‘Aisyiyah Dan Surat Kabar Kedaulatan Rakjat pada Tahun 1947
Muhammad Yuanda Zara
Sebagai sebuah lembaga yang berafiliasi dengan Muhamadiyah, ‘Aisyiyah telah mendapatkan cukup banyak perhatian dari para pengamat, baik dari dalam maupun luar negeri. Mereka tertarik pada bagaimana gerakan ‘Aisyiyah lahir, berkembang bahkan bisa maju seperti di masa sekarang. Beberapa aspek tematis yang kerap menjadi tilikan para sosiolog, sejarawan maupun antropolog terkait ‘Aisyiyah adalah perihal pandangan ‘Aisyiyah tentang perdebatan soal peran privat dan peran publik kaum perempuan, tentang posisi ‘Aisyiyah di dalam pembangunan masyarakat Indonesia, serta tentang kepemimpinan wanita baik di Muhammadiyah maupun di Indonesia secara umum. Ini, misalnya, bisa kita lihat dalam buku Pieternella van Doorn-Harder, Women Shaping Islam: Reading the Qur’an in Indonesia (2006) dan buku Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia (2015).
Namun, di luar atensi besar pengamat terhadap ‘Aisyiyah, sebenarnya ada pihak lain yang juga menaruh perhatian pada gerakan ini, yakni media cetak. Yang dimaksud media cetak di sini bukan media cetak terbitan Muhammadiyah atau ‘Aisyiyah yang sudah pasti akan menyediakan tempat bagi dinamika ‘Aisyiyah, melainkan surat kabar yang dikenal sebagai surat kabar umum. Salah satunya adalah surat kabar Kedaulatan Rakjat (kini dikenal sebagai Kedaulatan Rakyat), sebuah surat kabar yang terbit di Yogyakarta sejak 27 September 1945. Sebagai salah satu koran tertua di Indonesia yang masih eksis sampai sekarang, tentu menarik untuk mencari tahu bagaimana ‘Aisyiyah hadir dalam laporan-laporan surat kabar ini. Apalagi mengingat bahwa baik ‘Aisyiyah maupun Kedaulatan Rakyat sama-sama berbasis di Yogyakarta.
Dalam penelusuran saya, walaupun Kedaulatan Rakjat tidak punya hubungan institusional dengan Muhammadiyah ataupun ‘Aisyiyah, surat kabar ini tetap menaruh perhatian pada gerakan ‘Aisyiyah khususnya di Yogyakarta.
Salah satu berita paling awal tentang ‘Aisyiyah dimuat di Kedaulatan Rakjat tanggal 12 Februari 1947. Judulnya ‘Konperensi Moehammadijah ‘Aisjijah Kedoe’. Di sana diwartakan bahwa:
Magelang, 11-3. Moehammadijah dan Aisjijah seloeroeh daerah Kedoe besok tg. 15 dan 16/3 akan mengadakan konperensi bertempat di Gombong, jang selain akan dikoendjoengi oleh segenap wakil2 tjabang dan groep seloeroeh daerah Kedoe, poen akan dihadiri poela oleh wakil2 Pengoeroes Besar Moehammadijah di Kedoe dan Jogjakarta.
Dalam konperensi tsb. antara lain akan diadakan pemilihan pergantian wakil Pengoeroes Besar oentoek daerah Kedoe.
Pada edisi tanggal 10 April 1947, redaksi Kedaulatan Rakjat kembali menurunkan sebuah berita tentang ‘Aisyiyah (dan Muhammadiyah secara umum). Kali ini judulnya ‘Konperensi Moehammadijah’. Di sana tertera:
Jogja 9-4. Pada tg. 12 hingga 14-4 oleh P.B. Moehammadijah tjb. Jogjakarta akan dilangsoengkan konperensi daerah jang akan didatangi oleh wakil2 Moehammadijah, Pemoeda dan ‘Aisjijah.
Akan dibitjarakan antara lain tentang: Gerombolan2 jang koeat akan ditetapkan mendjadi Tjabang, menetapkan Wakil Pengoeroes Besar, langkah Pemoeda, dllnja.
Kedua berita di atas dimuat di tengah berbagai berita tentang perkembangan konflik antara Indonesia dan Belanda, mulai dari pertempuran antara tentara Belanda dan pasukan Indonesia hingga upaya diplomasi untuk menengahi pertikaian. Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 sementara Belanda datang guna melanjutkan lagi kolonialismenya atas Indonesia.
Berita-berita di atas menyampaikan pesan kepada kita bahwa meski secara politik kondisi Indonesia sedang tidak stabil, namun secara keorganisasian kegiatan Muhamadiyah dan ‘Aisyiyah telah kembali berjalan. Kegiatan konferensi semacam ini merupakan kegiatan khas Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang telah berlangsung sejak masa kolonial. Akan tetapi, di akhir masa kolonial dan di masa Jepang pertemuan besar seperti ini dilarang karena dianggap sebagai mobilisasi massa. Kekalahan Hindia Belanda dari Jepang, dan kekalahan Jepang dari Sekutu, serta lahirnya negara Republik Indonesia telah memberi kesempatan bagi organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, termasuk ‘Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah, untuk kembali menjalankan aktivitasnya.
Dari membaca dua laporan di atas, tampak bahwa ibu-ibu ‘Aisyiyah sangat sibuk dengan berbagai pertemuan yang sifatnya konsolidasi internal. Namun, ada kalanya ‘Aisyiyah ambil bagian dalam kegiatan lainnya, yang kemudian juga diwartakan oleh Kedaulatan Rakjat. Salah satunya ialah dalam acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw pada tanggal 26 Januari 1947. Dalam beritanya sehari setelah acara tersebut, diterangkan tentang bagaimana acara peringatan diselenggarakan di pendopo B.P.H. Poeroebojo. Yang hadir antara lain utusan dari Madrasah Muallimin, Pengurus Besar Muhammadiyah serta Pengurus Besar ‘Aisyiyah. Dalam berita berjudul ‘Peringatan Hari Mauloed Nabi Moehammad s.a.w.’ itu antara lain diwartakan imbauan agar umat Islam giat bekerja di segala bidang kehidupan:
Pesan dari Nj. Zaenab Damiri selakoe wakil P.B. ‘Aisjijah berpengharapan hendaknja segenap oemmat dalam melaksanakan oesahanja disegala lapangan, didasarkan atas kesoetjian, kedjoedjoeran dan iman jang kokoh koeat. Ketegoehan iman itoe adalah salah satoe sendjata jang sanggoep menghadapi segala kesoelitan dan kemoengkinan.
Munculnya sejumlah berita tentang ‘Aisyiyah di atas menegaskan bahwa bagi Kedaulatan Rakjat, aktivitas organisasi ini patut dan perlu untuk diinformasikan pada para pembacanya, yang umumnya merupakan kalangan berpendidikan yang tinggal di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Di era awal kelahirannya, Kedaulatan Rakjat tergolong koran laris. Di hari-hari pertama terbitnya, koran ini dicetak beberapa ribu eksemplar, dan jumlah ini dengan cepat diserap habis oleh pembacanya.
Antara tahun 1946-1949, Yogyakarta adalah ibukota Republik (setelah Jakarta dikuasai Belanda dan Sekutu). Maka, membaca Kedaulatan Rakjat di tahun-tahun itu (termasuk tahun 1947 ketika ada berita-berita tentang ‘Aisyiyah di atas) merupakan cara paling mutakhir bagi penduduk ibukota RI (Yogyakarta) dan bagi jurnalis asing di kota ini untuk mengetahui perkembangan terbaru di jantung Republik.
Kehadiran ‘Aisyiyah dalam laporan-laporan Kedaulatan Rakjat tahun 1947 jelas ada kaitannya dengan fakta bahwa baik Muhammadiyah maupun ‘Aisyiyah adalah organisasi yang lahir dan besar di Yogyakarta jauh sebelum Republik Indonesia maupun Kedaulatan Rakjat eksis. Kedua organisasi ini juga sangat aktif di masa kolonial Belanda. Aktivitas mereka, terutama dalam memajukan praktik beragama dan pendidikan bagi warga bumiputera di Yogyakarta, telah meninggalkan kesan yang dalam di memori warga Yogyakarta, termasuk di kalangan jurnalis di kota ini. Maka, tak mengherankan bila di masa kemerdekaan, Kedaulatan Rakjat memberi ruang untuk berita-berita yang berkaitan dengan ‘Aisyiyah. Dengan kata lain, Kedaulatan Rakjat pada era itu memandang bahwa ‘Aisyiyah (dan Muhammadiyah) adalah ikon transformasi keagamaan, pendidikan, dan sosial khas Yogyakarta yang tak bisa diabaikan.
Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan
Sumber: Majalah SM Edisi 8 Tahun 2019