Kemewahan, Kesombongan, Kerakusan

Tadabbur Surat An-Nisa Ayat 9 Di Penjara

Tadabbur Surat An-Nisa Ayat 9 Di Penjara

Kemewahan, Kesombongan, Kerakusan

Oleh: Muhammad Ridha Basri

Di hari Jumat, 12 Februari 2021, Buya Syafii Maarif mengirim sebuah pesan Whatsapp, “Kata Ibnu Khaldun, ada tiga K sebagai indikator keruntuhan sebuah rezim atau peradaban: Kemewahan, Kesombongan, Kerakusan.” Petuah ini dikirim di hari raya Imlek 2572, ketika orang-orang ramai mengucapkan Gong Xi Fa Cai, yang berisi harapan supaya diberi kemakmuran atau kekayaan.

Pesan Buya Syafii ini cukup relevan di tengah situasi krisis yang melanda dunia akibat terpaan badai pandemi Covid-19. Pandemi telah berdampak pada kelesuan ekonomi. Virus ini menantang kepongahan manusia karena penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan capaian pengetahuannya, kata Yuval Noah Harari, manusia telah meraih kemajuan yang luar biasa dalam 500 tahun terakhir. Namun ternyata manusia kewalahan melawan virus sebagai makhluk yang menduduki tangga evolusi terendah.

Karena terpaan Covid-19, banyak orang tiba-tiba menjadi miskin papa. Tetapi sesungguhnya, dunia tidak sedang kekurangan sandang, pangan, dan sumber daya lainnya untuk mencukupi semua kebutuhan penghuni makhluk di bumi ini. Hanya saja, seringkali kekayaan berhimpun di tangan segelintir orang. Di saat ada orang yang kesusahan mendapatkan jatah makannya, ada orang yang menikmati nilai sangat berlebih.

Thorstein Veblen dalam The Theory of the Leisure Class mengemukakan istilah conspicuous consumption dan conspicuous leisure atau kadang disebut dengan konsumsi pamer. Dimaksudkan sebagai suatu fenomena dalam mengonsumsi sesuatu yang tidak semata-mata didorong oleh suatu kegunaan praktis, tetapi karena dorongan ingin memperoleh nilai atau pandangan orang lain tentang dirinya dengan mengkonsumsi simbol-simbol tertentu. Dorongan ini membuat orang rela membeli sesuatu yang bukan kebutuhannya.

Di Indonesia misalnya, ada pimpinan tinggi negara yang membeli dan memelihara hewan langka tertentu dengan harga fantastis. Di Arab Saudi pada 2015, Mohammad bin Salman membeli rumah termahal di dunia, Chateau Louis XIV. Rumah di Prancis seluas 4.654 meter persegi itu menyerupai istana Raja Prancis abad ke-17. Di 2016, pangeran MBS membeli kapal pesiar mewah seharga Rp 7,2 triliun. Pada 2017, putra mahkota membeli lukisan “Salvator Mundi” (Juru Selamat Dunia) karya Leonardo Da Vinci seharga Rp 6,4 triliun, yang menjadi lukisan termahal di dunia.

Disparitas menjadi masalah kita semua. Tidak ada jalan pintas untuk mengatasi ketimpangan. Tidak bisa membagi kesejahteraan jika hanya menunggu mekanisme pasar atau revolusi besar. Harapan seharusnya tertuju kepada negara untuk melakukan intervensi dan keberpihakan kepada warganya yang mustadl’afin. Namun, pejabat negara banyak yang memanfaatkan jabatan untuk menambah pundi-pundi kekayaan. Jabatan diperebutkan untuk kepentingan pribadi. Bantuan sosial karikatif yang dilanggengkan dalam jangka panjang tidak banyak merubah indeks Gini dan rawan dikorupsi.

Di masa sulit pandemi ini, pemimpin perlu mengerahkan perhatian lebih kepada mereka yang lemah dan tak punya apa-apa. Keberpihakan pada mereka yang lemah harus menjadi prioritas. Surat Abasa, menurut Thabathaba’i, secara khusus memperingatkan tentang sikap pengabaian pada orang lemah, dalam kasus ini yaitu Abdullah bin Ummi Maktum yang tuna netra. Surat Abasa mengingatkan bahwa perhatian kepada orang kaya yang bermewah-mewah jangan sampai mengabaikan orang lemah secara sosial-ekonomi.

Pandemi seharusnya menyadarkan manusia supaya menghentikan hasrat pleonaktik, tamak berlebih untuk mengejar keuntungan diri secara tak terbatas. Para pejabat perlu menyadari bahwa kepemimpinan semestinya dimanfaatkan untuk mencari kebaikan bersama dan melayani kepentingan orang banyak. Prinsip ini berbeda dengan hukum rimba yang penduduknya saling memangsa demi hasrat rendah kekuasaan.

Sepanjang hidupnya, manusia senantiasa diperdaya oleh berbagai keinginan untuk mencari kebahagiaan. Semua orang menginginkan kebaikan bagi dirinya. Namun keinginan demi keinginan yang terus bereproduksi itu ternyata tidak pernah dapat terpuaskan. Hinduisme menyebutnya dengan istilah samsara, sebagai suatu kehidupan yang terus berputar tanpa ada akhir kepuasan. Buddhisme menyebutnya dengan duhkha.

Al-Qur’an mengatakan, “Kamu telah diperlalaikan oleh bermegah-megahan,” (At-Takasur: 1). Karena keinginan bermegah-megahan, manusia teralihkan dari tujuan hidup yang sejati. Kata Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, “Kamu tidak perhatikan lagi kesucian jiwa, kecerdasan akal memikirkan hari depan. Telah lengah kamu daripada memperhatikan hidupmu yang akan mati dan kamu telah lupa perhubunganmu dengan Tuhan Pencipta seluruh alam dan pencipta dirimu sendiri.” Kemewahan yang diperoleh dengan cara yang tidak patut dan tidak dipergunakan dengan patut, akan menghasilkan kebahagiaan semu, ibarat meminum air laut yang justru menambah haus.

Contoh ini dapat dilihat dalam kisah Fir’aun yang hidup berkelimpahan, megah, digdaya, zalim, dan sombong. Dalam At-Tahrim ayat 11 diceritakan bahwa istrinya justru memohon supaya terbebas dari istana Fir’aun yang penuh kemewahan dan sama sekali tidak menentramkan hatinya. Istri Fir’aun tidak dapat menikmati kemewahan palsu. Buya Hamka menarasikan, “Semuanya itu tidak ada yang menarik hatinya. Dia merasakan itu semuanya hanyalah kemegahan yang rapuh, kemewahan yang ditegakkan di atas bahu rakyat yang miskin-miskin.“

Kemewahan telah melahirkan keserakahan dan kesombongan. Dalam Al-Mulk ayat 21, Al-Qur’an mengatakan, “Atau siapakah dia yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya? Sebenarnya mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri?” Orang yang terlalu sibuk dengan kemewahan telah melalaikannya dari mempertimbangkan asal usul hartanya. Bahkan ia tak peduli jika itu didapat dengan membuat banyak orang kelaparan.

QS al-Qashash ayat 76-84 mengisahkan tentang Qarun yang merasa sombong karena kekayaan berlimpah. Ketika ada yang menegumya supaya hidup berbuat baik, Qarun dengan pongahnya mengatakan bahwa kekayaannya didapat semata karena kepandaian dan ilmunya sendiri. Qarun kerap mempertontonkan kekayaan supaya banyak orang terpesona dan kagum. Meskipun pada akhirnya Qarun ditenggelamkan ke perut bumi, tetapi perilakunya masih terus diwariskan.

Semua orang menginginkan apa yang menurutnya baik bagi dirinya, namun semestinya kebaikan itu dijalankan atas dasar kebebasan rasional dan suara hati nurani. Agama memberi penekanan tentang nilai-nilai luhur yang harus ditempuh manusia untuk mencapai kemuliaan. Agama menyatakan bahwa hidup manusia sebenarnya terpenjara oleh keinginan nafsu. Supaya manusia dapat kembali kepada Tuhan, tempat asalnya, maka manusia harus melepas keingingan-keinginan rendah yang membelenggunya. Dalam tasawuf, jalan spiritual para salik untuk pembebasan itu ditempuh dengan beberapa maqamat. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menyebut delapan stasiun: taubat, sabar, al-faqr, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifah, dan ridha.

Jalan tasawuf bukan berarti manusia meninggalkan dunia sama sekali, namun bagaimana ia menata batinnya, sehingga tercipta suatu relasi spiritual yang harmonis dengan Tuhan. Di saat yang sama, ia juga menata relasi yang baik dengan sesama manusia dan makhluk Tuhan lainnya. Ia menjalankan hidup sesuai dengan hak dan peranannya secara proporsional, tidak memperturutkan kerakusannya yang tidak pernah ada batasnya. Jalan tasawuf juga bukan berarti sikap eskapisme dari kekalahan di dunia, sebagaimana bait syair Rumi, “Siapapun yang mengaku dapat berjalan di langit, mengapa harus sulit baginya melangkah di bumi.”

Kemewahan, kesombongan, dan kerakusan sedapat mungkin harus disapih dengan kejujuran, ketulusan, dan keikhlasan. Ini bukan hal yang ringan dan tidak mudah dilakukan. Kejujuran meniscayakan supaya siapa pun nyaman dengan dirinya yang apa adanya, tidak perlu berpura-pura atau bersusah payah meniru-niru kehidupan atau gaya hidup orang lain.

Exit mobile version