Aku dan Pemabuk
Oleh: Sonny Zulhuda, Ph.D
Kawasan komersial Sejong-daero, Seoul, 8 November 2017. Malam itu kami, saya beserta Istri dan anak, bergegas pulang ke hotel dari pasar malam Myeongdong, berjalan kaki menembus udara dingin musim luruh di bawah 10 derajat celcius.
Di sebuah halte bus di trotoar yang kami lewati, seorang bapak separuh baya berpakaian kantor lengkap berdasi dan berjas berdiri separuh tegak menghadap jalan. Sempoyongan melangkah tertatih.
Kepada istriku yang bertanya apa yang terjadi padanya, saya bilang biarkan saja, nanti juga ada yang menjemput dan membawanya pulang.
Lalu terdengar suara lelaki itu lirih namun parau seakan mengigau sendirian, dalam bahasa lokal. Seseorang datang menghampirinya dan belum sempat kami tahu kelanjutannya, langkah kaki kami telah membawa kami jauh dari orang itu.
Di kawasan yang sama beberapa bulan sebelumnya saat pertama kali mengunjungi Seoul, saya lihat sendiri dua orang berpakaian kerja yang mabuk sedang menunggu taksi di malam hari.
Saat taksi berhenti, mereka berbicara separuh teriak kepada si sopir taksi. Entah kenapa, mereka seperti bingung antara mau naik atau tidak. Sopir taksi nampak gusar. Akhirnya ditinggalnya mereka berdua melongo di pinggir jalan. Beberapa taksi lain sempat lewat, tapi tidak ada yang jadi mengangkut mereka. Antara lucu dan kasihan, sudah mabuk dicuekin pula, begitu batinku.
Sahabat saya Phisca yang sudah beberapa tahun kuliah S2 dan bekerja di Seoul menceritakan, pemandangan seperti ini sangat lumrah di kawasan urban kota Seoul.
Di ujung hari setelah bekerja, kata Phisca yang juga ketua PCIM Korea Selatan waktu itu, ramai para eksekutif kantoran, tua dan muda, menghabiskan waktu hingga malam sekadar duduk dan mabuk di café dan restoran. Masih lengkap berjas dan berdasi. Mereka mabuk untuk melepas tekanan kerjanya. Jadi siangnya mereka kerja gila-gilaan, malamnya dilepas dengan mabuk-mabukan.
Sebagian mereka bisa pulang sendiri. Sebagian lain harus naik taksi atau dijemput keluarganya untuk pulang. Itu terjadi hampir tiap malam. Bisa diduga di akhir pekan, mereka akan mabuk berpanjangan!
Lain di Seoul, lain pula pengalamanku di Oxford, sebuah kota kecil sebelah Barat kota London. Di musim panas tahun 2008 saat saya menjadi fellow doktoral disana, ada insiden kecil yang kurang mengenakkan.
Suatu sore saya pulang dari kuliah, seperti biasa saya berjalan kaki menuju hostel di Lady Margaret Hall (LMH) sekitar 1.5 kilometer jaraknya. Kebetulan saat itu saya pulang sendiri setelah mengunjungi musium dan toko buku dekat kampus.
Ketika melewati sebuah halte bus di Jalan St. Giles menuju asrama LMH, tiba-tiba seorang lelaki bule berperawakan kurus tinggi menghadang dari depan. Kedua tangannya menggapai pundak saya, seperti ingin mencekik saya.
Namun saya bisa melihat gerakannya yang lunglai dan tanpa tenaga. Pandangannya juga kosong menerawang. Jelas sedang mabuk. Dia berkata-kata meracau tidak jelas, namun yang saya tangkap adalah dia minta uang kecil (“pennies”).
Refleks saja saya tepis kedua tangannya dari pundakku sehingga tidak sempat mencekik. Sambil sedikit saya hardik bahwa saya tidak punya uang kecil! Phew, terpakai juga sisa-sisa didikan Tapak Suci dulu, batinku.
Setelah itu saya tinggalkan cepat-cepat bule mabuk itu. Dasar pemabuk! Di kota pelajar nan masyhur seperti Oxford pun, kita tidak terbebas dari gangguan seperti ini. Dan untungnya dia tidak mengejar. Kalau dikejar, jurus MUSTIKA melati satu sudah kusiapkan… MUSTI.. KA..burr!
Di Jakarta, memori saya dengan pemabuk yang paling saya ingat terjadi sekitar tahun 1992 saat saya masih remaja.
Di siang bolong di kawasan Kalibata, ketika saya dan kawan-kawan sedang berjalan mengunjungi teman yang sakit, topiku tiba-tiba direbut dan langsung dipakai oleh seorang anak muda yang sedang mabuk.
Tidak terima, saya rebut lagi topi itu dari kepalanya. Rupanya dia marah. Dia ambil botol kosong Teh Botol kenamaan, entah dari mana. Lalu ia langsung menyerang kami yang semuanya sedang berseragam Pramuka.
Kami bertempyaran. Dia ngamuk dan botol ditangannya sempat terkena kepala sahabatku. Syamil namanya, anak asli Betawi di Jl. Haji Samali Pasar Minggu. Kami terus berlari menghindari keributan dan berlindung di rumah teman yang sakit itu tidak jauh dari tempat kejadian.
Alhasil, kepala Syamil cedera dan bocor. Si begajul mabuk itu ditangkap polisi dan dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saya dan teman-teman dihadirkan sebagai saksi. Kesaksikan saya sendiri tidak diambil oleh Pak Hakim karena katanya saya belum cukup umur. Syamil harus menjalani perawatan. Si pemabuk itu harus meringkuk sementara di dalam sel. Sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan sama sekali.
Kisah-kisah diatas muncul dalam benakku pagi ini ketika istriku membacakan berita tentang pelonggaran peraturan investasi minuman keras di Indonesia. Ada yang bilang ini “sesuai dengan kearifan lokal.”
Dimana letak kearifannya? Batinku terusik. Jangan-jangan yang bicara itu sedang ‘mabuk’?
Sonny Zulhuda, Ph.D, Dosen IIUM, Ketua PCIM Malaysia