YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Muhammad Azhar, MAg, resmi dikukuhkan sebagai guru besar Studi Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Prof Dr Muhammad Azhar, MAg membawakan orasi ilmiah dengan judul “Demokrasi Religius untuk Indonesia Berkemajuan dan Berkeadaban: Alternatif antara Liberalisme-Sekularisme dan Fundamentalisme Keagamaan”.
Dalam orasinya, Prof Dr Muhammad Azhar, MAg menjelaskan bagaimana mewujudkan demokrasi religius ala Indonesia yang berkemajuan dan berkeadaban di masa depan. Pancasila harus selalu menjadi ideologi yang terbuka terhadap penafsiran secara kontekstual, agar tetap relevan dengan dinamika perkembangan zaman. Adapun berbagai upaya untuk mewujudkan cita-cita luhur di atas, salah
Sebagai negara yang besar, bangsa Indonesia juga memiliki ratusan suku, bahasa serta memiliki 17 ribuan pulau. Secara histori, pluralitas dan multikulturalitas keagamaan, suku dan bahasa, telah diikat dalam suatu kalimatun sawa’ (common platform) yakni Pancasila, Bineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945. Dengan kemajemukan yang diikat dengan ideologi Pancasila sebagai “adat bangsa” (al-‘adatu muhakkamah) tersebut, kelak diharapkan terwujudnya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan (demokrasi) dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan harapan founding fathers.
Menurutnya Religiusitas demokrasi di sini bermakna transendental yakni adanya nilai-nilai ketuhanan yang include dalam konsep demokrasi. Dengan demikian, konsep demokrasi religius mengandung pengertian bahwa model demokrasi yang dianut – konteks keindonesiaan – harus “berbasis atau mengakomodasi nilai-nilai transendental agama-agama”.
“Demokrasi Religius di sini merupakan “sumbangan bersama” sebagai kalimatun sawa’ untuk penguatan demokrasi Indonesia di masa depan, sekaligus suatu upaya untuk mengeliminasi pertentangan politik dan ideologis, baik secara internal, eksternal keagamaan maupun pertentangan paham keagamaan dengan kelompok demokrasi yang menganut paham Liberalismesekularisme,” ungkap Prof Dr Muhammad Azhar.
Itulah sebabnya, kurang arif, jika demokrasi di Indonesia bersifat eksklusif keagamaan, mengingat Indonesia, sejak lama, telah ditakdirkan menjadi rumah besar kebangsaan yang agamis, plural dan multikultural. Di sisi lain, kurang bijak pula jika demokrasi di Indonesia berkiblat secara mutlak dengan paham demokrasi Liberal ala Barat, mengingat nilai-nilai keagamaan di Indonesia sudah lama hadir dan mendarah daging bagi sebagian besar bangsa Indonesia, baik secara psiko-sosio-kultural maupun judisial-struktural. (Riz)