Masa Depan Palestina di Masa Presiden Joe Biden

Masa Depan Palestina di Masa Presiden Joe Biden

Oleh Hajriyanto Y. Thohari

Kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah pasca-Perang Dunia Ke-2 pada dasarnya tidak beranjak jauh dari tiga landasan tempat berpijak (platform). Pertama, berdasarkan kepentingan mempertahankan hegemoni di kawasan yang secara geopolitik sangat strategis itu; kedua, mengamankan akses terhadap minyak; dan ketiga, proteksi terhadap keamanan Israel. Pasca 9/11, ditambah dengan, yang keempat, membendung apa yang disebut dengan terorisme dan gerakan Islamis (Rabie, 2004; dan Al Sarhan, 2017).

Jika melihat sejarahnya landasan itu tidak pernah berubah. Siapa pun presiden AS, baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat, keempat faktor itulah yang mendasari kebijakan politik luar negeri AS di Timur Tengah. Perbedaannya hanyalah pada gaya dan nuansa belaka. Jika tidak demikian pastilah persoalan Palestina yang menjadi jantungnya konflik dan persoalan Timur Tengah sudah selesai sejak lama. Apalagi setelah Perang Dingin usai di mana AS tampil sebagai satu-satunya adidaya dunia tanpa tandingan. Di mana, ekstrimnya, apapun yang dikehendaki AS terjadilah!

Pada masa Presiden Donald Trump (Republik) kebijakan politik luar negeri AS di Timur Tengah begitu menyolok (blatant), memecah, dan tanpa tedeng aling-aling. Adidaya satu-satunya di dunia itu bukan hanya mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan memindahkan kedutaan besarnya ke sana, melainkan juga menyerukan negara-negara aliansinya mengikuti jejaknya. AS juga bukan hanya menyatakan Israel berhak atas (sebagian) Tepi Barat, melainkan juga mendesakkan proposal perdamaian Peace to Prosperity: A Vision to Improve the Lives of the Palestinian and Israeli People (Januari 2020) yang nyata-nyata sangat berpihak kepada Israel.

Dalam konteks ini Kesepakatan Ibrahim (Abraham Accord) yang diteken oleh PEA, Bahrain, Israel dan AS (13 Agustus 2020) dapat dipandang sebagai bagian dari strategi untuk menciptakan habitus dan arena baru (meminjam teori Pierre Boerdieu) dengan tujuan meratakan jalan bagi penerimaan lebih luas proposal Peace to Prosperity. Dengan Kesepakatan Ibrahim diharapkan tercipta habitus dan arena baru sebagai titik temu (common platform) bagi AS, Arab/Palestina dan Israel.

Dengan Peace to Properity semata maka perdamaian itu hanya berpijak pada AS dan Israel, dua bangsa yang mewarisi peradaban Barat yang berakar pada Judeo-Christian. Maka dengan Kesepakatan Ibrahim, Peace to Prosperity mendapatkan habitus dan arena baru. Pasalnya Yahudi, Kristen, dan Islam adalah sama-sama rumpun agama Ibrahim (Abrahamic Religions).

Dengan teori hubungan internasional yang sederhana saja tidaklah sulit memahami mengapa Peace to Prosperity (dokumen setebal 181 halaman dalam bahasa Inggris dengan Arial font 11 yang terdiri dari halaman Glossary, 22 seksi, dan 4 Appendix) lahir dari AS di masa administrasi Trump.

Sebagai prolog AS melakukan serangkaian lobi ke negara-negara Arab, menggelar The Peace to Prosperity Workshop di Bahrain (25 Juni 2019), serta pemanasan lainnya. Sebagai epilog, AS bertindak sebagai broker tunggal mendesak negara-negara Arab untuk melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Dalam waktu singkat AS berhasil membawa United Arab Emirates dan Bahrain ke Gedung Putih untuk menandatangani Kesepakatan Ibrahim (Abraham Accord Agreement) pada 13 Agustus 2020 yang menandai normalisasi hubungan kedua negara Arab tersebut dengan Israel.

Tidak lama kemudian Sudan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel dengan beberapa kompensasi: pencabutan dari daftar negara teroris, pembebasan dari tuntutan hukum atas kasus terorisme, bantuan ekonomi, dan dukungan dalam negosiasi atas sengketa debet sungai Nil akibat proyek Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD). Besar dugaan langkah ketiga negara Arab terakhir (2020) yang mengikuti Mesir (1979) dan Yordania (1994) ini akan diikuti negara Arab lainnya. Benar belaka, Maroko kemudian menyusulnya.

Bagi Presiden Donald Trump serangkaian sepak terjangnya di Timur Tengah, utamanya ambisinya untuk menciptakan perdamaian Timur Tengah, khususnya Israel-Palestina, tidak lain merupakan bagian dari strategi untuk memenangkan Pemilihan Presiden 2020. Proposal Peace to Prosperity dan Kesepakatan Ibrahim pada sejatinya ingin dijadikan sebagai capaian politik luar negeri Trump dalam Pilpres 2020 kemarin itu.

Tapi ternyata Presiden Trump sebagai pengusung Peace to Prosperity kalah dalam Pilpres 2020. Sementara bagaimana kebijakan luar negeri AS di di Timur Tengah di bawah administrasi Presiden Joe Biden, juga masih belum memiliki kejelasan. Pertanyaannya adalah bagaimana prospek perdamaian Timur Tengah, khususnya penyelesaian konflik Israel-Palestina, di bawah administrasi Biden?

Sangat mungkin Presiden Biden tidak akan melanjutkan paket proposal perdamaian AS yang diajukan oleh pendahulunya itu. Tetapi rasanya tidaklah mungkin Presiden Biden akan menganulir keputusan Trump yang telah memberikan pengakuan penuh Yerusalem sebagai ibukota Israel. Apalagi reaksi dan tanggapan negara-negara Arab terhadap proposal tersebut tidak solid dan, meski disadari sebagai tidak adil, bahkan tanpa banyak bertanya.

Memang benar secara retorika negara-negara Arab tetap memberikan dukungan penuh kepada Palestina. Tetapi kekuatan dan kekompakan Arab sudah tidak lagi seperti dulu. Ada dua hal yang harus dicatat: pertama, dunia Arab disibukkan dengan persoalan yang berat di Yaman, Libya, Suriah, dan lain-lainnya, dan kepentingan nasionalnya mulai mengalahkan urusan Palestina; kedua, beberapa negara Arab terpenting sedang mendefinisikan ulang apa yang disebut sebagai  ancaman regional yang nota bene berbeda dengan era sebelumnya: dari ancaman Zionisme Israel (Hitti, 2010, 969) ke ancaman Iran.

Melihat platform kebijakan politik AS di Timur Tengah sebagaimana tersebut di atas dan mencatat perubahan politik Arab terhadap apa yang didefinisikannya sebagai ancaman atas keamanan nasional dan regionalnya, maka masa depan dan nasib  Palestina menjadi tidak terlalu menggembirakan. Walhasil, tidak di AS, tidak di Arab, persoalan Palestina lebih sering hanya menjadi komoditas politik belaka. Tak heran jika editorial koran terkemuka Lebanon The Daily Star (11 Juni 2019), pernah meluapkan kemarahannya dengan menurunkan editorialnya: Palestine not for sale!

Palestina semakin merasa ditinggalkan Arab dan dunia: masa depan Palestina yang suram semakin lebih suram lagi. Palestina yang tanpa harapan, apalagi jika merasa semakin kesepian dalam elegi dan soliloquy, akan mengundang katastropi. Bangsa Palestina hanya disuruh mendiskusikan satu proposal perdamaian ke proposal perdamaian lainnya; dari gagasan Two States Solution (Israel dan Palestina), Three States Solution (Israel, Tepi Barat, dan Gaza), bahkan juga sempat terdengar One State Solution, dan kini bisa-bisa malah menjadi no solution!

Hajriyanto Y. Thohari mantan Wakil Ketua MPR RI (2009-2014), Ketua PP Muhammadiyah (2015-2020)

Exit mobile version