Oleh Abduh Hisyam
Di Sruweng, tahun 90-an ada sebuah kesebelasan sepakbola. PSHW, namanya. Singkatan dari Persatuan Sepakbola Hizbul Wathan. Ini adalah organ dari Persyarikatan Muhammadiyah untuk membina para pemuda yang bergerak di dunia olahraga, terutama sepakbola. Di Kebumen, beberapa aktifis pimpinan Pemuda Muhammadiyah mendirikan klub sepakbola Hizbul Wathan. Di antaranya Pemuda Muhammadiyah Ayah, dengan tokohnya H Lasimin, H Sahil dan Mukiman (alm.). Di Petanahan juga ada mas Amin Sugito dan Chamelan (bapak mertua Tenggar Wardhana-Ketua PCM Sruweng), tokoh Pemuda Muhammadiyah yang mengkoordinir PSHW. Tokoh PSHW Sruweng adalah H. Haryono.
H. Haryono adalah seorang pengusaha genteng bermerek HM Sokka, sebuah brand milik keluarga besar H.Moeflih, tokoh Muhammadiyah Sruweng. Orangnya tidak banyak bicara. Ia tidak sefasih saudara-saudaranya (H Soenaryo dan H Mashudi) dalam berbicara. Kinerjanya tidak ia wujudkan dalam kata-kata melainkan dalam kerja dan karya. Saat masih muda wajahnya sekilas mirip Prabowo Subianto. Ia bersama saudara-saudaranya menghimpun anak-anak muda penggemar sepakbola dalam klub Hizbul Wathan. Ia datangkan pelatih sepakbola, menyewa lapangan untuk berlatih, mengkoordinasikan pengadaan kostum termasuk sepatu dan yang paling penting: bola.
Tiap kali klub bertandang ke kota kabupaten atau luar kota, H Haryono menggalang bantuan dari saudara-sauranya. Ada yang meminjamkan truk lengkap dengan bahan bakar dan supirnya untuk membawa peralatan, dan beberapa mobil untuk mengangkut para pemain dan crew. Tiap kali klub berangkat ke luar kota, tampak iring-iringan mobil dengan bendera PSHW berkibar-kibar. Saya beberapa kali ikut dalam rombongan klub, mengikuti turnamen resmi maupun pertandingan persahabatan.
Jika klub mengikuti turnamen atau bertanding dengan klub lain, H. Haryono menghubungi klub-klub di Kebumen dan kota-kota sekitar untuk meminjamkan pemain bintang mereka guna memperkuat PSHW. Mendatangkan pemain dari luarkota tentu membutuhkan banyakbiaya, mulai dari penginapan, makan, transportasi, dan honor.
Mengelola klub sepakbola semi professional sungguh rumit. Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan. Tidak jarang anggota klub yang membawa bola dan sepatu ke rumah dan tidak kembali lagi. Saat ditanya, yang bersangkutan mangkir. Tidak sedikit yang menjual sepatu dan bola milik klub, karena acapkali para pemain itu datang dari keluarga miskin. Menghadapi hal itu biasanya H Haryono hanya geleng kepala. Ia dapat bersabar. Namun ia tidak akan menoleransi jika pemain menjual barang milik klub untuk membeli minuman keras. Ia mesti memberikan hukuman berat, walau yang bersangkutan pemain berbakat.
Walau klub PSHW berada di bawah naungan Muhammadiyah, tidak semua pemainnya datang dari kader atau keluarga Muhammadiyah. Banyak di antara mereka yang tidak peduli, bahkan tidak tahu Muhammadiyah itu apa. Bagi mereka, asal dapat bermain dengan baik dan mendaptkan penghargaan pantas, itu sudah cukup. H Haryono tidak pernah terang-terangan berbicara tentang Muhammadiyah kepada para pemain PSHW. Ia cukup bijak. Ia faham, perbedaan organisasi di sebuah masyarakat rural di Sruweng adalah persaoalan peka. Ia hanya berpesan kepada para pemainnya agar salat lebih dahulu sebelum bermain bola, dan jangan berkelahi. Itu saja. Ia memang tidak lancar berbicara apalagi harus berdalil kitab suci atau hadits nabi.
Ia minta para pemainnya untuk salat berjamaah dzuhur dijamak dengan ashar tiap kali klub hendak bertanding. Ia minta salah seorang pemain menjadi imam bagi rekan-rekannya. Banyak anak muda yang tadinya tidak pernah salat akhirnya tertarik belajar salat. Padahal pemain tersebut datang dari keluarga abangan yang jauh dari praktek kesalehan agama. Yang mengharukan, anak yang baru belajar salat ini acapkali mengingatkan rekan-rekannya untuk salat. Tidak sedikit pula yang baru tahu, bahwa ada praktek menggabungkan dua salat menjadi satu (jamak) dan juga memendekkan salat (qashar) dalam perjalanan atau dalam keadaan mendesak.
Anak-anak muda itu senang dengan hal-hal baru di bidang agama yang baru mereka ketahui setelah bergabung di PSHW. H Haryono juga terkejut saat para pemainnya bertanya kepadanya mengapa di Kebumen tidak ada turnamen sepakbola dalam rangka muktamar Muhammadiyah. Anak-anak muda itu ternyata tahu bahwa PSHW adalah salah satu ortom Muhammadiyah. H Haryono cukup terkesan, dan pernah berbisik kepada saya,”..padahal saya tidak pernah bicara sepatah pun tentang Muhammadiyah kepada mereka.” Saya maklum. Anak-anak muda itu, baik dari bacaan atau pergaulan tentu mendapatkan informasi tentang PSHW di lain tempat yang semuanya terang-terangan membawa bendera Muhammadiyah.
Saya pernah diundang ke pertemuan PSHW di rumah H Haryono dan diminta untuk menyampaikan pengajian di hadapan para pemain PSHW. Hadir pula dalam pertemuan tersbut ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Sruweng Drs. Mudzakir (alm.).
Saya sangat terkesan dengan anak-anak muda yang dulu bergabung di PSHW. Ada nama-nama seperti Untung Sunarto (penjaga gawang). Kini ia seorang haji pengusaha kuliner dan pernah menjadi anggota DPRD Kebumen. Ada Yogi (almarhum) putra kepala desa Jabres. Ada mas Agus dan adik-adiknya, putra tokoh Nahdhatul Ulama di Logede. Kabarnya kini mas Agus menjadi pejabat Pemkab di Cilacap. Salah seorang adiknya Barir Maulana adalah penyuluh agama di Kemenag Kebumen. Ada pula Banani, kini pengusaha.
Itu semua adalah masa lalu. Kini sudah tidak ada lagi PSHW di Sruweng. H Haryono sudah lama tidak lagi berurusan dengan PSHW, karena usia yang sudah lanjut. Para tokoh yang lebih muda tidak ada lagi yang mau meneruskan menekuni PSHW di Sruweng. Repot dan berbiaya besar. Namun itu adalah sarana dakwah yang efektif bagi generasi muda. Mereka dilatih menjadi pribadi mandiri, terorganisasi, dapat bekerjasama, dan sportif.
Ya, itu masa lalu… Pepatah Arab mengatakan,”Tak kan kembali hari-hari yang telah lalu.”
Sruweng, 12/02/2021