Mulut dan Beragam Hal Tentangnya

mulut

Foto Dok Ilustrasi

Mulut dan Beragam Hal Tentangnya

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Bagi orang beriman, Allah Subhaanahu wa Ta’ala adalah pencipta, pengatur, dan pemelihara segala sesuatu. Manusia merupakan satu di antara makhluk ciptaan-Nya. Sebagai pemelihara, Allah Subhaanahu wa Ta’ala melengkapi ciptaan-Nya dengan memberikan hidayah yang diperlukannya.

Manusia diberi hidayah yang lebih lengkap daripada makhluk lainnya. Lepas dari perbe­daan istilah yang digunakan dan macam-macamnya, dalam kajian ini digunakan istilah hidayah naluri, pancaindra, akal, agama, dan taufiq. Namun, masalah yang secara khusus dikaji adalah hidayah yang berkenaan dengan mulut.

Ketika sehat dan dapat berfungsi normal, sangat jarang orang memperhatikan ihwal mulut. Barulah sadar akan pentingnya mulut, ketika mulut itu tidak dapat berfungsi secara normal misalnya karena hilangnya air liur, seriawan, atau sakit gigi. Mungkin pula baru sadar ketika dirinya, keluarga, teman, atau tetangganya berada penjara akibat keburukan mulutnya.

Fungsi Mulut

Untuk mengkaji fungsi mulut, kita perlu memperhatikan masa pertumbuhan manusia sejak lahir. Lazimnya, begitu lahir ke dunia, bayi menangis. Sekali lagi, baru lahir! Siapa yang membe­rinya kemampuan menangis?

Apa yang dirasakan oleh orang tua, terutama ibu sang bayi, ketika mendengarnya? Senang! Mengapa? Ada keyakinan berdasarkan kebiasaan bahwa tangis bayi yang baru lahir merupakan bagian dari tanda sehat.

Jika lapar dan haus, bayi pun menangis. Ibunya sering harus berhenti melakukan aktivitas apa pun ketika anaknya menangis. Lalu, dia memberikan asi. Subhaanallah! Siapakah yang memberikan ke­mam­puan kepada bayi sehingga dapat mengisap asi? Di dalam rahim ibunya, bayi tidak pernah menda­pat pela­tihan! Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang memberikan hidayah berupa naluri mengisap asi.

Suatu ketika sang bayi menangis lagi. Ibu memeriksa pakaian yang melekat di tubuh­ anak­nya. Dengan cekatan ibu membersihkan seluruh tubuh anaknya yang terkena pipis. Lalu, diambilnya pa­kai­an yang ke­ring. Diganti­nya pakaian yang basah. Namun, sang bayi belum juga berhenti menangis. Tanpa ragu, ibunya pun memberikan asi. Ibu lega ketika melihat anaknya tidak menangis lagi dan tidur pulas.

Pada hari lain, sang bayi menangis lagi ketika ibu sedang makan juga. Ternyata anak bayinya bab. Ma­rah­kah ibu? Ibu yang sehat, tidak marah. Bahkan, dari mulutnya terucap rasa syukur karena anak bayi­nya bisa bab! Dia rela berhenti makan dan mem­bersihkan kotoran anaknya!

Ketika sakit, karena belum dapat bicara, me­nangis pun menjadi cara bayi memberitahukan. Malahan, ka­dang-kadang tangisnya keras dan lama. Apakah yang demikian itu diatur oleh manusia atau mesin? Tidak!

Seiring dengan pertumbuhan fisik dan psikis­nya, fungsi mulut pun berkembang. Dengan pe­latihan yang terus-menerus dan berta­hap, mulut dapat difungsikan untuk makan, mi­num, tersenyum, tertawa, dan bicara.

Ada fungsi mulut manusia yang mungkin tidak pernah atau sangat jarang diperhatikan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala membedakaan fungsi mulut hewan dari fungsi mulut manusia. Mulut hewan hanya berfungsi untuk mencukupi kebu­tuhan fisik, yakni makan dan minum.

Berbeda halnya fungsi mulut manusia. Ketika menyatakan bahwa seseorang beragama Islam, dia harus meng­ucapkan sya­hadat sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut.

“Didirikan Islam itu atas dasar lima, menyaksikan (mengakui) baahwasanya tidak ada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad utusan Allah, dan mendirikan salat, dan memberikan zakat, dan berhaji, dan puasa Ramadan.” (HR al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)

Untuk keperluan itu, tentu mulut yang difungsikan. Sampai menjelang akhir hayat pun, mulut manusia berfungsi, yaitu sebagai pembeda husnul khatimah atau su’ul khatimah sebagaimana dijelaskan dalam HR Abu Dawud,

“Barangsiapa akhir ucapannya laa ilaaha illallaah, dia masuk surga.”

Tidak semua orang dapat meng­ucapkan kalimat itu menjelang meninggalnya? Bahkan, ada yang ketika akan meninggal pun dari mulutnya keluar nama beberapa binatang makian karena ketika sehat biasa memaki dengan menyebut nama binatang itu. Agar meninggal dalam keadaan husnul khatimah, manusia diberi hidayah naluri, pancaindra, akal, agama, dan taufiq.

Berzikir

Sudah kita pahami bahwa  berzikir, tidak sekadar dengan hati, tetapi juga dengan mulut meskipun secara syir. Perintah Allah Subhaanahu wa Ta’ala tentang berzikir, di antaranya, terdapat dalam surat al-Baqarah (2): 152,

“Maka ingatlah kepada-Ku.  Aku pun ingat kepada kalian.”

Sementara itu, perintah Rasu­lullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya, terdapat dalam hadis berikut.

“Ada dua kalimat, yang ringan di lisan, tetapi berat dalam timbangan dan dicintai oleh ar-Rahman, yaitu Mahasuci Allah dan segala puji hanya bagi-Nya, dan Mahasuci Allah yang Mahaagung.” (Muttafaq ‘alaih)

Jelas bagi kita bahwa menurut ayat dan hadis tersebut, mulut berfungsi untuk berzikir. Dalam pengertian luas, salat juga zikir. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, ada orang yang menggunakan waktu untuk berzikir hanya dalam hitungan menit, tetapi menggunakan waktu untuk merokok jauh lebih lama, padahal berzikir dijamin berpahala, sedangkan merokok?

Berbicara yang Baik

Dalam hubungannya dengan berbicara yang baik, mari kita jadikan pedoman sabda Rasu­lullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Mari kita perhatikan pula hadis berikut.

 “Ucapan yang baik adalah sedekah.” (HR Mutafaq ‘alaih)

Ajaran Islam tentang berbicara yang baik, yang terdapat dalam Alquran dan hadis, semestinya dija­dikan rujukan. Namun, sejak era reformasi seper­tinya terjadi eforia penggunaan mulut.

Tidak hanya orang berpendidikan rendah yang berbicara tanpa mengindahkan tata bahasa dan tata krama, tetapi juga orang berpendidikan tinggi. Sekarang justru makin parah. Cukup banyak “ulama” yang berbeda pendapat pun saling melecehkan. (Baca: “Kesantunan Berbahasa dalam Islam” oleh Mohammad Fakhrudin dan Nidaan Hasana dalam

https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/08/03/kesantunan-berbahasa-dalam-islam/)

Sangat ironis! Pendidikan karakter sepertinya hanya dijadikan slogan. Buktinya, cukup banyak orang berpen­didikan tinggi, tetapi ketika berdebat, sama sekali tidak peduli lagi pada tata krama. Di antara mere­ka ada yang berbicara kasar dan kotor, bahkan, dengan wajah garang, mata melotot, dan menunjuk-nunjuk orang yang diajak bicara meskipun dari segi usia, orang yang diajak ber­bicara lebih tua. Malahan, orang yang diajak berbicara itu jauh lebih berpengalaman dan berilmu.

Lebih memprihatinkan lagi di medsos. Orang dapat berbicara semaunya. Apalagi, di dunia poli­tik. Mereka berbicara terhadap lawan poli­tiknya sangat bebas. Makian pun menjadi bagian dari kata-kata yang digunakannya.

Anehnya, elit politik tampaknya justru bangga dengan kadernya yang berani berbicara kasar dan kotor untuk menjelek-jelekkan kader lawan poli­tik­nya. Hal itu terjadi men­jelang  pil­pres. Bahkan, pilpres sudah berakhir pun saling menjelek­kan terus ber­langsung.

Elit poliltik tidak mungkin ber­ada di belakangnya apalagi membayarnya. Bukan­kah ketika berdiskusi tentang pembangunan ka­rakter bangsa, mereka tampak sangat hebat? Mereka hafal akan 18 butir nilai karakter bangsa Indonesia! Namun, ada perbedaan yang sangat jauh dengan perilaku berbicaranya dalam kehidupan nyata.

Kita perhatikan kasus ini. Jika orang yang menjadi gubernur, bupati, atau walikota bukan dari partai­nya, cacian pun menjadi bagian dari kata-kata yang digunakan untuk mengejek meskipun guber­nur, bupati, atau walikota itu berprestasi. Bukankah perilaku mulut yang demikian bertentangan dengan butir ke-2 nilai karakter, yakni jujur dan butir 12, yaitu menghargai prestasi?

Apa yang dapat kita harapkan dari generasi muda dalam kaitannya dengan berbicara yang baik jika tidak ada keteladanan dari orang tua? Di sekolah murid dididik agar berbicara yang baik. Namun, begitu sampai di jalan, bahkan, sampai di rumah, mereka menyaksikan orang tua berbicara kasar dan kotor. Mungkin juga di rumah, anak dididik orang tuanya untuk berbicara yang baik. Namun, ketika membuka medsos atau keluar rumahnya, mereka mendengar pembica­raan yang tidak baik. Akankah generasi muda kita makin sulit menemukan sosok teladan bicara yang baik?

Berbicara yang baik yang diajarkan dalam Islam sangat banyak. Dalam kajian itu dibahas dua di antaranya, yakni (1) mensyiarkan salam dan (2) saling sapa.

Mensyiarkan Salam

Mengucapkan salam merupakan bagian dari berbicara yang baik. Rasulullah shallallahu a’alaihi wa sallam bersabda,

“Hai umat manusia, syiarkanlah salam, hubungkanlah silaturahim, menjamu makanlah dan salat ma­lam­lah kamu pada waktu orang lain tidur, niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat sejah­tera.” (HR Tirmidzi)

Dari hadis itu kita ketahui bahwa mensyiarkan salam merupakan ibadah. Dikatakan demikian karena mensyiarkan salam merupakan pengamalan perintah Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Sudah kita pahami, bahkan, kita amalkan bahwa mensyiarkan salam dapat kita lakukan dengan mulut, yakni melisankan atau meng­ucapkan salam.

Bagaimana tuntunan mengucapkan salam? Dalam hadis Abu Dawud dijelaskan bagaimana kita mengucapkan salam dan ganjarannya.

“Dari ‘Imran bin Hashin dia berkata, “Datang seorang lelaki kepada Nabi Subhaanahu wa Ta’ala lantas mengatakan,

Assalamu’alaikum

kemudian beliau menjawab salamnya lalu beliau duduk lantas bersabda, “Sepuluh.” Kemudian, datang lelaki lain lantas dia mengucapkan,

Assalamu’alaikum warahmatullah

maka beliau menjawabnya lantas duduk, lalu bersabda, “Dua puluh.” Kemudian, datang lelaki lain lagi seraya mengucapkan,

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

maka beliau menjawabnya lantas duduk, kemudian bersabda, “Tiga puluh.” (HR Abu Dawud)

Berdasarkan hadis tersebut, betapa ruginya jika kita tidak memanfaatkan mulut untuk mengucap­kan salam secara utuh, yang mendatangkan pahala 30 kebaikan. Bukankah kita telah diberi mulut yang dapat kita gunakan dengan sangat mudah untuk mengucapkan salam secara utuh?

Dari segi isi, salam berisi doa. Kita meng­ucapkannya kepada sesama muslim berarti kita mendoa­kan­nya. Menurut kandungan isinya, ada tiga tingkatan, yakni (1) assalamu ‘alaikum berarti semoga keselamatan dari Allah tercurah untukmu; (2) assalamu ‘alaikum warahmatullah berarti semoga kese­la­matan dan kesejahteraan serta rahmat Allah di­lim­pahkan kepadamu, dan (3) assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh berarti semoga keselamatan dan kesejah­teraan, rahmat, dan keber­kahan Allah di­lim­pahkan kepadamu.

Sebagai muslim, kita wajib mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu a’alaihi wa sallam. Bukan­kah kerugian besar jika kita mengucapkan salam hanya dengan, misalnya, salam seperti yang dilakukan oleh pemeluk agama lain. Makin besar lagi keru­gian kita jika ada kesempatan meng­ucapkan salam, tetapi tidak meng­gunakannya. Apalagi, kita meng­gatinya dengan ucapan yang tidak berisi doa se­perti hai atau halo.

Saling Sapa

Kasus yang disajikan pada kajian ini merupakan sebagian hasil pengamatan dan peng­alaman emperik sejak tahun 70-an. Ketika di sekolah ada pendidikan budi pekerti, yang di sekolah Islam lebih dikenal dengan pendidikan akhlak, dalam hubungannya dengan akhlak pergaulan, ada materi, di antara­nya, minta izin jika akan (1) lewat di depan orang tua dan (2) berjalan men­dahului orang tua meskipun tidak saling mengenal. Berke­naan dengan itu, murid pun selalu meng­­ucapkan kata “Maaf” atau “Permisi” tiap akan lewat di depan orang tua le­bih-lebih lagi, me­reka sedang duduk. Kata-kata itu  diucapkannya pula ketika akan berjalan mendahului orang tua.

Melalui pelajaran budi pekerti, diajarkan juga menyapa siapa pun yang selalu atau sering bertemu meskipun tidak dikenal. Sekurang-kurangnya, menyapanya dengan “Mari.” Dengan menya­panya, orang yang disapa pun membalas. Dengan demikian, bertam­bahlah teman, bahkan, saudara. Makin banyak teman atau saudara, hidup bahagia makin terasa.

Kebiasaan saling sapa sepertinya tergerus oleh perilaku tak acuh. Keadaan itu kita rasakan atau kita saksikan jauh sebelum pandemi Covid-19. Perilaku tak acuh itu tampak misalnya ketika naik kendaraan umum atau berada di tempat umum.

Kita saksi­kan  pe­mandangan berupa keasyikan  penum­pang berperilaku tak acuh. Cukup banyak di antara mereka yang sibuk dengan gadget-nya masing-masing. Dengan teman duduk di sebelahnya pun mereka tidak saling sapa.

Ada yang lebih memprihatinkan lagi, yakni  perilaku anak muda (termasuk pelajar dan mahasiswa) ketika naik kendaraan umum yang ada tempat duduknya. Untuk duduk, dia harus lewat di depan penumpang lain yang lebih dahulu duduk. Dia pun lewat di depan penumpang lain itu sambil asyik dengan gadget-nya. Tak terucap kata misalnya, “Maaf. Permisi.” Sering terjadi juga, ketika akan duduk, tas pung­gungnya mengenai wajah penumpang lain. Namun, dia tetap diam. Dia tidak merasa ber­salah. Tidak ada kata “Maaf” terucap.

Di tempat umum pun  saling sapa sangat langka. Ketika mengikuti antrean di apotek, di tempat belanja, di stasiun, di terminal, atau di bandara, misalnya, cukup banyak anak, bahkan orang dewasa, yang tak acuh ter­hadap orang yang ada di dekatnya. Setelah disapa, barulah sadar bahwa orang yang di dekatnya dan menyapanya adalah tetang­ga, atau teman dekat orang tua, bah­kan, sauda­ranya. Dia pun menjawab sapaan itu, tetapi sekadarnya. Lalu, kembalilah dia dengan ke­asyikannya sendiri.

Bagaimana saling sapa di kampung sekarang? Ketika kita bekerja bakti menje­lang per­ingatan HUT Kemerdekaan RI, misalnya, di antara kita ada yang membersihkan rumput, menya­pu, dan/atau mengecat garis jalan sambil jongkok atau duduk. Berapa orang yang lewat, baik yang naik sepeda motor, naik mobil, maupun berjalan, meng­ucapkan “Maaf. Permisi”? Orang dewasa pun sangat sedikit! Apalagi, anak-anak!

Murid kepada guru; mahasiswa kepada dosen, bahkan, tetangga bersebelahan pun saling sapa sangat jarang. ABG apalagi! Kepada orang yang lebih tua, yang tinggal di sebelah rumahnya pun, sangat sedikit di antara mereka yang menyapanya.

Penggunaan mulut untuk menyapa sepertinya berpindah menjadi milik bangsa lain atau bangsa lain memilikinya juga secara turun-temurun dan tetap memeliha­ranya, sedangkan seba­gian bangsa kita tidak memeliha­ranya. Teman-teman yang mempunyai pengalaman bepergian ke luar negeri dengan pesawat, kiranya mempunyai pengalaman yang sama atau hampir sama dalam hal saling sapa. Misalnya, ketika ada penum­pang yang lewat di depan kita untuk ke toilet, mereka selalu mengucapkan “Ecxuse me.” Tidak hanya orang tua, tetapi juga anak kecil, padahal mereka bukan orang Indonesia dan tidak mengenal kita.

Apakah hanya dalam hal berinisiasi menyapa terjadi perubahan yang memprihatinkan? Tidak1 Sering kita dengar, orang menjawab salam dengan sambil lalu dengan “Salam” atau “Kum salam”. Dia tidak sadar bahwa dirinya telah didoakan dan membalas doa itu. Bukan­kah ketika menjawab salam, sesungguhnya kita sedang mendoakan orang yang telah mendoakan. Jadi, pantas­kah kita mengucapkannya sambil lalu apalagi sambil bercanda? Dalam hubungannya dengan menjawab salam, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam QS an-Nisaa (4): 86

“Apabila kamu dihormati dengan sesuatu penghormatan (salam), balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya, Allah memperhi­tungkan segala sesuatu.”

Bagaimana teladan dari Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam? Ada kisah yang sangat menarik untuk kita jadikan pelajaran.

Ketika ‘Aisyah menjawab “doa” kecelakaan bagi Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diucapkan oleh beberapa orang Yahudi, beliau meminta agar ‘Aisyah membiasakan bertutur lemah lembut. Hal itu dijelaskan dalam hadis, yang artinya sebagai berikut.

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam, telah memberi kabar kepada kami Abdul Wahab, dari Ayub, dari Abdillah bin Abi Mulaikah, dari ‘Aisyah raḍiyallahu ‘anha‘ bahwa sesung­guhnya orang-orang Yahudi datang kepada Nabi lalu mengucapkan ka­limat “Assamu ‘alaikum” (matilah kamu atau kecelakaan atasmu), maka lalu ‘Aisyah balik meng­ucapkan ke­pada mereka kalimat “Matilah dan celakalah kamu, lagi Allah melaknat kamu dan Allah murka kepadamu wahai orang-orang Yahudi! Nabi bersabda, “Sabarlah, ‘Aisyah. Biasa­kan lemah lembut dan tinggalkanlah kekerasan dan kekasaran!” ‘Aisyah berkata, “Apakah engkau tidak men­de­ngar apa yang mereka katakan?” Kemudian, beliau (Nabi) bertanya, “Apakah kamu tidak mendengar apa yang aku katakan kepadamu? Aku kembalikan kepada mereka. Lalu, dikabulkan doaku atas mereka, dan tidak dikabulkan doa mereka untuk diriku.” (Baca: “Kesantunan Berbahasa dalam Islam” oleh Mohammad Fakhrudin dan Nidaan Hasana dalam

https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/08/03/kesantunan-berbahasa-dalam-islam/

Dari firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan hadis itu, kita memperoleh pelajaran bahwa kepada orang yang berbuat jahat pun kita harus tetap bersikap lemah-lembut. Kalaupun membalas perlakuan buruk dan ucapan buruk, tidak boleh melebihi dari apa yang kita terima.

Jika menjawab salam pun tidak lagi taat pada tuntunan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, apalagi pada etika pergaulan yang dibangun atas kelaziman yang disepakati oleh sesama manusia. Sering terjadi, ada penumpang yang mengucapkan “Maaf” atau “Permisi” ketika dia akan lewat di depan penumpang lain, tetapi tidak dijawab. Penumpang lain itu tetap asyik dengan gadget-nya!

Berbicara yang Benar

Selain berfungsi untuk berbicara yang baik, mulut berfungsi juga untuk berbicara yang benar. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat al-Ahzab (33): 70,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”

Hamka menafsirkan ayat terse­but sebagai peringatan kepada orang-orang beriman agar memilih kata yang tegas, tepat, jitu, dan jujur ke­tika berbicara. Baru dika­ta­kan iman dan takwanya tumbuh dan berkem­bang jika mereka berbicara de­ngan kata-kata yang makna­nya tersimpan dalam hati­nya. Kata-kata yang berasal dari dorongan hati tidak menyakiti Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Nabi-Nabi, baik Nabi Musa maupun Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan bagi umat Islam, bahkan, rahmat bagi seluruh alam. Beliau sejak belum diangkat sebagai nabi pun, telah diberi gelar sebagai orang yang jujur. Selanjutnya, kita mengenalnya sebagai nabi yang dalam melaksanakan risalah kenabiannya mengamalkan sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Oleh karena itu, menjadi sangat kontradiktif jika dalam pilbup/pilwali, pilgub, pilpres, ada di antara umat Islam yang menjadi saksi palsu.  Sangat ironis jika ada petani, pedagang, seniman/budayawan, ketua RT, ketua RW, lurah/kepala desa, guru, kiai, hakim, jaksa, polisi, penasihat hukum, tentara, dokter, legislator, bupati, camat, walikota, gubernur, presiden atau lainnya, yang beragama Islam, yang berbicara dusta.

Bersedekah

Satu di antara cara bersedekah adalah senyum. Hal itu dijelaskan dalam HR Tirmidzi sebagai berikut. Dari Abu Dzar raiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Senyummu di hadapan saudaramu adalah (bernilai) sedekah bagimu.“ (HR. Tirmidzi)

Berlaku bagi semua orangkah hadis itu: apakah orang yang berharta melimpah pun cukup bersedekah dengan senyum? Tentu lebih sempurna jika mereka ketika bersedekah dengan harta­nya, sedekah itu dilaksanakan dengan tersenyum yang mencerminkan keikhlasannya melaksa­nakan perintah Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Tidak mungkin orang yang tidak mempunyai harta bersedekah dengan hartanya. Mereka justru berhak menerimanya! Na­mun, ajar­an Islam memang sangat memuliakan. Semua amal kebajikan dapat bernilai sedekah sampai-sampai suami menyalurkan syahwatnya kepada istrinya pun bernilai sedekah.

Sudah dikaji secara ilmiah bahwa senyum sangat bermanfaat bagi kesehatan.  Dalam hu­bung­an ini tentu bukan senyum sinis atau senyum hambar. Kedua macam senyum itu bukan senyum sehat.

Desain yang Sempurna

Agar manusia dapat menggunakan mulut sebagaimana dikaji di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’ala mendesain mulut sesuai dengan kebutuhannya. Mulut diletakkan di wajah. Tata letak yang demikian bukan suatu kebetulan, melainkan didesain oleh “Designer” Yang Mahasempurna, Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Dengan tata letak yang demikian, kita dapat mengatakan atau melafalkan apa yang kita lihat. Jika diajak berbicara berse­muka, kita dapat merespon dengan cara berbicara yang pas dan “nyambung”.

Ketika belajar membaca Alquran, kita yang dapat melihat huruf Alquran, selanjutnya dapat melafalkannya berdasarkan apa yang kita lihat itu. Jika diajari mengaji oleh guru mengaji, dengan melihat gerak-gerik, terutama, bibir, lidah, dan gigi, kita pun dapat melafalkan apa yang diajarkan oleh guru mengaji tersebut.

Dengan tata letak mulut yang demikian pula, kita dapat makan dan minum dengan nyaman. Apa yang terjadi jika mulut terletak di kepala bagian belakang, di bagian punggung, di kaki, atau di bagian tubuh lain apalagi yang merupakan bagian aurat?

Bagaimana dengan ukuran mulut? Kita bandingkan ukuran mulut dengan ukuran wajah kita. Betapa sempurnanya! Dengan ukuran mulut yang demikian, komposisi wajah manusia menjadi sangat indah.

Bagaimana pula halnya bagian-bagian mulut? Ada bibir atas dan bawah. Ada giri seri dan gigi gera­ham. Ada lidah dan anak lidah. Juga ada amandel. Pernahkah kita merenung secara serius: adakah pabrik yang mampu menciptakan dan mengurus atau memeliharanya? Tidak ada! Yang mencip­takan, meng­atur, dan meng­urus semua itu bukan manu­sia yang berilmu setinggi apa pun!

Renungkan baik-baik: bagaimana Allah Subhaanahu wa Ta’ala mendesain bibir atas dan bawah; mendesain gigi; mendesain lidah. Sangat sempurna! Lalu, kita renungkan juga bagaimana Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengatur dan memeliharanya.

Pada awalnya, tampak pada kita bahwa mulut berupa bibir atas dan bawah. Ketika mulut kita buka, di dalamnya ada lidah dan anak lidah. Juga ada amandel. Kita yang awam tidak dapat melihat amandel. Kita baru menge­tahuinya ketika menerima penjelasan dari dokter bahwa di mulut kita, anak, cucu atau orang lain ada amandel yang membesar dan perlu dioperasi.

Beberapa lama kemudian, di mulut tampak ada gigi. Gigi tumbuh berurutan. Manusiakah atau me­sin­kah yang menumbuhkan dan mengaturnya? Bukan! Pada usia tertentu, terjadi per­gantian gigi. Manu­siakah atau mesin­kah yang meng­urus atau mengaturnya? Lagi-lagi, kita menjawab, “Bukan!” Manusia tinggal terima ja­di dalam keadaan sangat sempurna! Tentu seiring dengan pe­rkem­bangan fisiknya dan perkembangan fungsi otaknya, manusia dapat merawat gigi dengan baik. Renungkan: apa yang terjadi jika gigi bayi langsung sekeras dan selengkap gigi orang dewasa!

Masih banyak yang perlu kita kaji berkenaan dengan mulut. Namun, sampai air laut habis pun, untuk dijadikan tinta, tidak mungkin rasanya kita dapat mengkajinya secara tuntas. Kita sadar bahwa manusia sangat lemah di hadapan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Ilmu manusia bagaikan setetes air yang jatuh dari ujung telunjuk tangan setelah dicelupkan ke dalam lautan, tetapi  ilmu-Nya luas tak berba­tas!.

Mari kita instrospeksi! Jangan-jangan, orang yang sedikit waktu untuk berzikir; orang yang  berbicara buruk, orang yang tak saling sapa, dan/atau orang yang berbicara dusta, dan orang yang kikir senyum itu adalah anak kita, cucu kita, atau saudara kita! Jangan-jangan, di antara mereka adalah kita sendiri! Naudzubillaahi!

Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota

 

Exit mobile version