Dinamika Menjelang Kongres Muhammadiyah ke-22, Perlukah “Muhammadiyah” Bersalin Nama?

Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang

Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang

Dinamika Menjelang Kongres Muhammadiyah ke-22, Perlukah “Muhammadiyah” Bersalin Nama?

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Publik Indonesia telah lama paham bahwa Muhammadiyah, yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, mengusung misi untuk memperbaiki praktik beragama dan memajukan kondisi sosial umat Islam di Indonesia (dulu: Hindia Belanda). Ini diwujudkan oleh para anggota Muhammadiyah dalam bentuk pengajian, penyebaran ilmu agama melalui media cetak, pendirian sekolah, hingga pembukaan klinik untuk umum. Sebagai sebuah organisasi yang dikelola secara swadaya, perkembangan Muhammadiyah tergolong cepat di tahun-tahun awalnya.

Tahun 1920an adalah era emas pertumbuhan Muhammadiyah. Lahir di Yogyakarta, salah satu daerah administratif setingkat residensi dalam tatanan pemerintahan kolonial, Muhammadiyah di dekade itu telah menjangkau daerah sejauh Sigli (Aceh), Minangkabau (Sumatera Barat), dan Lombok (Nusa Tenggara Barat). Di era ketika pesawat terbang masih belum umum ini adalah jangkauan yang sangat luas.

Dengan kata lain, memasuki dekade 1930an, Muhammadiyah sudah bukan lagi gerakan lokal, melainkan gerakan nasional. Telah tiba saatnya merefleksikan ulang pencapaian Muhammadiyah dan menetapkan visi baru di masa depan. Maka, tak heran bila di era itu muncul pertanyaan, yang kemudian menjadi diskusi hangat, di internal Muhammadiyah: apakah nama “Muhammadiyah” harus dipertahankan sebagaimana adanya, ataukah, dengan mengingat kian luasnya daerah yang dicapai oleh Muhammadiyah, perlu menambahi nama geografis di belakangnya? Untuk pertanyaan kedua ini, pilihannya adalah menamai ulang organisasi ini dengan nama “Muhammadiyah Indonesia” atau “Muhammdiyah Hindia Timur”.

Pertanyaan soal nama sekilas mungkin tampak simpel. Namun, nyatanya ada olah pikir dan adu gagasan di balik lahir dan bertahannya sebuah nama. Nama tidak hanya merupakan sebuah panggilan. Nama adalah representasi harapan kepada pihak yang diberikan nama itu. Dalam konteks Muhammadiyah, nama bahkan memiliki implikasi. Memilih nama Muhammdiyah tetap seperti adanya atau menambahkan satu konstruksi geografis di belakangnya akan membawa pesan tentang preferensi jangkauan geografis yang para anggota organisasi ini bayangkan akan dijangkau Muhammadiyah di masa depan.

Menjelang Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1933, muncul perdebatan di internal Muhammadiyah, khususnya di antara cabang-cabang Muhammadiyah di antero Indonesia. Ini merupakan bagian dari “praeadvies” (prasaran) dan usul-usul yang akan didiskusikan dalam sesi tertutup kongres itu. Pada hakikatnya, ada banyak hal besar yang masuk dalam prasaran dan usul ini, yang mencerminkan atensi Muhammadiyah pada dinamika sosial-keagamaan mutakhir di Indonesia.

Ini mencakup soal-soal seperti pertentangan antara praktik adat lama dengan ajaran Islam (misal perihal mengadakan tahlil sampai tujuh hari pascameninggalnya seseorang dan ritual mengusir setan dari rumah yang baru dibangun dengan tebu, padi, kelapa dan pisang tandanan), soal pembagian harta pusaka, hingga peraturan pernikahan dalam Islam. Di samping itu, yang tak luput dibahas adalah dinamika internal keorganisasian Muhammadiyah sendiri.

Satu perdebatan menarik terjadi di antara cabang-cabang Muhammadiyah kala mereka membicarakan soal apa yang di masa itu dikenal dengan soal “perkataan Indonesia dibelakang nama Moehammadijah”. Pertanyaan pokoknya apakah keluarga besar Muhammadiyah mesti tetap mempertahankan namanya seperti yang sudah ada ataukah perlu menggantinya dengan menambah kata “Indonesia” atau “Hindia Timur” di belakangnya. Ini berkaitan dengan banyaknya usulan di antara warga Muhammadiyah agar persyarikatan ini berganti nama mengingat pengaruhnya yang kian luas.

Ada empat pendapat besar yang kemudian muncul. Pertama, mempertahankan nama Muhammadiyah. Kedua, menamakannya dengan Muhammadiyah Indonesia. Ketiga, membebaskan warga Muhammadiyah untuk memakai nama yang mereka inginkan, baik Muhammadiyah Indonesia maupun Muhammadiyah Hindia Timur. Keempat, nama Muhammadiyah Hindia Timur sebaiknya dihindari untuk dipakai.

Pendapat pertama menggarisbawahi universalitas Islam, dan dengan demikian, universalitas Muhammadiyah. Islam datang di Tanah Arab, namun tetap bisa berkembang di negeri-negeri yang jauh yang sama sekali berbeda budaya dan bahasa dengan tanah kelahirannya ini. Islam dipandang sebagai agama bagi umat manusia dan bukan hanya bagi suku atau komunitas tertentu. Dengan perspektif universal inilah Muhammadiyah mesti ditempatkan.

Visi paling maju yang menyokong pendapat pertama ini datang dari Cabang Sigli. Mereka berharap agar pergerakan Muhammadiyah tidak dibatasi oleh suatu lingkup geografis tertentu, dalam hal ini negara atau wilayah Indonesia. “Kalau Allah mengizinkan”, harap Cabang Sigli, “sedoenia kita adjak ke Moehammadijah”. Ekspresi dari Cabang Sigli ini merupakan salah satu statemen paling awal Muhammadiyah yang mengindikasikan orientasi globalnya, melewati batas-batas geografis dan kenegaraan, yang di masa-masa belakangan dielaborasi lebih jauh dan diwujudkan dalam bentuk keterlibatan Muhammadiyah dalam menyelesaikan pelbagai persoalan sosial-keagamaan di luar Indonesia.

Dengan semangat yang sama, Grup Kramatkuduswetan meminta agar tidak perlu menambah nama geografis di belakang Muhammadiyah. Bagi mereka, “wet” atau hukum Islam bermanfaat bagi dunia dan akhirat sehingga tidak perlu ditambahkan suatu nama wilayah yang spesifik.

Pendapat kedua, agar Muhammadiyah bersalin nama menjadi Muhammadiyah Indonesia, salah satunya disokong oleh Muhammadiyah Cabang Batur. Alasan mereka: “soedah tersiarnja Moehammadijah diseloeroeh tanah-tanah jang ada dilingkoengan Indonesia”. Cabang Pasuruan juga mendukung opsi ini, walau dengan alasan sedikit berbeda. Menurut mereka, Muhammadiyah berdiri di Indonesia, sementara kata “Indonesia” sendiri sudah mulai umum di zaman itu.

Pendukung opsi ini datang bahkan dari level ranting (grup), termasuk Grup Ulakkarang (Padang) dan Grup Kranggan. Dasar yang diajukan Grup Kranggan adalah: “mengingat semangat pergerakan bangsa disini”. Artinya, landasannya adalah nasionalisme, yang memang tengah bersemi di antara kaum terdidik bumiputra di masa itu.

Opsi ketiga, memakai nama “Muhammadiyah Hindia Timur” tidak diambil karena kuatnya sentimen anti-Belanda di kalangan warga Muhammadiyah. Cabang Sigli, salah satu cabang Muhammadiyah pertama di luar Jawa, menyebut bahwa nama Hindia Timur, atau dalam bahasa Belanda, Oost-Indie, merupakan nama yang dibuat oleh Barat, dan Oost-Indie itu sendiri masih berada di bawah kolonialisme Barat. Maka, cabang Sigli meminta agar penggunaan nama Hindia Timur tidak dipakai lagi dan diganti dengan Indonesia “agar dapat toeroet menjala-njalakan keindonesiaan”.

Muhammadiyah Cabang Brebes termasuk yang paling berpengetahuan dalam soal sejarah ide tentang Indonesia. Pengurusnya jelas membaca cukup banyak studi sejarah Kepulauan Nusantara, bisa jadi dari buku-buku berbahasa Belanda. Mereka mengurai nama Indonesia baik dari segi etimologi maupun sejarah penggunaan istilah Indonesia itu. Mereka bahkan menyebut seorang profesor asal Jerman sebagai tokoh yang menemukan istilah Indonesia (mungkin yang mereka maksudkan di sini ialah etnolog Jerman, Adolf Bastian, yang mempopulerkan istilah Indonesia lewat tulisannya tahun 1884, Indonesia oder die Insel des Malayschen archipels).

Di samping memperkenalkan sejarah singkat penamaan Indonesia, Cabang Brebes menolak pemakaian nama Hindia Timur karena menurut mereka itu adalah nama yang dibuat oleh orang Belanda, yang memandang bahwa wilayah itu merupakan jajahannya yang di sebelah timur negerinya. Oleh sebab itu, dalam pandangan mereka, tak patut bila Hindia Timur ditambahkan ke nama Muhammadiyah.

Walau terjadi perdebatan sebagaimana dikemukakan di atas, sebagaimana kemudian kita ketahui kemudian, Muhammadiyah pada akhirnya tetap mempertahankan nama aslinya sebagaimana saat ia dilahirkan tahun 1912. Pusat aktivitasnya tetap di Indonesia, dan komunitas utama yang mereka majukan juga masyarakat Indonesia. Kendati begitu, universalitas Islam tetap mereka pertahankan sehingga mereka bisa berkontribusi tidak hanya bagi Indonesia dan masyarakatnya, tapi juga bagi penduduk di berbagai belahan buana. Inilah esensi dari Islam yang dibayangkan Muhammadiyah: agama yang membawa keberkahan bagi seluruh umat manusia.

Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan

Judul Asli Perlukah “Muhammadiyah” Bersalin Nama Menjadi “Muhammadiyah Indonesia” Atau “Muhammadiyah Hindia Timur”?. Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2019

Exit mobile version