Al-Fattâh, Allah yang Maha Pembuka Rahmat
Muhbib Abdul Wahab
Nama terbaik Allah, al-Fattâh, disebutkan hanya sekali dalam al-Quran, pada ayat 26 surat Saba’ [34]. al-Fattâh, berasal dari fataha-yaftahu fathan yang berarti membuka. Ar-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradât fi Gharîb al-Qur’ân menjelaskan makna kata fath sebagai menghilangkan ketertutupan dan kemusykilan (permasalahan). Jadi, al-Fattâh –berbentuk shigat mubalaghah, superlative— mengandung arti Maha Pembuka, baik Pembuka segala yang bisa dilihat oleh manusia dengan indra penglihatannya, seperti membuka pintu maupun Pembuka segala yang tidak dapat diinderanya, seperti membuka tabir kesulitan, kemalangan, kesedihan, dan permasalahan pelik.
Ada dua makna al-Fattâh yang penting diresapi hamba. Pertama, al-Fattâh itu Maha Menghakimi, Mememberikan ketetapan dan keputusan dengan adil. Hal ini dapat dipahami dari ayat: “Katakanlah, “Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia Yang Maha Pemberi keputusan, Maha Mengetahui.” (QS Saba’ [34]:26).
Kedua, al-Fattâh itu Allah Maha Pembuka rahmat, Pembuka pintu kebaikan, keberkahan, rezeki, dan segala bentuk kasih sayang-Nya yang melimpah ruah. Makna ini, antara lain, dapat dipahami dari ayat: “Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-‘A`raf [7]:96)
Oleh karena itu, hamba al-Fattâh harus mampu meneladani sifat ini dengan senantiasa menjadi pembuka jalan kebenaran, kebaikan, kemaslahatan, kedamaian, kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi sesama. Tidak sepatutnya hamba al-Fattâh berkarakter hasud, dengki, tamak dan rakus dengan melakukan korupsi, menutup jalan kebenaran, kebaikan, keadilan, dan kasih sayang bagi sesama, sehingga melakukan kerusakan di muka bumi (fasad fi al-ardh) dan merugikan umat manusia.
Dengan demikian, sebagai hamba al-Fattâh, pertama, kita harus meyakini bahwa Pembuka pintu rahmat itu adalah Allah SwT, bukan dukun atau paranormal yang kerap kali dimintai pertolongan untuk membuat usaha manusia laris manis dan cepat kaya. Kedua, rahmat, kasih sayang dan keberkahan yang diberikan oleh-Nya itu tidak akan salah alamat. Karena itu, hamba harus berbaik sangka kepada al-Fattâh sekaligus mensyukuri segala karunia-Nya.
Ketiga, hamba harus terus-menerus berbaik hati dan berempati kepada sesama dengan membatu melapangkan jalan terbukanya rahmat dari Allah kepada orang lain. Keempat, hamba harus menunjukkan rasa tanggung jawab atas semua kenikmatan dan rahmat yang diberikan oleh-Nya dengan mendayagunakannya untuk meningkatkan iman, ilmu, dan amal shalih, bukan untuk kesenangan dan kemaksiatan.
Kelima, hamba harus bersikap super hati-hati agar jangan sampai kesenangan duniawi itu merupakan istidraj yang berakibat kebinasaan dan kesengsaraan dunia dan akhirat. Keenam, hamba perlu mengawal dan menyertai segala usahanya dengan berdoa kepada al-Fattâh, termasuk berdoa ketika masuk rumah-Nya (masjid).
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2017