Jalan Panjang Pengelolaan Limbah Medis saat Pandemi Covid-19, Serta Alternatif Solusi
Oleh: Ferry Fadzlul Rahman
Sistem perawatan kesehatan global terbebani setelah penyebaran COVID-19 terus berlangsung hingga saat ini. Sejalan dengan berlanjutnya krisis kesehatan masyarakat, menimbulkan dampak baru dari penerapan protokol kesehatan dan pengunaan APD untuk melindungi dari paparan virus covid-19, meningkatkan limbah medis. Peningkatan limbah infeksius tidak cuma berasal dari rumah sakit, tetapi juga limbah medis seperti masker, sarung tangan dan APD yang berasal dari rumah tangga, sehingga diperlukan solusi yang bijak dalam mengelola limbah tersebut.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa virus dapat menyebar hampir setengah dari area klinis hanya dalam sepuluh jam. Delapan puluh enam persen orang di semua area klinis dinyatakan positif dalam tiga hari. Ruangan yang paling dekat dengan tempat infeksi adalah yang paling terkontaminasi. Selain itu, sebuah artikel yang dilakukan oleh 239 ilmuwan di 32 negara menunjukkan bahwa terdapat potensi penyebaran COVID-19 di udara. Coronavirus dapat hidup di udara dan di berbagai permukaan antara beberapa jam dan beberapa hari. Sehingga limbah dari rumah sakit penderita COVID-19 memiliki kemungkinan besar terkontaminasi.
Pada saat berlangsungnya pandemi, terdapat tantangan baru dimana dibukanya pusat karantina baru oleh pemerintah untuk mengisolasi penderita covid-19. Peningkatan pusat karantina kesehatan berdampak dengan peningkatan limbah medis yang dihasilkan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), limbah infeksius didefinisikan sebagai limbah yang terkontaminasi darah dan cairan tubuh lainnya, kultur dan stok agen infeksius dari pekerjaan laboratorium, atau limbah dari pasien yang terinfeksi. Tetapi pedoman sementara WHO menyarankan semua limbah perawatan kesehatan yang dihasilkan selama perawatan pasien, termasuk yang dikonfirmasi dengan infeksi COVID-19, dianggap sebagai limbah medis yang menular.
Pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup mencatat terjadi peningkatan hingga 30% limbah infeksius di masa pandemi, yaitu sekitar 294 ton per hari. Limbah infeksius biasanya berasal dari :
- Alat pelindung diri dari petugas kesehatan.
- Limbah umum dari rumah sakit penderita covid-19 seperti makanan dan kotak makanan yang di buang pasien .
- Limbah umum pasien terduga covid-9 di area karantina.
- Botol infus dan barang habis pakai yang telah digunakan untuk pasien covid-19.
Peningkatan secara drastis limbah medis dikarenakan pada keadaan normal pasien tidak menggunakan masker wajah dan petugas kesehatan tidak menggunakan pakaian pelindung, namun semenjak pandemi semua orang yang berada di area karantina wajib mengunakan masker dan petugas kesehatan diharuskan mengenakan pakaian pelindung (APD) setiap hari.
Penanganan limbah infeksius atau B3 medis khusus Covid-19, diatur khusus dalam Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 Tahun 2020. Aturan ini mengenai Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19). Secara garis besar, regulasi ini mengatur pengelolaan limbah infeksius yang berasal dari fasyankes untuk penyimpanan dalam kemasan tertutup maksimal 2 hari sejak dihasilkan; mengangkut dan/atau memusnahkan pada pengolahan LB3 menggunakan fasilitas insinerator dengan suhu pembakaran minimal 800°C atau otoklaf yang dilengkapi dengan pencacah.
Terakhir, residu hasil pembakaran atau cacahan hasil otoklaf dikemas dan dilekati simbol “Beracun” dan label LB3 yang selanjutnya disimpan di tempat penyimpanan sementara, LB3 untuk selanjutnya diserahkan pada pengelola LB3.
Aturan lain terkait limbah B3 juga diatur dalam Undang Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Badan usaha yang sengaja membuang limbah B3 ke media lingkungan hidup tanpa izin akan diberikan sanksi peringatan hingga dibekukan izin usahanya.
Sanksi administrasi ini tidak membebaskan penanggung jawab usaha dari jeratan pidana. Bagi mereka yang sengaja membuang limbah B3 hingga mencelakai orang lain, sanksinya adalah penjara maksimal 15 tahun dan denda Rp15 miliar.
Keterbatasaan pengelolaan fasilitas limbah medis saat pandemi menjadi tantangan tersendiri, pengelolaan limbah medis masih terpusat di daerah jawa. Karena membangun banyak fasilitas pengolahan limbah medis cukup mahal dan sulit diterapkan, terutama di negara berkembang.
Alternatif yang paling baik saat pandemic covid ini adalah pengunaan metode penguapan atau autoklaf dengan sistem daur ulang. Metode berfungsi sebagai pengganti metode pembakaran untuk mencegah lepasan persistent organic pollutants (POPs) atau senyawa organik yang bersifat racun dan bertahan lama di lingkungan. Metode autoklaf memperlakukan limbah medis menjadi steril dengan cara menggunakan uap panas.
Di tengah penambahan limbah B3 medis di masa pandemi Covid-19, pemerintah diharap menerapkan konsep pengolahan limbah medis berbasis wilayah. Artinya, pemerintah daerah menyiapkan tempat khusus untuk pembuangan limbah B3 medis di wilayahnya masing-masing. Selain itu perlunya Indonesia merujuk Amerika dalam mencari jalan dari krisis pasokan APD sembari mengurangi masalah limbah medis dengan menggunakan metode mensterilkan APD petugas kesehatan menggunakan autoklaf yang cukup besar agar dapat di pergunakan kembali.
Ferry Fadzlul Rahman, Dosen Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur