Ar-Razzāq, Maha Pemberi Rizki
Oleh Moh Damami Zain
Kata “Ar-Razzāq” dalam Al-Qur’an, sejauh yang pernah diteliti para ulama tafsir, hanya disebut satu kali saja (Qs. Adz-Dzariyat: 58):
إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ ٥٨
Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
Kata “Ar-Razzāq” bermula dari “Ar-Rizq.” Sementara itu, kata “Ar-Rizq,” menurut etimolog bahasa Arab terkenal, Ibnu Faris, terdiri dari 3 huruf, “ra”, “za,” dan “qaf” yang arti aslinya adalah “pemberian yang terkait waktu.” Kemudian arti asal ini dalam pemakaian selanjutnya diperluas menjadi bentuk pemberian apa saja yang tidak terkait waktu. Kalau pengertian etimologi ini dipakai sebagai patokan, maka yang dimaksud rezeki adalah semua bentuk dan wujud pemberian Allah SwT kepada seluruh makhluk-Nya.
Menurut Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh mufassir Indonesia, M. Quraish Shihab, dalam sifat “Ar-Razzāq” tersebut termuat pengertian. Pertama, Allah SwT telah menyediakan rezeki (tanpa akan kehabisan). Kedua, Allah SwT telah menciptakan yang membutuhkan rezeki tersebut, yakni manusia dan makhluk lainnya. Ketiga, Allah SwT yang menciptakan cara-cara yang akan dipakai manusia dan makhluk lainnya untuk mencari atau memperoleh rezeki yang telah Allah SwT sediakan itu. Keempat, Allah SwT yang memberikan langsung kepada manusia dan makhluk lainnya mengenai rezeki yang dibutuhkan dan dimohonkan oleh umat manusia dan makhluk lainnya kepada-Nya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka sungguh sama sekali tidak benar dan tidak dibenarkan seseorang merasa bangga telah berhasil dalam usahanya mencari rezeki yang seolah-olah tidak ada “faktor pemberian” dari Allah SwT di situ. Lebih tidak dibenarkan kalau sampai seseorang menjadi suka pamer terhadap rezeki yang telah berhasil diraihnya, apalagi kalau sampai justru mempersombong diri gara-gara rezeki yang telah diraihnya tersebut.
Bahwa terasa cukup-tidaknya rezeki dalam diri seseorang banyak ditentukan oleh kadar tinggi-rendahnya rasa syukur atau rasa terima kasihnya kepada Allah SwT dalam menerima kenyataan rezeki yang telah berhasil diraihnya (Qs. Ibrahim 14: 7). Bahwa keimanan terhadap ketentuan rezeki berdasar takdir Allah SwT justru memunculkan rasa optimisme dalam kehidupan ini. Sebab, jika seseorang dihadapkan pada keberhasilan, maka dia akan tetap rendah hati dan mempertahankan bagaimana proses keberhasilan tersebut terjadi. Di samping itu, jika dia belum berhasil meraih atau mencapai suatu usaha (dalam kata lain gagal), maka dia masih memiliki harapan besar kepada Allah SwT yang memiliki sifat “Ar-Razzāq.”
Sifat “Ar-Razzāq” ini mendidik umat Islam agar dalam hidup ini perlu berpedoman teguh pada prinsip: usaha dan doa.
Wallāhu a’lam bish-shawāb.
Moh Damami Zain, Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2017