Kedinamisan Manusia dalam Kehidupan
Royyan Mahmuda Daulay
Pernah suatu ketika saya mengikuti pelaksanaan sholat jumat di salah satu Lembaga Pemasyarakatan. Awalnya saya merasa khawatir karena tidak pernah melakukan sholat berjamaah bersama dengan narapidana sebelumnya, meski sudah menjadi pegawai penjara. Karena memang tugas sehari-hari bukan dalam rangka pengamanan narapidana, melainkan menyambung komunikasi dengan masyarakat agar nantinya saat narapidana keluar dari penjara dapat diterima dan dibina dengan baik oleh lingkungan sosial.
Banyak hal menarik yang terjadi, tetapi yang paling mengundang perhatian saya adalah sikap para narapidana yang begitu patuh terhadap peraturan dalam penjara. Entah karena takut atau memang sadar, mereka bertindak lebih sopan dan tidak arogan. Bahkan ketika selesai pelaksanaan sholat, hal yg biasa saya risaukan yakni kehilangan alas kaki (sandal), tidak terjadi.
Bukan dalam rangka menjustifikasi narapidana, tetapi sebagai seseorang yang tidak pernah sholat di penjara sebelumnya, perasaan risau itu tidak bisa terelakkan. Dari hal ini saya berfikir bahwa manusia adalah makhluk yang sangat dinamis. Tidak bisa kita memandang secara hitam putih atas perilaku manusia. Bisa saja sekarang dia narapidana, tetapi besok lusa menjadi ahli bijaksana yang menebar kebaikan pada banyak orang.
Karena memang setiap tindakan manusia mengandung banyak makna baik tersirat maupun tersurat. Dan itu sangat dipengaruhi oleh kondisi jiwa (psiko) dan lingkungan (sosial).
Kadangkala yang tampak dari cover manusia belum tentu menampilkan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Maka, memandang bahwa narapidana adalah manusia bersalah secara hitam putih hukum bukanlah hal yang bijak. Karena sejatinya mereka juga manusia yang dianugerahi Tuhan kemampuan untuk bersikap dinamis dalam kehidupan.
Bahkan Allah SWT dalam surat ar-ra’d ayat 11, berfirman yang artinya ” Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri.. “. Ayat ini seringkali dijadikan dasar oleh para da’i, mubaligh, ustadz dan kyai untuk menyatakan bahwa manusia bisa berubah dalam konteks apa pun, baik sifat, perilaku, dan urusan kehidupan. Syaratnya satu, dia berusaha untuk merubah hal tersebut, sehingga pada akhirnya Allah meridhoi usaha perubahannya itu.
Hal ini pun berlaku bagi narapidana di penjara, bisa jadi dengan peraturan yang ada di dalam lembaga membuat mereka sadar dan berubah untuk menjadi manusia yang lebih baik dan patuh terhadap norma kedepannya. Perkara tidak menggoshob (mengambil) sandal orang lain selepas sholat jumat memang perihal sederhana dan tidak penting, tetapi terkandung banyak makna. Paling tidak meski narapidana itu tersangkut kasus pencurian mereka berusaha untuk berubah untuk tidak mengambil barang milik orang lain berupa sandal yang bisa saja kondisi sangat memungkinkan. Artinya, ada sedikit perubahan yang terjadi dan jika itu dipupuk dan ditumbuh suburkan bukan tidak mungkin akan merubah dia yang sebelumnya mudah mencuri menjadi berhati-hati.
Namun Ironisnya, perubahan tersebut seringkali pudar ketika sudah di luar dan kembali ke masyarakat. Entah karena kebutuhan, lingkungan ataupun hujatan, perilaku baik yang ditanamkan selama pembinaan hilang berantakan. Tidak sedikit yang akhirnya mengulangi untuk melakukan kejahatan dan pelanggaran. Memang sangat disesalkan, tetapi pada kenyataannya yang terjadi hal demikian. Maka perlu ada dukungan agar perubahan dari orang-orang yang termarjinalkan (narapidana) tersebut dapat dipertahankan. Paling tidak kita sebagai masyarakat mecoba menghargai dengan tidak menjudge, menghina, atau merendahkan mereka. Lebih jauh lagi jika pemerintah, organisasi masyarakat, pengusaha serta pihak-pihak lain dapat terlibat untuk menciptakan sistem budaya yang mendamaikan kaum-kaum marjinal seperti mereka. Sehingga pada akhirnya banyak orang yang tersadar bahwa manusia itu dinamis, termasuk para narapidana.
Wallahu a’lam bisahawwab.
Royyan Mahmuda Daulay, alumni Mu’allimin dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini menjadi ASN di Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada Bapas Kelas II