Dimensi Ketuhanan dan Keislaman Bahasa Arab

Dimensi Ketuhanan dan Keislaman Bahasa Arab

Oleh Hajriyanto Y. Thohari

Adalah sangat menarik bahwa ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab banyak terkait dengan Tuhan. Jadi ada dimensi teologis yang sangat kental di sana. Perhatikan saja kata al-salamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu, alhamdulillah, masya Allah, insya Allah, subhanallah, mabruk, barakallahu fik, la haula wa la quwwata illa billah, dan lain-lainnya. Tentu dalam bahasa-bahasa lain bukannya tidak ada dimensi ketuhanannya. Dalam bahasa Inggris, misalnya, ada juga ungkapan-ungkapan seperti Oh my God, God bless you, dan In God we trust (seperti yang tertulis dalam mata uang dolar Amerika). Tetapi terus terang saja bahasa Arab tetaplah lebih sarat dimensi ketuhanannya dari bahasa apapun dan manapun!

Saya dulu pernah mengira ungkapan-ungkapan alhamdulillah, masya Allah, insya Allah, subhanallah, mabruk, barakallahu fik, la haula wa la quwwata illa billah, wallahi, dan lain-lainnya itu unik dan khas Islam. Tapi setelah tinggal di Lebanon lebih dari satu tahun saya baru tahu secara empiris bahwa orang-orang Arab yang beragama Nasrani pun mengucapkan kata-kata atau kalimat seperti itu. Rupanya di Arab Allah adalah nama Tuhan bagi mereka yang beragama Kristen atau Masihiyyin sekalipun. Saya mempunyai beberapa teman Arab yang beragama Kristen juga biasa mengucapkan kata-kata atau frase itu.

Memang ada orang Kristen di Lebanon yang tidak mau mengucapkan kata-kata assalamu ‘alaikum, alhamdulillah, barakallahu, dan lain-lainnya. Tapi itu konon kabarnya merupakan fenomena baru dan hanya ditemui belakangan ini di kalangan individu-individu Kristen yang sangat fanatik dan fundamentalis. Mereka ini bahkan tidak mau menggunakan bahasa Arab moderen hanya karena bahasa Arab moderen lebih dekat alias nyaris tidak berbeda dengan bahasa Arab klasik (fusha) yang nota bene menjadi bahasa Al-Quran. Kira-kira mereka itu penganut Kristen radikal yang di Timur Tengah cukup banyak juga pengikutnya. Walhasil, fenomena fanatisme dan radikalisme keagamaan itu ada di mana-mana di seluruh dunia ini: universal!

Bangsa Arab memang dikenal sebagai bangsa yang bertuhan. Apalagi kenyataannya semua Nabi dan Rasul yang 25 itu lahir di Arab atau Timur Tengah. Demikian juga semua agama samawi yang tiga itu: Yahudi, Kristen dan Islam.  Saking tebalnya dalam bertuhan, sampai atheisme di kalangan bangsa Arab pun berbeda dengan atheisme Barat. Jika atheisme di Barat itu benar-benar tidak percaya adanya Tuhan, bahkan antiTuhan, maka atheisme di Arab adalah hanya menolak kenabian (nubuwah) dan wahyu (revelation), tapi tidak menolak ketuhanan. Orang-orang atheis Arab tetap percaya pada Tuhan, malah menamakan Tuhannya dengan Allah, tetapi mereka menolak adanya Nabi atau konsep kenabian. Mereka beriman kepada Tuhan tapi, aneh bin ajaib, menolak nabi yang membawa wahyu.

Di negara-negara Arab seperti Suriah, Irak, Palestina, dan lain-lainnya, ada pengikut komunisme. Di Iran yang secara politik didominasi oleh kaum Mullah dan Ayatullah pun ternyata ada Partai Komunis, measkipun bergerak di bawah tanah. Tapi tetap saja mereka bukanlah atheis dalam definisi tidak bertuhan. Kalau kita melakukan browsing di internet maka kita akan kaget juga betapa orang-orang Arab ada yang memproklamasikan dirinya sebagai penganut atheisme atau syuhyuninyah atau ilhadiyah, yang biasanya disebut mulhid. Mungkin ini semua hanya sentimentalisme atau kekenesan belaka terutama dalam memanfaatkan freedom of belief semata.

Kembali ke bahasa Arab dengan dimensi ketuhanannya. Seorang pakar Arab mengatakan bahwa banyak sekali ucapan dalam bahasa Arab yang melibatkan Tuhan. Contohnya, jika seseorang mengucapkan kata “mabruk” (مبروك) dan Anda menjawab “Allah baraka fik” (برك الله فيك) maka kalimat itu artinya “Semoga Tuhan Allah memberikan berkah kepadamu”. Banyak sekali ucapan-ucapan Bahasa Arab yang melibatkan Tuhan seperti itu. Maka jika Anda sedang berbicara dalam bahasa Arab kepada seseorang Anda telah mengaitkan bukan hanya melalui bahasa, melainkan juga keimanan kepada Allah SWT.

Sangat meyakinkan dimensi ketuhanan yang kental dalam Bahasa Arab itu adalah karena pengaruh Al-Quran. Pasalnya, Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an (لغة القران). Semua orang rasanya sudah tahu fakta dan kenyataan itu. Bahkan ada orang Arab (mungkin penganut paham mujassimah alias Antropomorfism) yang secara agak berlebihan mengatakan bahwa Tuhan dan Malaikat-malaikat-Nya berbicara dalam bahasa Arab. Bahasa Arab juga sering disebut sebagai bahasa Islam meskipun banyak juga orang Arab yang beragama Kristen seperti orang-orang Arab yang menjadi warga negara Lebanon, Syria, Mesir, Yordania, Palestina, dan lain-lainnya. Mereka itu juga berbicara dan sangat bangga dengan bahasa Arab.

Memang, entah lebih sebagai kesan entah kenyataan, ada pandangan yang sangat kuat tentang kesejajaran antara keislaman dan kearaban. Dan nyatanya pandangan seperti ini bukan hanya menancap di dalam impresi umat Islam belaka, melainkan juga di kalangan umat non-Islam. Dr Anton Wessels, seorang Teolog Kristen dan guru besar di Vrije Universiteit, Amsterdam, dalam bukunya Arabier an Christen: Christelijke kerken in het Midden-Oosten (1983), juga mengabadikan kesan serupa, meskipun kemudian dia mencoba mengklarifikasinya.

Dalam bukunya yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Arab dan Kristen: Gereja-Gereja Kristen di Timur Tengah (terj. Tati S.L. Tobing-Kartohadiprojo, BPK Gunung Mulia, Cet Kedua, 2002), Wessels mengatakan bahwa “Banyak orang yang begitu mendengar sebutan orang Arab pikirannya segera terarah pada orang Islam”. Bahkan, setiap membaca atau mendengar Bahasa Arab orang akan segera terbayang kata Islam. Tak heran jika Wessels sampai mengingatkan adanya sebuah ungkapan yang sangat terkenal di kalangan orang-orang Arab Kristen yang berbunyi “Bahasa Arab tak dapat dikristenkan”.

Walhasil, Bahasa Arab adalah satu-satunya Bahasa di dunia ini yang kental dengan dimensi ketuhanan dan keagamaan, yaitu Islam. Mungkin oleh karena faktor ketuhanan dan keislaman inilah Bahasa Arab memiliki kemampuan bertahan yang luar biasa. Jika dihitung sejak turunnya Al-Quran kepada Rasulullah SAW maka usia Bahasa Arab (yang nota bene juga Bahasa Al-Quran itu) sudah lebih dari 1.400 tahun. Padahal sejak jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir Bahasa Arab sudah ada dan hidup. Walhasil, Bahasa Arab sudah berusia ribuan tahun dan masih bertahan kuat sampai sekarang. Sungguh sebuah bahasa yang memiliki  kemampuan bertahan yang luar biasa!

Bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa Semitik yang telah berusia ribuan tahun (A Semitic language that is thousands of years old) yang sampai hari ini masih bertahan hidup. Konon kabarnya ada empat bahasa yang paling berpengaruh dalam sejarah peradaban dunia, yaitu bahasa Sansekerta, Yunani, Latin dan Arab. Tiga bahasa yang pertama sudah mati, tetapi bahasa Arab tetap hidup. Bahasa Latin, misalnya, kalau orang sekarang ingin membaca buku berbahasa Latin yang ditulis dua atau tiga ratus tahun yang lalu saja, sudah pasti orang tersebut akan amat sangat kesulitan. Demikian juga halnya dengan buku-buku berbahsa Yunani dan Sanksekerta. Sementara kalau orang mau membaca kitab-kitab berbahasa Arab, jangankan kitab yang berusia dua atau tiga ratus tahun yang lalu, bahkan kitab-kitab yang berusia 1.000 tahun yang lalu pun masih bisa dibaca dengan mudah. Bahkan syair-syair Jahiliy yang ada sejak zaman sebelum Rasulullah SAW pun masih bisa dinikmati dengan mudah.

Tak heran jika Dr. Nurcholish Madjid menyebut Bahasa Arab secara dramatis sebagai mukjizat Ilahi (lihat Pesan-Pesan Takwa Nurcholish Madjid: Kumpulan Khutbah jum’at di paramadina, Jakarta, 2000, hal. 189; juga lihat Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, Kumpulan Dialog Jumat di Paramadina, Paramadina, Jakarta, 2005, hal. 146). Memang betul-betul mukjizat kebudayaan. Di samping sudah tua tetapi tetap bertahan hidup, Bahasa Arab juga dikenal sebagai bahasa yang paling indah di dunia (the world’s most beautiful language). Juga bukan hanya paling indah, melainkan juga sangat kaya raya dengan kosa kata. Bahasa Arab konon memiliki 12.302.912 (baca: dua belas juta tiga ratus dua ribu sembilan ratus dua belas) kata. Bandingkan dengan Bahasa Inggris yang kekayaan kosa kata-nya hanya berjumlah 600.000 kata dan bahasa Perancis 150.000 kata.

Dalam konteks dan perspektif ini maka sungguh sangat rugi, bahkan rugi besar orang Islam yang tidak belajar Bahasa Arab. Pasalnya, dengan menguasai Bahasa Arab maka orang akan memperoleh dimensi ketuhanan, keislaman, dan sekaligus kebudayaan yang sangat kaya! Walhasil, jika seorang muda keturunan Arab yang tinggal di Amerika Utara mengatakan: “I forgot my Arabic tongue, and lost my homeland in the process. I feel like I’m slowly becoming more and more disconnected from my Arab roots’’, maka ijinkan saya menambahkan dengan kalimat penutup sebagai berikut: “Saya telah melupakan Bahasa Arab maka saya dalam proses kehilangan ruh ketuhanan dan keislaman, karena pelan tapi pasti saya akan terpisahkan dari akar-akar ketuhanan dan keislaman”. Percayalah padaku…!

Hajriyanto Y. Thohari, Wakil Ketua MPR RI (2009-2014), Ketua PP Muhammadiyah (2015-2020)

Exit mobile version