Jika Manusia Hidup Tanpa Literasi

Jika Manusia Hidup Tanpa Literasi

Oleh: Preli Yulianto

Literasi berasal kata bahasa Inggris literacy dan secara etimologis literacy berasal dari bahasa Latin literatus (orang yang belajar). Belajar dari ilmu padi yang secara filosofis bahwa padi apabila semakin berisi semakin merunduk yaitu rendah hati, dan tidak sombong seperti padi yang tidak berisi.

Salah satu prinsip literasi adalah kecakapan hidup (life skills) sehingga orang yang ber-literasi seharusnya beradap karena ilmu yang jadi acuan. Literasi pada hakekatnya keterampilan dalam membaca dan menulis guna memecahkan permasalahan dinamika kehidupan. Program Gerakan Literasi Sekolah Kemdikbud mengartkan kemampuan berliterasi sebagai adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai kegiatan, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan atau berbicara.

Membaca sebagai inti dari pendidikan seperti halnya yang diutarkan Dr. Roger Farr (1984) menyebut bahwa “reading is the heart of education”. Menulis lah sebanyak mungkin, se-kreatif mungkin, seindah mungkin, maka tinta emas yang akan mencatat dan tulisan itu abadi dikenang.

Literasi bagaikan lentera dalam kegelapan yang akan menyapa dalam gelap gulita dangkalnya pengetahuan. Sekilas kita melihat fenomena mahasiswa yang hanya mengandalkan pemahaman diri tanpa mengulik cakrawala pengetahuan.

Sering ketika melihat mahasiswa hanya saat membutuhkan buku, jurnal ataupun bahan bacaan lain lantaran dihadapkan dengan terpojoknya diri, terdesak butuh akan refrensi tersebut. Padahal, buku merupakan lentera dunia, sudah menjadi kebutuhan yang pokok, sebagai sereal yang perlu dikonsumsi segerombolan aktivis utamanya. Dan yang perlu ditegaskan literatur itu kebutuhan, bukan saat butuh saja baru mencari-cari.

Tingkat literasi kita juga hanya berada pada rangking 64 dari 65 negara yang disurvei. Satu fakta lagi yang miris tingkat membaca siswa Indonesia hanya menempat urutan 57 dari 65 negara (Republika, 12 September 2015). Bahkan, UNESCO 2011 mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Berarti, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca.

Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan dengan penduduk di negara ASEAN lainnya. Hal itulah, menjadi PR besar bagi kita semua untuk senantiasa bersatu padu, karena manusia memang butuh literasi dan literasi adalah sebuah kebutuhan.

Literasi sebagai Refleksi Berpikir

Literasi memicu berfikir, mengugah diri untuk bisa menelaah informasi yang super banyak alis banjir informasi dari berbagai sisi. Informasi yang beragam menjadikan pikiran manusia mampu mengidentifikasi informasi yang benar dari literasi yang dimiliki, sehingga informasi shahih yang terekam bisa dijadikan acuan atau pembanding dalam memutuskan problematika dalam dinamika yang ada.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT sempurna dari makhluk yang lain, binatang hanya dibekali dengan insting, sedangkan manusia dianugrahi pikiran, perasaan, dan bentuk fisik yang sempurna. Bahkan jika manusia dibandingkan dengan tumbuhan, malaikat, dan jin sekalipun manusia memiliki keistimewaan tersendiri. Sebagaimana firman Allah SWT. yakni: “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”. (Q.S Al Isra’: 70).

Maka, keistimewaan manusia dianugrahkan pikiran merupakan sebuah aset yang berharga sehingga dengan adanya kemampuan membaca, maupun menulis secara nyata dapat memicu pemikiran-pemikiran yang memicu kesadaran diri hingga kesadaran kolektif (kosensus). Dari kesadaran itu, memicu refleksi guna tatanan kehidupan yang lebih baik hingga tercapai transformasi sosial.

Tranformasi sosial dapat terwujud adanya gerakan membaca kata dan membaca dunia baik media digital maupun refrensi buku agar pikiran terefleksikan melahirkan gagasan dalil yang bisa diimplementasikan untuk kemashalatan umat. Meminjam pemikiran Paulo Freire yang senada tentang perlunya revitalisasi pembelajaran literasi dengan menggunakan prinsip read the word and read the world.

Ada kisah menarik dari tokoh fenomenal yang mengaplikasikan literasi melalui membaca buku. Kala itu, buku sebagai pegangan/jimat (guyonan) oleh Mohammad Hatta karena dengan buku (ilmu) bisa kuat dan tegar menjalani tekanan pemerintah kolonial Hinda Belanda pada masa kolonialis pada masa penjajahan. Dengan literasi itu, mampu merefleksikan pikiran dan menghasilkan ide-ide berlian yang bisa menjadi senjata ampuh dalam perang intelektual dalam diplomasi upaya terbebasan dari penjajah.

Hingga Bung Hatta pernah berkata, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku karena, dengan buku, aku bebas”. Kejadian diasingkan di Boven Digoel, pedalaman Papua, tahun 1934 Bung Hatta pernah menulis buku Alam Pikiran Yunani. Kemudian, setelah bangsa ini merdeka Beliau menikah dan buku tersebut menjadi mas kawin untuk istrinya yang bernama Rachmi Rahim. Hal itu, menjadi bukti manjurnya literasi sebagai pemicu pikiran menghasilkan suatu yang istimewa, dan unik.

Literasi Sebagai Media Memberdayakan Pikiran

Pikiran seperti mesin pesawat bisa mengalami korosi apabila dalam kurun waktu yang relatife lama tidak diberdayakan. Diberdayakan yang dimaksud, ketika pikiran tidak diberi asupan sereal berupa literasi agar otak mampu berpikir dan berkerja secara optimal mendapatkan informasi shahih, cerdas berpikir bukan seperti manusia satu dimensi yang monoton seperti yang pernah diungkapkan oleh Hebert Markus. Manusia semacam itu, memandang hanya satu sisi dalam melakukan kegiatan berulang tanpa manfaat bagi banyak manusia.

Literasi memberdayakan pikiran sehingga bisa menghasilkan pemikiran sehat. Membaca sebagai salah satu komponen literasi bisa memberdayakan pikiran hingga terjauh dari penyakit pikun, seperti senanda yang diungkapkan I Made Ngurah Suragangga (2017), yang menjelaskan baru-baru ini di Eropa mengadakan riset yang hasilnya menyatakan membaca dapat mengurangi dua kali resiko terserang penyakit alzheimer (pikun) yang artinya budaya literasi memang sangat penting.

Menilik dari perspektif Al-Quran yang tertuang dalam surat Al-Alaq 1-5 sebagai wahyu pertama, sebagai surat pertama dalam Al-Quran yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. dengan perintah manusia di bumi untuk membaca.

Dalam Surat Al-Alaq 1-5 terkandung perintah membaca. Ketika itu Nabi Muhammad SAW. di Gua Hira dibimbing malaikat Jibril untuk mengungkapkan kata iqro’ berulang sampai tiga kali. Iqro’ yang bermakna membaca, yang dapat dimaknakan edukatif, belajar, memulai dengan ilmu. Secara luas, manusia di muka bumi dituntut untuk membaca, selalu belajar dalam artian membuka wawasan, membaca situasi kondisi lingkungan, membuka cakrawala berpikir hingga membuka lentera dunia dengan membaca itu.

Menurut Graves (dalam jurnal An-Nida (2015) menjelaskan manfaat menulis yakni: (1) menulis mengasah kecerdasan, (2) menulis mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas, (3) menulis menumbuhkan keberanian, dan (4) menulis mendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi.

Menulis menuai manfaat bagi penulis maupun yang membacanya karena dapat mengasah kecerdasan, menjadi pribadi kreatif, dan mampu mentransfer maupun menerima informasi dengan baik. Menulis merupakan salah satu kemampuan nyata literasi sebagai kemampuan hidup dalam menghadapi penyelesaian masalah maka, sifatnya penting, ber-esensi dan membekas.

Literasi sebagai Catatan Tinta Emas

Literasi merupakan monumen yang penting untuk terus ditumbuh kembangkan, diperlihara sehingga dapat menjadi acuan generasi ke generasi. Budaya literasi sangat penting, lantaran jika generasi muda antipati, maupun alergi terhadap literasi jangan heran bila lebih kenal dengan Atta Halilintar, Ria Ricis, Raffi Ahmad, Ariel Noah, Arya Saloka, Amanda Manopo, dan lain sebagainya dibandingkan dengan tokoh Ir. Soekarno, HOS. Cokroaminoto, K.H. Agus Salim, Buya Hamka, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, Jenderal Sudirman, Syafruddin Prawiranegara, maupun B.J. Habibie bahkan buta sejarah hingga tidak hafal lagu Indonesia Raya, dan Pancasila.

Meminjam gagasan Prof. Dr. Tarwotjo M.Sc sebagaimana dikutip Asul Wiyanto dalam pengantar bukunya yang berjudul “Terampil Menulis Paragraf”, produk dari aktivitas Literasi berupa tulisan, adalah sebuah warisan intelektual yang tidak akan kita temukan di zaman prasejarah. Dengan kata lain, apabila tidak ada tulisan, sama saja kita berada di zaman prasejarah. Tulisan merupakan bentuk rekaman sejarah yang dapat diwariskan dari generasi ke generasi, bahkan hingga berabad-abad lamanya. Tulisan merupakan bukti dari jejak rekam sejarah peradaban manusia yang berupa peristiwa, pengalaman, pengetahuan, pemikiran, dan ilmu pengetahuan.

Bung Karno pernah berkata: “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang”. Pidato terahir Bung Karno JASMERAH! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Sejarah bagaian dari pada literasi, tinta emas itu akan terus menulis hingga dikabarkan dari generasi ke generasi. Hal tersebut, akan lestari apabila literasi itu sebagai suatu yang penting dan sadar akan manfaatnya dalam kehidupan.

Literasi mengajarkan arti pentingnya sejarah sebagai kaca benggala untuk belajar dari pengalaman maupun masa lampau yang memberikan pesan penting bagi hari ini, esok, dan masa depan. Sampai pembahasan sejauh ini, esensi “Jika Manusia Hidup Tanpa Literasi” apa yang terjadi pada kehidupan manusia, mungkin jawaban itu bisa tertangkup dalam tulisan ini.

Preli Yulianto, Mantan Ketua Umum PK IMM FP UM-Palembang Periode 2018-2019

Exit mobile version