Reformasi Polri dalam Pusaran Defisit Demokrasi

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Terpilihnya Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo  sebagai Kapolri baru memberi sinyal adanya Reformasi di tubuh Polri. Akan tetapi Reformasi Polri yang dikehendaki dihadapkan dengan berbagai problem salah satunya yaitu Defisit Demokrasi.

Demikian Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Busyro Muqoddas, MHum memantik Webinar “Reformasi Polri: berharap kepada Kapolri Baru?” Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Kamis (4/2/2021).

Busyro Muqoddas mengungkapkan Polri adalah satu lembaga penegak hukum milik seluruh elemen seluruh rakyat. “Karena kita merasa memiliki, terikat untuk memberikan kontribusi yang konstruktif agar kita secara bersama-sama memberikan kontribusi bagaimana kondisi dan agenda reformasi Polri,” tuturnya.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu menyebutkan masyarakat termasuk Polri dihadapkan pada pusaran Problem. Pertama, adanya penurunan atau demoralisasi birokrasi negara yaitu berkisar konsistensi etika kebangsaan dan kebertuhanan

Kedua, problem defisit dan darurat demokrasi yaitu disorientasi legislasi sebagai pemicu, penyulut dan sekaligus sumbu demokrasi transaksional. “Paling tidak ada tiga regulasi yaitu UU Parpol, UU Pemilu, dan UU Pilkada disamping yang lainnya,” ungkap Busyro Muqoddas.

Problem ketiga adalah terbentuk dan menguatnya state capture corruption. “Kita dikejutkan dengan angka IPC tahun 2020 baru kali ini anjlok 3 poin, kemudian disusul survei Global Corruption Barometer yang antara lain menyebutkan 92% percaya ada korupsi di pemerintah termasuk salah satunya mega skandal Bansos yang amat menyakitkan hati seluruh rakyat Indonesia,” urai Busyro Muqoddas.

Selain itu, adanya kebangkitan akar budaya korupsi berupa politik dinasti dalam Pemilu – Pilkada. Juga melebarnya kekerasan dan radikalisme politik yang berdampak destruktif pada kesenjangan sosial yang semakin meluas.

Busyro Muqoddas merupakan pakar yang selama 40 tahun berkhidmat di dalam penegakkan hukum dan dalam dunia advokasi. “Salah satu pengamatannya saya menyimpulkan memang radikalisme dan kekerasan politik lebih menonjol daripada bentuk-bentuk yang lain, serta dampaknya lebih luas dan kompleks,” ungkap Busyro.

Sementara itu, berbagai situasi tersebut mengakibatkan terbentuknya masyarakat diam dan takut serta tidak solidnya ilmuwan jujur. “Itu berbahaya bagi kelangsungan budaya manapun juga apalagi negara demokrasi,” tambah busyro

Polri juga memiliki problem khusus, diantaranya praktek kekerarsan aparat Polri dalam beberapa kasus. Yaitu kasus Qidam di Poso, korban dua mahasiswa di Kendari, intransparansi penegakan hukum seperti tragedi Siyono, penerapan UU ITE hingga tragedi kemanusiaan berat di KM 50 Jakarta – Cikampek.

Kemudian ada problem menguatnya citra Polri sebagai alat Pemerintah, problem pembentukan Pam Swakarsa dalam situasi masyarakat yang semakin terbelah. “Perlu kiranya kita dengan tulus kritik konstuktif memberikan persfektif,” kata Busyro Muqoddas.

Termasuk paradigma filosofi kurikulum pendidikan Polri membutuhkan rekonstruksi. Yaitu memberikan kontribusi tentang pendidikan HAM di kalangan Polri.

Harapanya untuk jajaran Polri pelembagaan kejujuran dan penegakan hukum yang humanis. Menyemai kurikulum Polri yang ramah dengan etika profesionalisme penegakan hukum, demokrasi dan HAM. Selanjutnya membangun kultur pemerakyatan Polisi profesional, jujur dan independen.

Komitmen dan tradisi elemen masyarakat sipil termasuk perguruan tinggi Muhammadiyah se-Indonesia dan tradisi kemandirian sikap dan budaya keterbukaan serta kemerdekaan berfikir dalam Muhammadiyah.

Besar harapan kepada Polri untuk membangun dan memperkuat Ta’awun dan kerja sama sebagai amaliah keagamaan yang integratif untuk upaya lebih etis konstruktif bagi masyrakat dan bangsa.

“Ini sebagai konsekuensi moral logic kelembagaan dari elemen masyarakat sipil termasuk Muhammadiyah bersama yang lain untuk bisa memberikan kontribusi,” pungkas Busyro Muqoddas. (Riz)

Exit mobile version