Puisi Imam Syafii dalam Cinta Bersemi yang Tak Pernah Pudar

Puisi Imam Syafii dalam Cinta Bersemi yang Tak Pernah Pudar

Upaya menghilangkan ketakutan dan kesedihan di zaman akhir

Oleh: Alif Sarifudin

ديوان الإمام الشافعي

Kumpulan puisi Imam Syafii

Puisi Imam Syafii rahimahullah

Biarkan hari-hari berbuat sesuka hati,

Tegar, lapangkan jiwa saat takdir menghakimi.

 

Jangan resah hanya karena petaka semalam menghampiri,

Ingat, tak ada musibah di dunia yang kekal abadi.

 

Jadilah lelaki yang kuat menghadapi kegentingan,

Dan karaktermu tetap lapang dada penuh kesetiaan.

 

Seandainya celamu banyak di mata manusia,

Dan engkau ingin ada tirai yang menutupinya.

Maka tutupilah dengan tirai kedermawanan, karena dengannya,

Akan tertutupi segala cacat sebagaimana masyhur katanya.

….

Hindari kesedihan dan ketakutan dengan terus mendekat kepada Allah SWT. Makna kesedihan dan ketakutan sebagaimana dalam tafsir Al-Maraghi  jilid 7 halaman 120 berkaitan dengan surat Al-Qashshas ayat 7 adalah sebagai berikut. Kesedihan adalah susahnya hati yang disebabkan karena sesuatu yang tidak diinginkan dan hal itu telah terjadi sedangkan ketakutan adalah susahnya hati yang disebabkan karena sesuatu yang tidak diinginkan dan hal itu akan terjadi di masa yang akan datang.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Qashshas ayat 7,

وَأَوْحَيْنَآ إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ أَنْ أَرْضِعِيهِ ۖ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِى ٱلْيَمِّ وَلَا تَخَافِى وَلَا تَحْزَنِىٓ ۖ إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ ٱلْمُرْسَلِينَ [٢٨:٧]

Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu merasa ketakutan/khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.

 Pada ayat tersebut Allah menekankan kepada ibu nabi Musa agar jangan takut (khauf) dan jangan sedih (Huzn) ketika baru saja mempunyai anak laki (Musa bayi) yang pada waktu itu seluruh bayi laki-laki dibunuh oleh Firaun penguasa zalim. Ketakutan ibu nabi Musa saat itu wajar karena menghadapi bagaimana dengan masa depan anaknya serta dirinya. Begitu juga dengan kesedihan yang menimpa  ibu nabi Musa adalah wajar karena melihat hari-hari sebelumnya yang penuh firnah.

Bagi kita yang hidup di zaman milenial seperti ini,ketakutan dan kesedihan akan terus menghantui kita karena persaingan yang luar biasa. Apalagi kalau menghadapi keadaan multi krisis yang sangat memprihatinkan bangsa ini dan dunia pada umumnya. Untuk menepis segala ketakutan dan ketakutan seperti ini, penulis mencoba mengajak kepada pembaca untuk melihat dari dekat  salah satu puisi imam besar yakni imam Syafi’i yang merupakan karya fenomenal dan jarang dari kita untuk mencermatinya.

Orang-orang saleh dalam perenungannya banyak menulis karya-karya yang luar biasa. Perhatikan orang-orang hebat seperti Hamka, Taufik Ismail, Amir Hamzah, Emha Ainun Nadjib dan sederetan nama penyair muslim lain yang sangat luar biasa dengan karya-karyanya. Para penyair dalam kiprah perenungannya itu melahirkan kata-kata yang lebih tajam dari pedang bahkan lebih dahsyat dari meriam dan senjata mutakhir yang mematikan sekalipun.

Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengung­kapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan diusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Sebagai salah satu karya sastra, harus diakui kalau puisi memang memiliki posisi yang unik. Ada unsur kebebasan yang mungkin melampaui prosa. Permainan simbolisme yang dihadirkan tidak hanya dengan kata, tetapi juga dengan angka dan bentuk-bentuk lain menghadirkan nuansa misteri yang menarik.

Dengan puisi, penulis puisi bisa memberikan kritik yang tajam tanpa terkesan mengkritik. Lewat puisi bisa menyuarakan pemberontakan tanpa dianggap memberontak. Atas dasar tersebut, maka penulis puisi berusaha menganalisis makna puisi penulis di atas. Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan –poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

Keindahan bahasa dalam puisi menjadikan kita terbang dalam makna tak terbatas. Misalnya kita kembali mengingat  pada zaman Rasulullah, Pada zaman itu  sangat kental dengan kepiawaian para penyair yang telah mengubah dunia. Pada zaman tersebut, terdapat seorang penyair terkenal. Namanya Hassan bin Tsabit (Abu al-Walid Hassan bin Tsabit bin al-Mundzir). Suatu kali, dia diminta datang ke Masjid Nabawi untuk menemui Nabi SAW. Pria asal Suku Khazraj ini tentu saja gembira dan segera beranjak dari rumahnya. Jiwa kepenyairannya membuncah apalagi ketika yang meminta adalah manusia kekasih kaum muslim. Bergegas Hassan bin Tsabit menemui Rasulullah SAW.

Sesampainya di Masjid Nabawi, Hassan mengucapnya salam kepada seluruh sahabat di sana dan tentunya khusus  kepada baginda Salallahu ‘alaihi Wasallam.  Saat Hassan bertemu Nabi dengan semangatnya menunggu perintah yang ditunggu-tunggu.  Nabi SAW berkata, “Wahai Hassan, engkau tentu mengetahui yang telah dilakukan kaum musyrik  Makah. Karena itu, padamkanlah semangat mereka dengan sajak-sajakmu. Sebaliknya, bangkitkanlah semangat kaum Muslim dengan sajak-sajakmu.” Menanggapi permintaan Rasulullah seperti iyu, dengan semangat membara pada diri Hasan yang seorang penyair, berkobarlah  jiwa kepengarangannya, “Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan membalas  orang-orang kafir Makah dengan puisi saya, bagaikan sayatan di kulit mereka,” jawab Hassan bin Tsabit spontan sambil mengepalkan tangan layaknya pejuang yang siap berangkat di medan laga.

“Hendaknya engkau tidak terburu-buru, wahai Hassan,” ujar Rasulullah SAW. “Abu Bakar lebih mengetahui tentang garis nasab orang-orang Quraisy. Sebaliknya, garis silsilahku juga mereka mengetahui. Maka sebaiknya engkau terlebih dahulu mengetahui garis keturunanku. Tanyakanlah hal itu kepada Abu Bakar.” Hassan ibn Tsabit lantas pamit, untuk kemudian bertemu dengan Abu Bakar ash-Shiddiq. Dia pun menanyakan tentang garis nasab Nabi Muhammad SAW kepada Abu Bakar. Sesudah itu, sang penyair ini kembali lagi ke Masjid Nabawi dengan senyum penuh kemenangan. “Ya Rasulullah, aku kini telah mengetahui garis keturunan engkau. Maka demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, aku akan mencabut engkau dari kelompok mereka, bagaikan tercerabutnya gandum dari adonan,” tutur Hassan. Itulah kata-kata dari seorang penyair yang siap berjuang.

Rasulullah motivator ulung. Ketika semangat Hassan telah mmebara karena jiwa keimanannya, Rasulullah dengan memotivasi dan senantiasa mendukungnya terus memompa dan memberi semangat untuk mendorong Hassa,  “Wahai Hassan, sungguh Jibril akan senantiasa mendukung engkau selama engkau meruntuhkan semangat kaum musyrik  itu dengan puisi-puisimu dalam membela Allah dan Rasul-Nya,” jelas Rasulullah SAW. Kata-kata yang memompa semangat fi sabilllah Hassan ibn Tsabit.

Demikianlah cuplikan kisah yang sangat luar biasa berkenaan dengan perjuangan seorang penyair, Hassan.  Semangatnya yang luar biasa, menjadikan eksistensi Hassan hampir tak pernah absen dalam setiap medan peperangan. Dia berada di sisi Rasulullah SAW. Setiap medan laga, dia tampil di hadapan pasukan musyrik untuk mengumandangkan sajak-sajak yang menciutkan nyali para musuh. Kata-katanya seakan lebih tajam dari pedang yang paling tajam untuk menebas kepala para durjana. Makna puisi yang dilontarkan Hassan melesat jauh mengenai sasaran  menghunjam ulu hati setiap kesombongan kaum musyrik seperti melesatnya panah bagi pemanah para syuhada yang handal.

Hassan bin Tsabit memiliki istri bernama Sirin. Perempuan itu cukup istimewa karena merupakan saudara Maria al-Qibthiyyah, istri Rasulullah yang keturunan Mesir. Usia Hassan bin Tsabit mencapai 100 tahun. Dia wafat pada 53 tahun sesudah Hijrah. Sebelum memeluk Islam, dia merupakan penyair yang lantang menjelek-jelekkan agama ini. Sesudah menerima hidayah Allah, maka Hassan mengarahkan karya-karyanya untuk membela Islam. Kepiawaian dan kepenyairan Hassan bagaikan perjuangan serta kepemimpinan Umar bin Khaththab dalam membela Islam yang saat dalam Jahiliyah juga pernah membenci Islam.

Kekuatan para penyair diabadaikan oleh Allah dalam satu surat yang bernama As-Syuara artinya para penyair. Surat ini menempat pada urutan ke-26 dengan jumlah ayat yang panjang yakni 227 ayat. Penyair merupakan satu-satunya “profesi” yang diabadikan sebagai nama sebuah surat dalam Al- Qur’an. Hal ini menandakan bahwa para penyair mendapat tempat khusus dan dianggap penting atau dimuliakan dalam Islam. “Pemuliaan itu ada pada  QS Asy-syuara ayat 227,” Secara jelas Allah menjelaskan tentang para penyair yang musyrik dan ahli tauhid dalam ayat 224-227.

وَٱلشُّعَرَآءُ يَتَّبِعُهُمُ ٱلْغَاوُۥنَ [٢٦:٢٢٤]

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.

أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِى كُلِّ وَادٍۢ يَهِيمُونَ [٢٦:٢٢٥]

Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah,

وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ [٢٦:٢٢٦]

dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?

إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَذَكَرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًۭا وَٱنتَصَرُوا۟ مِنۢ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا۟ ۗ وَسَيَعْلَمُ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوٓا۟ أَىَّ مُنقَلَبٍۢ يَنقَلِبُونَ [٢٦:٢٢٧]

kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.

Pada ayat di atas Allah mengecam keras para penyair jahiliyah yang mengikuti bisikan setan, mengembara dalam imajinasi yang sesat, dan diikuti oleh orang-orang yang sesat. Jadi, dalam Islam, penyair “dikutuk” sekaligus “dimuliakan”, karena ayat tersebut diakhiri dengan pembelaan terhadap para penyair yang beriman (para penyair muslim).

Nabi Muhammad SAW memuliakan para penyair muslim yang tampil sebagai “tandingan” penyair jahiliyah. Para penyair muslim, seperti Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Kabah bin Zuhair, Kabah bin Malik, dan Al Khansa binti Amru,  semua menjadi sahabat Rasulullah dan sesekali diminta membuat puisi oleh Rasulullah untuk menandingi puisi jahiliyah. “Penyair perempuan, Al Khansa binti Amru, juga dekat dengan Rasulullah, sehingga disebut sebagai penyair Rasulullah. Begitu juga Hasan bin Tsabit.

Pada zaman jahiliyah puisi memiliki dua fungsi yakni sebagai alat untuk menaikkan pamor tokoh masyarakat dengan cara banyak menyebut namanya agar terkenal. Kedua, sebagai alat untuk menjilat atau sebagai pengkhianat bangsa. “Rasulullah menyukai puisi atau syair yang mengandung hikmah dan semangat perjuangan. Tapi Rasulullah tidak menyukai puisi atau syair yang mengandung fitnah dan hujatan, serta puisi yang dijadikan alat untuk menilai.

Menurut Sunu Wasono, dosen pembimbing penulis waktu kuliah di UI Jakarta, puisi Islami ataupun puisi religius banyak ditulis di Indonesia sejak zaman Hamzah Fansuri hingga sekarang. Banyak di antaranya yang mengandung hikmah dan semangat perjuangan. “Bukan hanya puisi atau syair, tapi juga banyak hikayat yang mengobarkan semangat perjuangan,”

Kembali lagi pada bait puisi Imam Syafii, penulis mencoba menginterpretasi sesuai kemampuan berkaitan dengan dakwah,

دَعِ الأَيّامَ تَفعَلُ ما تَشاءُ

وَطِب نَفساً إِذا حَكَمَ القَضاءُ

Biarkan hari-hari berbuat sesuka hati,

Tegar, lapangkan jiwa saat takdir menghakimi.

Makna yang terkandung pada bait puisi ini, penulis berusaha menghadirkan kepada pembaca bahwa kesombongan orang-orang zalim akan selalu melakukan hari-hari yang berlalu dan yang akan datang untuk terus menelikung keadilan dengan sesuka hati. Ketika orang zalim tidak dapat melaksanakan amanat dengan benar dari zaman dulu sampai sekarang maka kita jangan mengikuti kesia-saian waktu yang berlalu, bergeraklah dengan kekuatan yang kita mampu agar kita tidak termasuk dalam golongan mereka. Kita harus tetap tegar untuk melapangkan jiwa sampai benar-benar takdir kematian  datang yang akan menghakimi arena batas usia atau datangnya ajal.

Begitu juga dengan cinta yang terus bersemi bagi orang-orang yang beriman, waktu akan digunakan dengan indah dalam detak-detak semi yang selalu hadir untuk asyik-maksyuk mencintai Allah dan Rasulullah. Bagi orang beriman ketika hari-hari datang, akan disambutnya dengan suka ria bagaikan kekasih yang telah menemui jantung hatinya, ia datangi dengan mesra hari-hari itu dengan memperbanyak amal dan ibadah, bagaimana agar bermanfaat untuk orang lain dan makhluk hidup ciptaan Allah. Iitulah yang dalam bahasa cinta, saat hari atau waktu datang seorang pujangga akan tegar menebar kasih sayang serta terus melapangan jiwa untuk menebar kedamaian sampai akhir masa. Penulis menamakan waktu yang dimanfaatkan itu dengan cinta yang bersemi tak pernah pudar.

Hari-hari yang datang dan diliputi dengan ketakutan serta kesedihan akan mampu ditepis dalam hati orang beriman manakala ia sanggup menerjemahkan masa dengan iman. Ketakutan dan kesedihan akan diganti dengan sabar dan semangat berjuang karena semua itu adalah perhiasan saat manusia sedang berduka.

وَلا تَجزَع لِحادِثَةِ اللَيالي

فَما لِحَوادِثِ الدُنيا بَقاءُ

Jangan resah hanya karena petaka semalam menghampiri,

Ingat, tak ada musibah di dunia yang kekal abadi.

Ketika hidup ini banyak ujian datang dan menimpa. Apakah ujian itu berupa fitnah, musibah, bala, halak, tadmir, atau nazilah kita tidak boleh lemah. Badai akan selalu datang setiap saat. Bagaikan pohon tinggi menjulang maka akan semakin deras guncangan badai menerpanya. Tetapi bagi para pencinta karena besandar kepada Allah Yang Maha Cinta, semua akan dihadapi dengan jihad dan perjuangan yang tak mengenal lelah. Semangat selalu dihadirkan bagi para pemburu cinta. Baginya tidak ada musibah yang kekal, saatnya akan berlalu.

Ketika malam semakin larut, bagi para pencinta Allah akan selalu datang dan meneteskan air mata cinta dan takwa dalam sujud yang panjang mengadu untuk berjuang di hari esok. Maka bagi para qowwamah atau ahli qiyamul lail kadang tidak hadirya menyentuh cinta kepada Allah  karena tidak bisa salat malam ia akan menyebutnya sebagai petaka semalam menghampiri. Dia merasa bersalah karena telah memusibahkan diri dengan tidak hadir menemui Allah. Di pagi harinya ia tebus dengan banyak salat duha dan amaliah malamnya tuk mengganti kalau nanti ada musibah yang akan menempanya. Ketakutan dan kesedihan akan dilibasnya dengan perjuangan tak mengenal lelah hingga pengorbanan menjadi suatu kenikmatan.

وَكُن رَجُلاً عَلى الأَهوالِ جَلداً

وَشيمَتُكَ السَماحَةُ وَالوَفاءُ

Jadilah lelaki yang kuat menghadapi kegentingan,

Dan karaktermu tetap lapang dada penuh kesetiaan.

Lelaki adalah simbol pemimpin, sebagai pemimpin apalagi pemimpin sebuah gerakan seperti Muhammadiyah harus pandai menerjemahkan cinta dan kasih sayang kepada Muhammadiyah yang terus dikuatkan apalagi ketika menghadapi berbagai kegentingan. Usahanya sebagai wujud cinta yang terus bersemi untuk mencerahkan gerakan yang dipimpinnnya dan sangat ditunggu-tunggu oleh anggota persyarikatan dan simpatisannya. Seorang pemimpin yang bijak harus memiliki dua sifat yaitu lapang dada dan setia. Lapang dada ketika banyak dinamika perbedaan dalam sebuah pergerakan. Rihabatushsadri  sebagaimana yang disampaikan syaikh Utsaimin dalam Kitabul Ilmi yaitu mendengar dan menghormati perbedaan. Ketika perbedaan semakn kentara, tugas pemimpin adalah mencerahkan.

Di samping lapang dada dari sifat pemimpin adalah mampu memunculkan kesetiaan. Seorang yang setia kepada kekasihnya maka akan mendapatkan bunga-bunga cinta yang terus bersemi dan tak kan pernah pudar. Seorang pemimpin amal usaha dalam gerakan Muhammadiyah harus pandai menafsirkan kesetiaannya dengan motto K.H. Ahmad Dahlan yang sangat kita pahami, “hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.  Pemimpin yang setia berarti dia akan mengerahkan segala kemampuannya, harta, benda bahkan nyawa untuk bermuhammadiyah. Hari-harinya yang ada adalah untuk Muhammadiyah, seperti otak dan keringatnya untuk Muhammadiyah bagaikan seorang pejuang yang siap menebas musuh atau siap ditebas dan gugur sebagai syuhada.

Dengan demikian makanan hati bagi para pemimpin dan juga kita sebagai warga persyarikatan akan mampu dan mempunyai predikat pembangun cinta kebaikan dengan dua kekuatan yaitu lapang dada serta penuh kesetiaan.  Kesetiaan diwujudkan dengan baktinya kepada persyarikatan yang cintanya tidak mendua.

وَإِن كَثُرَت عُيوبُكَ في البَرايا

وَسَرَّكَ أَن يَكونَ لَها غِطاءُ

تَسَتَّر بِالسَخاءِ فَكُلُّ عَيبٍ

يُغَطّيهِ كَما قيلَ السَخاءُ

Seandainya celamu banyak di mata manusia,

Dan engkau ingin ada tirai yang menutupinya.

Maka tutupilah dengan tirai kedermawanan, karena dengannya,

Akan tertutupi segala cacat sebagaimana masyhur katanya.

Siapa yang mampu memberikan kata-kata indah kepada kekasihnya dengan ikhlas maka sang kekasih akan membalasnya dengan cinta kasih yang bersambut. Siapa yang memberikan cinta kasih dengan tulus maka sang kekasih akan membalasnya dengan harta tak terkira, siapa yang berbagi dengan harta tak terkira sebagai wujud cinta kepada kekasihnya maka sang kekasih akan membalasnya dengan bunga-bunga cinta yang terus bersemi tak pernah pudar.

Allah SWT akan terus membalas kebaikan hamba-Nya yang terus bersungguh-sungguh dalam mengabdikan dirinya untuk menebar kebaikan. Bagi kita yang perlu dicermati sebagaimana kata-kata Imam syafii  pada puisi di atas adalah tutupi segala cela yang dimiliki kita dengan banyak berbagi. Dengan banyak berbagi kepada sesama segala dosa dan kesalahan akan hilang. Apalagi dilanjutkan dengan amalan-amalan yang mencerahkan  sebagaimana diabadikan dalam bait selanjutnya yaitu tirai kedermawanan.

Tirai kedermawanan itu akan menutupi segala cela atau duka akhir zaman. Kebencian akan hilang karena di antara kita saling berbagi. Hal ini sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW ketika baru saja hijrah dari Makah ke Madinah. Rasulullah SAW berpesan dengan 4 hal, yakni sebarkan salam, memberi makan atau memberikan derma kepada orang lain, silaturrahim, dan salat malam. Akhirnya dengan mengedepankan cinta kepada Allah dan Rasulullah serta makhluk Allah yang lain, maka akan menimbulkan perasaan ketakutan dan kesedihan hilang pelan-pelan namun pasti bersamaan dengan kesungguhannya dalam sebuah perjuangan. Nashrun Minallahi Wa Fathun Qarib Wa Bashshiril Mukminin.

Alif Sarifudin, Ketua PDM Kota Tegal

Exit mobile version