JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Masjid Istiqlal Jakarta mengadakan Mudzakarah Tematik bertema “Revitalisasi & Optimalisasi fungsi Masjid Sebagai Sarana Pendidikan Kader Ulama” yang menghadirkan Imam Besar Majid Istiqlal Nasaruddin Umar, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Intelektual NU Nadirsyah Hosen, dan aktivis ulama perempuan Badriyah Fayumi (29/01/2021).
Masjid yang pemancangan tiang pertamanya dilakukan Presiden Soekarno pada 1961 itu kini telah banyak berubah. Nasaruddin Umar menyatakan bahwa the new istiqlal, bukan fisiknya saja yang diperbagus dan diperluas sampai ke Monas, stasiun kereta api, dan merangkul sungai-sungai, namun juga aspek batinnya. “Ada terowongan toleransi yang menghubungkan Istiqlal dan Katedral. Bukan hanya jembatan penyebrangan, tapi jadi ikon Jakarta.”
Masjid Istiqlal diharapkan menjadi kiblat peradaban Islam dunia di masa mendatang. Oleh karena itu, dilakukan banyak pembenahan supaya masjid menjadi rumah bagi semua. “Bukan umat yang memberdayakan masjid, tapi masjid yang memberdayakan umat,” katanya. Menurut Nasaruddin, Istiqlal akan merangkul generasi muda dan kalangan perempuan. “New istiqlal bukan hanya untuk ibadah mahdhah, tapi kita ingin mencontoh masjid Nabi saw,” ujarnya.
Fungsi masjid Rasulullah itu sebagaimana diungkap dalam beberapa hadis adalah: sebagai rumah pertobatan, tempat salat berjamaah, destinasi wisata rohani, rumah tahanan, starting point perjalanan spiritual (isra mi’raj), basis pengembangan ekonomi mikro, rumah ilmu pengetahuan (kelas perempuan, anak-anak, orang tua), rumah interfaith dialog, serta centre of spiritual-academic excellence (kajian magrib-isya), pusat pengabdian masyarakat, tempat pengungsi dan tawanan perang, menara untuk meneropong ketimpangan sosial, tempat latihan beladiri, negara/umat, tempat menikmati hiburan kesenian (saat lebaran Nabi mengundang pelaku seni Habasyah dalam hadis Bukhari-Muslim), tempat pengurusan jenazah, kas negara (baitul mal), rumah pengadilan, balai pertemuan masyarakat, balai ketrampilan, penginapan musafir.
Nasaruddin juga menyebut bahwa Ilmu yang lahir di masjid terkait dengan iqra bismi rabbi, tidak hanya iqra atau bismi rabbik saja, tapi keduanya berhimpun di masjid. Menurutnya, ada banyak ilmuan muslim yang berkarir di masjid, antara lain: Jabir al-Hayyan, Ibnu Sina, Al-Jazari, Ibnu Haitham, Al-Khawarismi, Al-Razi, Al-Biruni, Al-Fazari, Ibnu Rusydi, Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Al-Farabi.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyambut baik cita-cita modernisasi masjid Istiqlal sebagaimana dipaparkan Nasaruddin Umar. “Saya terkesima dengan pembaruan Istiqlal,” kata Mu’ti. Menurutnya, beberapa fungsi masjid di masa Nabi perlu dihadirkan kembali, seperti ketika masjid Nabi menjadi tempat dialog antaragama. “Kita masih berdebat apakah non-Muslim boleh masuk ke masjid atau tidak. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam itu mengisahkan ketika kaum Nasrani Najran masuk ke masjid, mengadakan ibadah, Nabi membolehkan.”
Mu’ti menyambut baik keinginan masjid Istiqlal menjadi pusat pembelajaran. “Tradisi keilmuan dalam halaqah-halaqah ilmiah itu berkembang di masjid. Transformasi ilmu terjadi di masjid sampai dibangunnya lembaga formal,” kata Guru Besar Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah ini. Menurutnya, yang memakmurkan masjid itu orang beriman, berhimpun untuk membangun peradaban.
“Masjid harus menjadi central semua kegiatan, meskipun tidak harus di masjid tapi koordinasinya di masjid,” ungkapnya. Oleh karena itu, modernisasi masjid harus dibangun di atas rasa kepemilikan umat terhadap masjid. “Masjid mengalami reduksi fungsi jika masjid hanya sebagai tempat ibadah, apalagi tempat shalat lima waktu saja.” Jika itu terjadi, maka masjid kehilangan fungsi transformasinya.
Mu’ti berharap masjid Istiqlal menjadi milik semua, seperti jembatan yang menghubungkan antar sesama umat Islam dan juga antarumat Islam dengan umat lainnya. Pengajaran yang dilakukan di masjid harus membuat orang berpikiran terbuka. “Orang yang punya perspektif luas, biasanya lebih toleran.” Meskipun ia tetap memilki pilihan mazhab masing-masing, namun pandangannya terbuka dan menghargai orang lain.
Mu’ti menyebut sebuah fenomena menarik di kalangan kelas menengah muslim perkotaan, yang disebutnya dengan istilah “spiritual hangout”. Yaitu mereka yang berkerja di berbagai instansi atau perusahaan, ketika pulang dari kantor atau kerja, mereka terlebih dahulu hangout ke masjid, mengikuti pengajian-pengajian. Masjid Istiqlal diharap mampu merangkul mereka.
Terakhir, Mu’ti menginginkan masjid Istiqlal menjalin kerjasama dengan semua kalangan dalam mengembangkan pendidikan kader ulama. Hal itu bisa dikerjasamakan dengan berbagai perguruan tinggi, terutama untuk tingkatan pascasarjana, semacam program double degree. “Ada kelas mata kuliah kampus tertentu nanti dilakukan di masjid Istiqlal,” urainya. (ribas)