Dunia Islam antara Ada dan Tiada
Oleh Hajriyanto Y Thohari
Dunia Islam adalah sebuah fenomena. Dalam geografi agama dunia hanya ada Dunia Islam. Kita tidak pernah, setidaknya jarang sekali, mendengar ada kata Dunia Kristen atau Dunia Katholik (sebagaimana juga kita tidak mengenal adanya Dunia Hindu atau Dunia Budha). Padahal penganut agama Kristen di dunia ini lebih besar daripada penganut Islam. Tapi sepertinya memang hanya ada Dunia Islam. Apa yang disebut dengan Dunia Islam itu ada dan dikenal luas. Bukan juga sekedar istilah atau terminologi. Tak heran jika istilah itu diawali dengan huruf kapital: Dunia Islam yang mengindikasikan bahwa kata Dunia Islam telah menjadi istilah baku!
Apa yang disebut dengan Dunia Islam (Arab: العالم الإسلامي atau al-‘Ālamul Islāmī; Inggris: Islamic world), merupakan terminologi yang memiliki beberapa pengertian. Dari segi budaya, istilah ini merujuk pada komunitas Muslim penganut agama Islam sedunia, tak peduli mereka tinggal di negara Islam atau non-Islam, tak peduli apakah mereka mayoritas atau minoritas. Komunitas ini sekarang berjumlah kira-kira 1.8 miliar orang yang malah menurut perhitungan Lembaga riset PeW dalam tiga puluh tahun ke depan jumlahnya akan berjumlah hampir dua kali lipat, dan akan mengungguli jumlah pemeluk agama manapun.
Komunitas ini tersebar luas di banyak negara di seluruh dunia dan merupakan kumpulan etnis dan bangsa yang dihubungkan dengan persamaan agama (Islam). Komunitas Muslim sedunia juga dikenal secara kolektif sebagai “ummah”: umat Islam. bukan seperti yang dikatakan oleh Elie Kedourie dalam bukunya Democracy and Arab Political Culture (1992), di mana yang dsebut umah itu hanya kaum muslimin yang berada di Dunia Arab saja. Islam menekankan perpaduan antar sesama Muslim di seluruh dunia. Itulah sebabnya mengapa dulu sempat berkembang ideologi “pan-Islamisme” yang pernah sangat kuat memengaruhi seluruh kawasan Dunia Islam.
Memang dari segi sejarah dan secara geopolitik, istilah Dunia Islam ini biasanya hanya merujuk kepada negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim atau negara-negara yang Islam menonjol dalam politiknya. Dari perspektif ini Dunia Islam merupakan istilah untuk negara-negara yang memiliki populasi muslim terbanyak. Dalam pengertian ini, apa yang dipahami kebanyakan orang tentang Dunia Islam bukanlah suatu kesatuan yang monolitik, melainkan lebih sebagai sebuah entitas atau agregat belaka.
Pertanyaannya adalah apakah apa yang disebut dengan Dunia Islam itu benar-benar ada? Pertanyaan ini penting dan relevan, apalagi kalau pengertian yang terkandung dalam kata Dunia Islam itu dipahami sebagai persatuan negara-negara muslim. Jika pengertian dunia Islam adalah persatuan dan kesatuan negara-negara muslim maka jawabannya adalah bahwa Dunia Islam itu tidak ada. Sebab, yang ada adalah dan hanyalah agregat dari negara-negara bangsa (nation-state) yang kebetulan mayoritas penduduknya menganut agama Islam.
Pada masa kolonialisme dan imperialism Barat, mereka justru lebih memiliki semangat kebersamaan, persatuan, dan solidaritas yang nyata. Pasalnya, mereka menghadapi musuh Bersama (common enemy), yaitu kaum imperialis yang mengangkangi dunia Islam. Umat Islam sama-sama berjuang untuk mengusir kaum penjajah dan imperialisme dunia. Tak heran jika salah satu Kawasan berhasil memerdekan diri saling memberikan pengakuan segera didapatkan. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, misalnya, segera mendapatkan dukungan dan pengakuan awal dari negara-negara Islam. Tiga negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir, Suriah dan Lebanon.
Tidak sekedar nama
Dunia Islam tidak sekadar fenomena, apalagi hanya nama. Di sana ada organisasinya: di level negara namanya Organisasi Kerjasama Islam (OKI) atau Organization of the Islamic Cooperation (OIC), yang artinya lebih menekankan pada kerjasama antar negara muslim. Sebelumnya bernama Organisasi Konferensi Islam (OKI) atau Organization of the Islamic Conference (OIC) yang lebih berkonotasi politik. Organisasi ini diresmikan pendiriannya pada bulan September 1969, dalam Konferensi Puncak Islam (Islamic summit conference) di Rabat, Maroko.
Dalam konperensi ini diputuskan berdirinya OKI dengan sekretariat jenderal di Jeddah, Arab Saudi. Organisasi ini disepakati bertujuan memberikan bantuan untuk negara-negara Muslim miskin, memberikan dukungan kepada minoritas Muslim di negara-negara non-Muslim yang sering menghadapi berbargai persoalan yang terakit Islapophobia. OKI memiliki anggota 57 negara muslim dan dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang sekarang dijabat oleh Dr. Yousef Al-Othaimeen, seorang Ph.D dalam Sosiologi Politik dari the American University in Washington DC (1986) dan pernah menjabat Menteri Sosial Kerajaan Saudi Arabia. Sebelum Al-Othaimeen Sekretaris Jenderal dipegang oleh Mr. Iyad Ameen Madani (Saudi Arabia 2014-2016) dan Prof. Dr. Ekmeleddin Ihsanoglu dari Turki (2005-2013).
Sementara pada level nonnegara (nongovernmental organization) Dunia Islam juga memiliki organisasi Rabithah Alam Islami atau The Muslim World League. Sekretaris Jenderal Rabithah saat ini adalah Dr. Sheikh Mohammed bin Abdulkarim Al-Issa yang juga dari Kerajaan Saudi Arabia. Al-Issa adalah Mantan Menteri Keadilan (Minister of Justice) Kerajaan Saudi Arabia dan Presiden The International Islamic Halal Organization. Rabithah Alam Islami berkantor di kota suci Mekkah. Walhasil, posisi, peran dan pengaruh KSA di dua organisasi multilateral yang dimiliki Dunia Islam sangatlah besar dan menentukan. Suka atau tidak suka demikianlah faktanya.
Tugas OKI dan Rabithah sungguh sangat berat. Apalagi sampai sekarang ini bagian dunia yang paling bergolak adalah Dunia Islam, utamanya Dunia Arab. Hubungan antar negara Islam/Muslim di Kawasan dunia Arab sarat dengan ketegangan politik, konflik dan bahkan peperangan antar sesama mereka. Sejak perang Irak-Iran (1980-1989) dan perang Irak-Kuwait Dunia Islam terus tercabik-cabik. Lihat saja perang Arab Saudi-kelompok Houthi di Yaman dan ketegangan yang tiada akhir antara Iran dan Arab Saudi. Perang di Suriah dan Libya juga masih berkecamuk sampai sekarang yang nota bene melibatkan kekuatan-kekuatan eksternal. Demikian juga dengan Maroko versus Aljazair menyangkut negara Polisario atau Sahara Barat. Ada juga boikot atas Qatar yang dilakukan oleh koalisi Arab Saudi, Mesir dan Emirat Arab.
Penderitaan bangsa Palestina yang setiap hari digencet dan ditindas oleh Israel juga belum cukup menggerakkan Dunia Islam untuk secara bersama-sama membantunya secara kongkrit, kecuali sekedar dukungan politik, dan bantuan lain yang bersifat capacity building sebagaimana yang dilakukan Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini. Belum lagi persoalan Palestina, Kurdi, Rohingya, Kashmir, dan belakangan Uighur, yang merangsek ke jantung persoalan yang dihadapi Dunia Islam.
Atas berbagai masalah yang sedemikian besar volumenya tersebut peran kedua organisasi Dunia Islam kita baru sebatas memberikan dukungan politik yang bersifat retorik dan sebatas mendoakan. Bahkan nasib bangsa Bosnia dan Kosovo yang lahir belakangan tampaknya mendapatkan bantuan dan perlindungan justru dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dengan NATO-nya: alih-alih dari Dunia Islam.
OKI bahkan terkesan kurang solid lagi sejak KTT OKI di Kuala Lumpur tahun lalu (2019) yang memancing polemik dan kontroversial itu. Sementara Rabithah Alam Islami juga kurang kedengaran lagi peran dan kegiatannya. Itu semua menunjukkan bahwa solidaritas Dunia Islam belum seperti yang diharapkan oleh umat Islam se dunia. OKI dan Rabithah sungguh memikul beban yang sangat berat. Saya rasa kiprah dan kegiatan OKI dan Rabithah sudah sangat banyak, meskipun ada kesan akhir-akhir ini jarang terdengar. Saya rasa, sejauh menyangkut kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan dan kebudayaan fakta kurangnya terdengar itu lebih pada persoalan publikasi dan diseminasi kegiatan yang kurang dilakukan.
Sementara di bidang politik adalah tidak mudah mengelola organisasi multilateral tingkat dunia dengan 57 negara anggota lengkap dengan sekian badan organik yang bermacam-macam. Saya rasa kritik Fazlurrahman tersebut terlalu dramatis. Memang benar akhir-akhir ini, seiring dengan perjalanan waktu, terutama setelah masing-masing mengokohkan dirinya sebagai negara bangsa, semangat kebersamaan, persatuan dan solidaritas antar negara-negara muslim tampaknya mengalami penurunan. Kepentingan politik nasional tetaplah menjadi yang paling dominan dan menentukan dalam hubungan internasional dan politik luar negerinya.
Apa selanjutnya?
Akibat dari perkembangan situasi yang sebagian diuraikan di atas maka muncullah pertanyaan di kalangan umat Islam: apakah Dunia Islam itu ada secara nyata atau sekedar dunia maya? Bagi kalangan pesimis, jawabannya adalah maya. Barangkai dalam konteks dan perspektif inilah Prof. Fazlurrahman pernah mengatakan bahwa apa yang disebut dengan Dunia Islam belum pernah mengalami situasi “sedemikian tidak ada”-nya seperti sekarang ini. Yang ada adalah sekumpulan agregat nation state yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam tetapi masing-masing memiliki kepentingan nasional (national interest) sendiri-sendiri yang berbeda-beda, tidak sejalan, atau bahkan seringkali saling bertentangan.
Ada yang bertentangan secara parsial, ada pula yang bertentangan secara diametral. Dunia Islam, melihat fakta-fakta tersebut di atas, hanya ada dalam kata-kata (das sollen), bukan dalam alam nyata (das sain). Meski tidak seluruhnya benar, ada baiknya kita mengutip pengamatan Fazlurrahman tersebut. Tapi bagi kalangan yang optimis, apa yang disebut dengan Dunia Islam yang termanifestasikan dalam OKI dan Rabithah Alam Islami itu masih tetap saja harus disyukuri oleh karena masih lumayan jika dibandingkan dengan tidak adanya.
Pertanyaannya adalah sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, apakah yang harus dilakukan umat Islam Indonesia,? Bagi kita umat Islam Indonesia rasanya akan jauh lebih baik berbuat nyata daripada meratapi keadaan. Sebuah ungkapan China mengatakan “Lebih baik menyalakan sebuah lilin daripada mengutuk kegelapan” (It is better to light a candle than curse the darkness). Indonesia dalam beberapa hal memiliki perkembangan yang lebih baik daripada perkembangan bagian lain dari Dunia Islam, misalnya di bidang teknologi, demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan dan kemajuan perempuan. Di bidang-bidang ini Indonesia bisa membuat rintisan kerja sama dengan dunia Islam lainnya demi mewujudkan ajaran Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin.
Indonesia bisa memelopori langkah-langkah nyata agar OKI dan Rabithah dapat ditransformasikan menjadi organisasi yang hidup dan bekerja. Kedua organisasi dunia Islam ini, untuk sementara ini, sebaiknya lebih tampil dalam bidang-bidang non-politik mengingat betapa heterogen dan kompleksnya kepentingan politik nasional masing-masing negara. OKI dan Rabithah bisa tampil lebih kongkrit di bidang-bidang non-politik, seperti keagamaan, kebudayaan, dan Pendidikan, untuk menghindari lebih parah lagi perpecahan di Dunia Islam.
Bahkan, menurut hemat saya, mungkin, jauh lebih baik OKI mentransformasikan dirinya menjadi “Lembaga Kerohanian Islam” yang menaungi seluruh umat Islam di dunia ini tanpa membedakan madzhab, aliran, atau sekte. Saya rasa tidak ada yang salah! Dalam perjuangan ada dikenal skala prioritas, bukan? Wallahu a’lam.
Hajriyanto Y Thohari, Wakil Ketua MPR RI (2009-2014), anggota PP Muhammadiyah