Kiprah Muhammadyah turut Menandai Hari Pers Nasional

Hari Pers Nasional

Bapak Pers Muhammadiyah Haji Fachroddin Dok SM

Kiprah Muhammadyah turut Menandai Hari Pers Nasional

Oleh: Dr Retno Intani ZA, MSc

Hari pers Indonesia yang lebih dikenal dengan Hari Pers Nasional (HPN) diperingati setiap tanggal 9 Februari. bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia, didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985.

Keputusan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985 itu menyebutkan bahwa pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.

Dewan Pers, lembaga independen di Indonesia sebagai amanat UU no 40 tahun 1999, yang berfungsi untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia, telah menetapkan Hari Pers Nasional dilaksanakan setiap tahun secara bergantian di ibu kota provinsi se-Indonesia. Penyelenggaraannya dilaksanakan secara bersama antara komponen pers, masyarakat, dan pemerintah khususnya pemerintah daerah yang menjadi tempat penyelenggaraan.

Di era pandemi ini, pelaksanaan kegiatan HPN diselenggarakan secara “full digital” dan meskipun ada beberapa inisiatif kegiatan pra kondisi peringatan HPN yang dilakukan langsung dengan peserta terbatas.

Berbagai kegiatan organisasi pers sebagai konstituen Dewan Pers antara lain Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) membangun jalan umum untuk masyarakat sepanjang 750 meter dan lebar 2,5 meter serta pembangunan sanitasi berupa bangunan untuk mandi, cuci dan kakus untuk untuk dihadiahkan kepada warga masyarakat warga Serang, Provinsi Banten yang membutuhkan.

Banyak upaya-upaya untuk menyemarakkan HPN atau setidaknya menandai kiprah jurnalis. Seperti yang dilakukan oleh Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah.

Muhammadiyah seperti yang kita ketahui bersama adalah organisasi massa Islam modern terbesar di Indonesia yang tercatat dengan tinta emas atas kiprah dan peran sosialnya di bidang kemanusiaan dan kebangsaan.

Organisasi yang mengusung semangat pembaruan dan pencerahan anak bangsa ini lahir 33 tahun sebelum Indonesia lahir sebagai bangsa dan negara merdeka pada 17 Agustus 1945. Muhammadiyah tidak hanya menjadi bagian penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa tetapi juga terus aktif mengisi kemerdekaan di tiga bidang utama, yakni pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.

Kader-kadernya terpencar diseluruh pelosok negeri. Jauh dari riuh dan hiruk pikuk perkotaan, jauh dari pusat kekuasaan, dan berada dalam ruang sunyi, telah menjadikan para pejuang menjelma menjadi inspirasi.

Di desa terpencil, di daerah yang kurang terjamah, tidak menyurutkan para pendakwah dan organisatoris Muhammadiyah untuk menyalakan pelita. Mereka merupakan orang-orang yang tidak tampak di permukaan, tidak hadir di tengah gelanggang, namun langkah dakwahnya, telah menghasilkan gerakan dan kontribusi nyata.

Salah jika Muhammadiyah dikatakan sebagai organisasi dengan corak perkotaan dan hanya cocok bagi masyarakat metropolis. Bila ditelusuri, hampir tidak ada ruang di sudut paling terpencil sekalipun yang tidak mendapat layanan dakwah Muhammadiyah, baik berupa pendidikan, kesehatan, tempat ibadah, layanan sosial, pemberdayaan ekonomi, atau apapun yang mungkin menjadi kekhasan pelayanan kader Muhammadiyah di tingkat paling lokal. Dari ujung Barat hingga Timur Indonesia, Muhammadiyah hadir.

Semangat berkorban kader Muhammadiyah yang merata dari pusat hingga pelosok, membuat hampir tidak ada hari tanpa peresmian Amal Usaha Muhammadiyah. Belum lagi amal yang tidak dalam bentuk fisik, tidak terhitung jumlahnya. Hampir sulit menimbang berapa besar jasa Muhammadiyah untuk bangsa dan semesta ini.

Di tengah telaga amal yang kian memancarkan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi negeri, para pengurus Muhammadiyah di tingkat pusat tentunya tidak bisa bertinggi hati, bahwa setiap gerak langkah persyarikatan ini tak lain merupakan kontribusi nyata kader-kader lokal di pelosok yang setiap saat tanpa pamrih berjibaku dengan jalan dakwah masing-masing.

Kader-kader lokal itu terus bergerak untuk mengabdi di tengah keterbatasan fasilitas, minimnya dukungan finansial, kesulitan menghadapi medan yang terjal, dengan perjalanan dalam berdakwah yang mesti ditempuh dengan jarak yang sangat panjang, bahkan mereka juga harus menghadapi kerasnya tantangan masyarakat lokal yang belum tentu dapat menerima dakwah pencerahan ala Muhammadiyah.

Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, adalah majelis dibawah pimpinan pusat muhammadiyah yang mempunyai visi misi untuk membangun organisasi Islam modern di masyarakat melalui pengembangan pustaka dan informasi.

Dalam kepengurusan MPI ini terdapat nama-nama yang akrab dengan media massa sebutlah ada Edy Kuscahyanto, Mohammad Abd Darras, Siswanto Rusdi, Nurcholis Basrori, Imam Prihadiyoko, Wahyudi M Pratama, Rommy Febri, Iwan Situmeang, Rony Tabroni, Najib Burhani, Dinan, Iwan Setiawan, Widyastuti, dan masih banyak lagi yang dikomando oleh Dr Mukhlas MT, sebagai Ketua MPI Pusat Muhammadiyah.

MPI PP Muhammadiyah ditahun terakhir masa bakti periode 2015-2020 mempunyai program mengangkat keteladanan-keteladanan yang telah ditorehkan oleh para kader lokal Muhammadiyah melalui tulisan reflektif mengenai keteladanan dan kontribusi tokoh lokal Muhammadiyah bagi negeri. Dengan tulisan-tulisan itu, diharapkan dapat menemukan dan mengangkat sosok-sosok teladan lokal yang lahir dari rahim persyarikatan sehingga dapat dijadikan teladan-teladan alternatif bagi kehidupan publik di Indonesia.

Berangkat dari pemikiran itulah MPI PP Muhammadiyah memberikan penghargaan bagi para jurnalis yang telah berkarya dalam menuliskan keteladanan kader-kader Muhammadiyah di pelosok tanah air melalui media massa.

Penghargaan bagi para jurnalis itu diberi nama Fachrodin Award. Mengapa Fachrodin Award?

Di kalangan Muhammadiyah, mungkin lebih mengakrabi nama AR Fachruddin dibanding nama Fachrodin tanpa AR.

Ya, AR Fachroedin adalah sosok yang di era presiden Soeharto kental dengan kesejukannya memimpin umat. AR Fachruddin adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah terlama sepanjang masa yakni selama 22 tahun yakni mulai tahun 1968 hingga 1990.

Sedangkan Fachrodin yang dimaksud dalam Fachrodin Award ini adalah sosok yang lain yakni Fachrodin yang wartawan. “Nama ini terinspirasi kiprah Haji Fachrodin sebagai pelopor pers Muhammadiyah,” kata Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah Roni Tabroni, yang juga salah satu inisiator Fachrodin Award.

Haji Fachrodin adalah sosok jurnalis dan Pimpinan Muhammadiyah masa awal berdirinya Muhammadiyah. Haji Fachrodin kecil bernama Muhammad Jazuli, lahir pada tahun 1890. Jazuli tumbuh besar dalam kondisi perekonomian di Kauman, Yogyakarta yang sedang meningkat. Sebagai seorang putra abdi dalem, dirinya tidak ketinggalan terjun di bisnis kain batik.

Haji Fachrodin dikenal sebagai sosok yang suka bekerja keras. Dia tidak hanya berdagang batik, tetapi juga merintis percetakan sendiri, mengelola hotel, dan mendirikan pabrik rokok.

Prof. Dr. H. Haedar Nasir, MSi – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberi kesaksian bahwa Fachrodin adalah sosok kader dan tokoh Muhammadiyah generasi awal yang banyak belajar dari Kyai Dahlan secara otodidak. Biarpun tidak mengenyam pendidikan umum tetapi bertumbuh menjadi seorang penulis yang tajam dan disegani Belanda saat itu dan karena kepiawaiannya dalam menulis Fachrodin menjadi orang pertama yang memimpin redaksi Soewara Moehammadijah.

Fachrodin merintis penerbitan surat kabar Soewara Moehammadijah pada 1915 dan menjadi Hoofdredacteur pertama, sementara K.H. Ahmad Dahlan duduk di jajaran redaksi bersama HM. Hisyam, RH. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosugito, dan KRH. Hadjid.

Fachrodin mengawali karir di dunia politik dan pergerakan ketika dia belajar jurnalistik kepada Mas Marco Kartodikromo. Ketika Mas Marco bersama beberapa jurnalis bumiputra menerbitkan surat kabar Doenia Bergerak pada 1914, Fachrodin dipercaya menjadi penulis tetap yang bertanggungjawab memberikan informasi di kawasan Yogyakarta. Dia juga masuk menjadi anggota Inlandsche Journalisten Bond (IJB).

Fachrodin dengan pikiran – pikirannya yang cerdas, tajam memperjuangkan nasib rakyat termasuk dalam usaha untuk membangkitkan perlawanan kaum buruh di Yogyakarta untuk memperjuangkan hak-haknya sehingga dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah Belanda.

“Pikiran2 tajam dari seorang Fachrodin memberi warna orientasi pemikiran yg bersifat layaknya tokoh kiri muhammadiyah tetapi pandangan2 progresif untuk rakyat sebagai perlawanan terhadap Belanda lahir dari pemikiran keislaman. Fachroedin juga seorang yang piawai berdakwah dan banyak diberi tugas oleh Kyai Dahlan. Peran monumentalnya adalah ketika selama 8 tahun mewakili Muhammadiyah mengkaji secara langsung nasib para haji Indonesia di Saudi yang waktu itu memperoleh perlakuan kurang baik sehingga dari tugas dan perannya timbul Badan Haji Muhammadiyah. Selain itu, Fachroedin juga ditugasi untuk mengikuti Konferensi Islam di Cairo Mesir. Pengalaman-pengalaman tersebut menunjukkan kekuatan seorang Fachroedin yang tidak berpendidikan umum tetapi mau belajar dan selalu bergaul diberbagai kalangan termasuk dengan tokoh sosialis saat itu yakni Suryopratomo. Fachroedin adalah tokoh Muhammadiyah lintas batas.” kenang Prof Haedar Nasir.

Pada 1919, Fachrodin menerbitkan surat kabar mingguan Srie Diponegoro. Tulisannya di mingguan ini dihiasi dengan gambar ilustrasi, yang menunjukkan salah satu kreativitas Fachrodin dalam bidang jurnalistik.

Haji Fachrodin meninggal tahun 1929. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah memberikan anugerah Pahlawan Nasional kepada Haji Fachrodin lewat Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 162 tahun 1964.

Nah nampaknya, MPI Pengurus Pusat yang didominasi oleh wartawan senior itu tak ingin melupakan jasa perintis pers Indonesia dari kalangan Muhammadyah itu dengan menyelenggarakan lomba penulisan Fachroedin Award.

Akan halnya Fachrodin Awards, setelah melalui proses yang cukup panjang, dan sempat dilakukan perpanjangan waktu penerimaan naskah, serta penundaan pengumuman pemenang lomba karya tulis jurnalistik Fachrodin Award 2020, karena Pandemi Covid-19, maka panitia akhirnya memutuskan untuk mengumumkan pemenangnya pada hari Sabtu 19/12/2020 lalu.

Fachrodin Award digelar untuk ikut memeriahkan Muktamar Muhammadiyah/ Aisyiyah. Semula, pengumuman dan penganugerahan Fachrodin Award 2020, akan digelar pada awal Juli 2020 bersamaan dengan pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah. Namun, karena Pandemi Covid-19, maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah memutuskan untuk menunda pelaksanaan Muktamar yang rencananya digelar di Solo, Jawa Tengah. Keputusan ini pun berimbas pada panitia Fachrodin Award.

Fachrodin Award mengangkat tema “Kiprah Muhammadiyah dalam Memajukan Umat dan Bangsa.” Idenya ingin melihat warga Muhammadiyah dari dekat, dari bawah, dari tempat-tempat sempit yang selama ini tidak mendapatkan perhatian publik, namun mereka bekerja dengan penuh semangat.

Ini juga menjadi salah satu cara untuk membangkitkan literasi Indonesia, dan menawarkan cara pandang baru dalam melihat sejarah keindonesiaan. Yaitu, tidak melihat dari apa yang dilakukan orang-orang besar di pusat pemerintahan atau pusat politik, namun memberi tempat bagi mereka yang dengan tulus ikut membangun Muhammadiyah dan negeri ini.

Ada empat topik yang digunakan untuk memancing ide jurnalis untuk mengungkapkan kader yang jauh dari sorotan media tersebut. Pertama, sejarah dan peran Muhammadiyah di berbagai daerah, dakwah kader Muhammadiyah, gerak amal usaha Muhammadiyah dalam melayani umat dan bangsa, serta terakhir peran tokoh Muhammadiyah di tingkat lokal di berbagai daerah di Indonesia.

Memang tidak mudah bagi tim juri untuk menilai hasil karya jurnalistik yang dikirimkan ke panitia. Pasalnya, setiap tulisan tersebut mempunyai kekuatan dan daya tarik tersendiri. Tulisan-tulisan itu, mempunyai gaya penulisan yang cukup baik dan bisa dimengerti. Ini bisa jadi bukti awal, literasi jurnalis di Indonesia mampu menangkap orang-orang yang berkerja dalam lorong sunyi ini.

Selain itu, obyek dan kisah yang dituliskan dalam karya yang dikirimkan, juga mampu menggugah perhatian, dan memperlihatkan gerak kader persyarikatan di akar rumput. Para jurnalis, mampu mengisahkan kader Muhammadiyah yang awam, namun keikhlasannya amat nyata. Jurnalis mampu menelisik ketekunan kerja kader Muhammadiyah, yang bekerja dengan sepenuh hati, dan jauh dari sorotan publikasi media.

Sosok yang dituliskan, tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari lereng gunung hingga pedalaman di Papua, dari tepian danau, pinggiran kota hingga pedalaman Banten.

Ada tulisan yang cukup menggetarkan jiwa bagi pembacanya. Ada tulisan yang penuh dengan jejalan data. Ada juga tulisan yang renyah dan ringan untuk dibaca. Meski ada juga tulisan yang terasa betul dituliskan dengan sambil lalu atau agak dipaksakan. Meskipun demikian, dewan juri yang terdiri atas Prof Najib Burhani, PhD, Dr Retno Intani MSc, Dr Wahyudi M Pratopo MSi, Drs Nurcholis Basyari,MA, Dr Iwan Situmeang, Imron Geasil dan Imam Prihadiyoko yang sekaligus sebagai Ketua Panitia Fachrodin Award 2020 sangat menghargai 180 karya yang masuk.

Panitia pun memutuskan, ada 10 nama pemenang lomba Fachrodin Award 2020 antara lain karya Azizah Herawati dari Magelang berjudul Kesuksesan Dibalik Sepeda Tua; Muh Ridha Basri dari Bireuen, Aceh dengan judul Sang Surya di Kampung Warmon Kokoda; Ahmad Fatoni dari Malang mengangkat Kyai Bedjo Darmoleksono, Organisatoris Pejuang Dari Malang lalu Mohammad Fadhilah Zein dari Depok Jabar mengunggah Dai Tangguh Penjaga Keharmonisan Badui.

 Tulisan-tulisan itu menjadikan sebagai cermin yang dapat menginspirasi siapa saja dan menunjukkan betapa gerakan dakwah Muhammadiyah tidak pernah lelah mengabdi bagi umat dan bangsa. Peran besar yang sudah lebih dari satu abad dijalankan ini perlu terus menerus disosialisasikan kepada masyarakat secara umum melalui pemberitaan di media massa.

Menutup sambutan pada penyerahan pemenang Fachroedin Awards, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr.H.Haedar Nasir, MSi menekankan bahwa Fachrroedin Award adalah salah satu ikhtiar untuk mengenang kembali dan menjadikan inspirasi dari seorang tokoh yang bisa jadi tidak dikenal tetapi telah menggoreskan peran kontribusi yang besar baik bagi Muhammadiyah maupun bangsa.

Haedar Nasir juga mengingatkan, ikhtiar mereproduksi kehadiran pejuang bangsa menjadi komitmen inspirasi dan role model bagaimana menjadi warga dan sosok yg memberi kontribusi buat negara dan bangsa. Diharapkan, Fachroedin Award menjadi inspirasi yang luas, menghargai pahlawan bangsa sekaligus inspiratory kaum muda sebagai pengkhidmatan warga bagi bangsa sehingga dari Muhammadiyah lahir pandangan-pandangan dan kontribusi untuk kemajuan bangsa.

Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, MSi, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membidangi Majelis Pustaka dan Informasi mendorong agar Fachrodin Award

diadakan secara berkesinambungan karena dapat menumbuhkan tradisi untuk menulis dan mempertajam pemahaman literasi. Dari penyelenggaraan Fachrodin Award perdana ini telah diputuskan untuk membukukan 40 tulisan terbaik menjadi sebuah buku, dan mengaudiovisualkan.

Atas semua perjuangan yang tidak terhingga, terhadap semua pejuang Muhammadiyah yang ada di berbagai daerah dan pelosok negeri, tidak ada apresiasi yang patut disampaikan selain mengambil telaga keteladanannya agar perjuangannya tidak sia-sia dan dapat dilanjutkan sebagai suluh pencerahan bagi negeri.

Berkaitan dengan pengembangan Soewara Moehammadiyah yang kini bernama Suara Muhammadiyah sejak lahir tahun 1915 memang hadir untuk mempublikasikan pandangan Islam Berkemajuan. Ketika itu kaum tradisional selain tertinggal dalam pemikiran dan kehidupan di segala bidang, pada saat yang sama masih menggunakan pranata-pranata lama dalam mengajarkan dan mengembangkan dakwah Islam. Mereka bahkan alergi dan menentang pembaruan. Ketika menawarkan gagasan pelurusan arah kiblat dan mendirikan sistem sekolah, Kyai Dahlan dianggap sebagai ‘kafir’ karenanya diperlukan media yang menyebar luaskan gagasan-gagasan pembaharuan Islam agar umat secara umum memahami.

Majalah Suara Muhammadiyah tahun 1917 sudah disebarluaskan ke luar wilayah Yogyakarta. Melalui kerjasama dengan jaringan Boedi Oetomo, majalah ini selain ikut memperkenalkan bahasa Melayu sebgai bagian dari semangat kebangkitan nasional, juga meluaskan daya jelajah penyebaran kedaerah-daerah lain di Hindia Timur. Langkah itu diambil setelah Pengurus Besar Muhammadiyah menjadi tuan rumah Kongres Boedi Oetomo di Kauman Yogyakarta.

Suara Muhammadiyah tumbuh pasang surut, sempat terhenti dan tidak terbit. Tahun 1980an tampil dengan cover baru yang dibidani oleh Mohammad Diponegoro, HM Basuni dan Adjib Hamzah. Di era Amien Rais dan Buya Syafii Maarif perubahan signifikan tampak lebih berkemajuan, ada ide perubahan. Kemudian diteruskan oleh pak Syukriyanto AR yang menyentuh sekitar 13 tiras.

Diusianya yang ke 105 pada Oktober 2020 lalu, Suara Muhammadiyah sudah mencapai oplah 35 ribu.

Prof Haedar Nasir, Pimpinan Redaksi Suara Muhammadiyah yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini berpesan,”Ditengah tuntutan zaman yang semakin kompleks dan sarat komperisi, diperlukan daya pikir dan langkah antisipasi yang visioner pihak Suara Muhammadiyah dan para pemimpin Muhammadiyah”

Hal itu sejalan dengan pesan KH Ahmad Dahlan yang dikutip Haedar, “Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang”. Maka, Haedar menambahi pesan “bawalah Suara Muhammadiyah menjadi media pembawa panji Islam Berkemajuan di tengah tantangan zaman baru untuk menyebarluaskan misi pencerahan”

Majalah Suara Muhammadiyah pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2018 menerima penghargaan Anugrah Adinegoro katagori Kepeloporan sebagai Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan RI dalam Bahasa Indonesia. (RI)

Dr Retno Intani ZA, MSc, Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan SMSI & MPI PP Muhammadiyah

Exit mobile version