan tetap lestari atau akan musnah.
Namun pada kenyataannya, dengan bekal pengetahuan ini manusia justeru banyak membuat kerusakan (Qs Ar-Ruum: 41). Ironisnya, sebagian besar manusia berdalih apa yang diperbuat itu adalah wujud perbaikan. (Qs Al-Baqarah; 11).
Pada hari ini, sindiran Allah pada perilaku manusia sebagaimana yang termaktub di dalam dua ayat di atas menunjukkan kebenarannya. Batas antara perbaikan (pembangunan) dan perusakan itu sedemikian samar dan tipis. Namun akibatnya sangat jelas berbeda. Alam terjaga sehingga dapat terus melayani kebutuhan manusia atau sebaliknya. Inilah parameter yang seharusnya dijadikan acuan apakah manusia itu sedang mengadakan perbaikan (pembangunan) atau kerusakan.
Di Indonesia, laju pengubahan bentang alam yang semula berwujud hutan multi kultur menjadi bentang alam lain terus melaju dengan bertambah cepat. Pemerintahan sekarang berhasil lebih banyak menggunduli hutan dari pemerintah yang terdahulu, pemerintah terdahulu juga lebih sukses mengurangi luas hutan dari yang sebelumnya dan begitu seterusnya. Akibatnya juga jelas. Bencana ekologi juga terus melaju.
Inilah sebenarnya dapat dikatakan sebagai dilema manusia modern. Banyak masyarakat manusia yang belum kenal agama juga belum tersentuh laju modernisme terbukti lebih arief dalam memperlakukan alam. Mizan keseimbangan antara hak alam dan hak manusia dapat terjaga dengan seperangkat aturan irrasional yang ternyata sangat rasional.
Apakah masyarakat pra-agama lebih mulia daripada kita yang telah beragama dan berpengetahuan? Tentu saja tidak. Namun bisa jadi kita memang lebih hina dari makhluk apapun karena dengan atas nama nafsu dan kemasabodohan, tega mengkhianati pengetahuan kita sendiri sekaligus mencampakkan ajaran agama yang kadang kita anggap tidak penting. Seperti ajaran untuk menghemat air atau pun ajaran tentang memuliakan alam dan tanaman. Pada saat itulah kita tidak lagi menjadi khalifah pemakmur bumi, tetapi penghancur bumi. (isma)
Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2020