Covid-19 Dunia Arab

Covid-19 Dunia Arab

Oleh Hajriyanto Y. Thohari

Covid-19 yang semula disebut epidemi (penularan dan penyebarannya sangat cepat dan mudah, secepat dan semudah terjadinya kontak fisik antarmanusia) kini telah menjadi pandemi (melanda seluruh dunia tanpa kecuali). Nyaris tak satu pun negara yang terbebas dari virus ini. Amerika Serikat, satu-satunya negara adidaya di dunia yang paling jumawa bukan hanya dilanda Covid-19, bahkan bisa menjadi negara yang paling parah di dunia.

Oleh karena semula menganggap pandemi ini dengan enteng, bahkan menyangkal kedatangannya, sampai kolumnis Paul Krugman di The New York Times, 30 Maret 2020, menyebut AS sebagai “This land of denial and death” (tanah penyangkalan dan kematian ini). Krugman bahkan mengatakan Covid-19 merupakan sisi gelap keistimewaan Amerika (Covid-19 and and the dark side of American exceptionalisme). Pasalnya, karena buruknya pemerintah federal dalam penanganan pandemi ini di AS diprediksikan korban masih akan terus berlipatganda.

Begitiu tidak pandang bulunya keganasan Covid-19 ini sampai Perdana Menteri Inggris, salah satu negara terbesar di Eropa, Boris Johnson, positif terpapar (The New York Times, April 1, 2020). Demikian juga degan Fernando Simon, Direktur Coordination Center for Health Alert, Spanyol, terkena dan terpapar juga. Akhir Maret 2020 di Spanyol, negara terbesar kedua di Eropa, jumlah korban sudah mencapai 94.417 kasus, 8.269 meninggal, dan 19.259 sembuh. Ini berarti mengalami kenaikan 11% dalam satu hari. Demikian juga Perancis, negara terbesar kedua di Eropa, jumlah korban juga melompat tinggi. Banyak yang memprediksi ketiga negara itu akan menyusul kemasifan korban Covid-19 di Italia.

Baru satu bulan yang lalu tiga besar dunia masih dipegang oleh China, Italia dan Iran. Tapi ada prediksi bahwa dalam waktu kurang dari satu bulan ke depan, tiga besar lama tersebut akan digeser oleh tiga besar baru, di mana salah satunya adalah Amerika.

Di dunia Arab

Pernyataan yang terlalu percaya diri yang cenderung kepedean, apalagi yang terkesan konservatif, tidak terdengar diucapkan oleh para pemimpin pemerintahan Arab, apalagi para ulama di Mekkah dan Madinah. Tidak seperti pemimpin di sebuah negara yang berani membuat statemen Covid-19 tidak akan masuk ke negaranya karena doa qunut dan banyak wali atau kyai, di dua kota suci Mekkah dan Madinah tidak ada ulama atau sheikh yang membuat pernyataan yang terlalu pede seperti itu.

Kerajaan Arab Saudi juga dengan cepat segera mengambil langkah yang sangat rasional dan realistis: menutup Masjidil Haram dan ibadah umroh. Sebagai tempat bertemunya ratusan ribu, bahkan jutaan, umat manusia dari seluruh dunia, bisa dibayangkan seandainya langkah drastik dan mengagetkan dunia Islam itu tidak segera diambil oleh penjaga dua kota suci (Khadimul al-haramain) itu. Tidak mustahil Saudi Arabia telah menjadi salah satu dari tiga besar dunia yang terjangkiti pandemi ini.

Nasib yang sangat menyedihkan dialami oleh Republik Islam Iran. Sebagai pusat Islam madzhab Syi’ah yang dikenal memiliki serangkaian ritual dan seremonial yang mengundang kehadiran peziarah dan masa dalam jumlah masif, Iran menjadi salah satu episenter Covid-19 di luar RRT dan Italia. Pertanggal 31 Maret 2020 kemarin saja jumlah korban yang terpapar Covid-19 mencapai 44.606 orang, di mana 2.898 meninggal dan 14.656 berhasil disembuhkan. Kalau mencermati bahwa pada satu hari tanggal 31 Maret 2020 saja ada 3.111 kasus baru (141 meninggal, dan 745 pasien sembuh), bisa diperkirakan berapa besar korban pada hari ini melalui deret hitung atau deret ukur.

Presiden Hasan Rouhani telah meminta dukungan anggaran dari Pemimpin Agung Iran Ayatollah Ali Khamanei berupa pengunaan dana National Development Fund of Iran (NDFI) sebesar USD. 1 M untuk menangani pandemi ini. Presiden mengimbau seluruh warga untuk melakukan karantina mandiri termasuk tidak merayakan Nature’s Day yang jatuh pada tgl 1 April 2020 kemarin. Begitu menyedihkannya apa yang terjadi di Iran sampai tanggal 31 Maret 2020 ditetapkan sebagai hari berkabung nasional dan bendera nasional Iran dikibarkan setengah tiang.

Apa yang terjadi di Iran pastlah segera merembet ke Irak. Dua negara ini di samping berbatasan dan berdekatan juga memiliki kesamaan struktur masyarakat dan kultur keagamaan. Di Irak Selatan terdapat situs-situs yang disucikan oleh umat Islam Syiah, seperti Karbala, Najaf, Kufah, dan sebagainya. Kota-kota ini ini bukan hanya disucikan melainkan juga menjadi pusat ziarah kaum Syiah dari seluruh dunia terutama dari Iran dan Lebanon.

Tak heran jika jumlah kasus Covid-19 di Irak dan Lebanon terus meningkat tajam. Jumlah penderita terpapar Covid-19 Irak sampai 2 April 2020 mencapai 694 kasus, meninggal 50 orang. Ini berarti angka kematian di Irak tertinggi di Timur Tengah setelah Iran. Seperti halnya Lebanon, Irak juga negara yang perekonomiannya sedang terpuruk, bahkan baru reda dari gelombang demonstrasi yang melumpuhkan ekonomi, sehingga sampai hari ini Irak belum memiliki Perdana Menteri, setelah mundurnya PM Adil Abdul Mahdi 29 November 2019 yang lalu. Ada yang menduga jumlah riil terpapar Covid-19 di Irak jauh lebih besar daripada itu.

Demikian juga halnya dengan Lebanon, negara yang yang baru saja memiliki pemerintahan baru di bawah PM Hasan Diab ini juga sedang mengalami krisis ekonomi yang parah. Meski populasi Lebanon hanya sekitar 5 juta jiwa, tetapi kasus terpapar Covid019 per 2 April 2020 mencapai 494 kasus, sembuh 43, dan meninggal 16 orang. Lebanon telah menutup Bandara Udara, pelabuhan laut, dan perbatasan sejak awal Maret 2020. Meski sedang diterapkan kebijakan Lockdown tetapi aksi-aksi demonstrasi terus saja terjadi secara sporadik.

Sampai 2 April 2020, kurban terpapar Covid-19 di masing-masing negara Arab yang berjumlah 22 negara itu (Iran tidak termasuk negara Arab) rata-rata 600 kasus dengan angka kematian rata-rata 12-15 orang. Saudi Arabia, konon termasuk yang terbesar, jika apa yang dilaporkan oleh Saudi Gazette (31 Maret 2020) benar adanya. Menurut koran ini di Arab Saudi saja ada 1.563 kasus dan 10 meninggal. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi di sana kalau seandainya ibadah umroh tidak diliburkan untuk sementara.

Makin kuat perekonomian makin siap

Negara-negara Arab Teluk (Kuwait, Qatar, Emirat, Bahrain, Oman) relatif siap menangani Covid-19 karena dikenal sebagai negara-negara yang kaya dan sangat maju fasilitas kesehatannya. Sekedar contoh, di Kuwait jumlah klasus 317, sembuh 80, dan tidak ada yang meninggal. Rendahnya angka kematian ini merupakan petunjuk bagusnya fasilitas kesehatan di sana.

Negara-negara Arab memang sangat heterogen. Secara perekonomian ada yang sangat kaya dengan GDP per capita yang sangat tinggi, seperti Uni Emirat Arab (GDP per capita: $40,325), Kuwait (GDP per capita: $29,616), Qatar (GDP per capita: $61,264), Oman (GDP per capita: $15,170), keamiran Bahrein (GDP per capita: $23,715), dan last but not least Kerajaan Saudi Arabia (GDP per capita: $20,747).

Tetapi ada juga yang termasuk “miskin” seperti Mesir (GDP per capita: $2,441), Irak (GDP per capita: $5,114), Aljazair (GDP per capita: $4,048),  Tunisia (GDP per capita: $3,494), Maroko (GDP per capita: $3,083), Lebanon (GDP per capita: $7,857), State of Palestine (GDP per capita: $3,054), Sudan (GDP per capita: $2,879), Jordan (GDP per capita: $4,095), dan Yaman (GDP per capita: $1,123).

Kemampuan perekonomian itu biasanya berjalan parallel dengan ketersediaan infrastruktur kesehatan, seperti rumah-rumah sakit, dokter, tenaga medis, dan ketersediaan obat atau vaksin. Sebab, kesehatan memang tidak murah. Kesehatan memang bukan segalanya. Tapi tanpa kesehatan segalanya tidak akan berarti apa-apa.

Semoga bencana ini segera berakhir. Kita juga berdoa semoga dunia Islam, terutama negara kita Indonesia, mendapatkan perlindungan dari Allah subhanahu wa ta’ala dan segera bisa menangani musibah ini dengan segera. Amien.

Hajriyanto Y Thoyari, mantan Wakil Ketua MPR RI (2009-2014), Ketua PP Muhammadiyah (2015-2020)

Exit mobile version