Al-Malik, Allah yang Maha Merajai
Al-Malik (dibaca pendek mim-nya, bukan Mâlik) dari segi bahasa berarti raja atau penguasa. Nama terbaik Allah ini mengandung pengertian bahwa Allah SwT itu Maha memiliki kekuasaan, kerajaan, dan kepemilikan. Ketiga cakupan makna al-Malik, jika dirujuk kepada makna dasarnya, yaitu mîm-lâm-kâf, maka sifat ini menunjukkan makna kekuatan dan kesahihan. Karena Maha Kuat, dan tidak mungkin ada yang bisa mengalahkan, maka Allah SwT Maha Kuasa, Maha Merajai, dan Maha memiliki segalanya.
Kekuasaan dan kerajaan Allah itu sempurna dan pasti, tidak terbatas dan lintas batas (lintas waktu atau sepanjang masa, lintas umat dan bangsa, lintas agama dan budaya, limtas alam semesta; dan lintas segalanya). Kekuasaan-Nya itu Maha Tinggi, tidak dapat sentuh dan dipengaruhi oleh siapapun.
Oleh karena itu, sebagai hamba al-Malik (‘abd al-Malik), manusia harus bersikap rendah hati, tidak sombong, tidak semena-mena, dan tidak arogan dengan kekuasaan semu dan sementara yang dimilikinya, seperti kekuasaan politik, jabatan kementerian, kepemimpinan pada sebuah institusi, kepengurusan pada organisasi atau partai, dan sebagainya. Karena Allah, al-Malik, adalah pemberi sekaligus pencabut kekuasaan makhluk-Nya, termasuk kekuasaan manusia yang bersifat duniawi. Selain itu, kekuasaan yang dimiliki manusia itu berpotensi menjadikannya mulia atau sebaliknya terhina.
Kekuasaan semu yang dimiliki manusia hendaknya menjadi sarana atau ladang berinvestasi kebaikan, sehingga menjadikannya mulia; bukan sebaliknya menjadi “aji mumpung” untuk memperkaya diri, melakukan korupsi berjamaah, menjadikan kementerian yang dipimpinnya sebagai “sapi perahan” atau ATM bagi partainya. Penyalahgunaan kekuasaan itu kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari al-Malik.
Perbuatan dan kekuasaan al-Malik tidak ada yang memintai pertanggungjawaban. Al Malik tidak dikecam dan dicacimaki atas segala perbuatan dan kebijaksanaan-Nya. Sebaliknya, manusia wajib mempertanggungjawabkan sikap dan perbuatannya di hadapan al Malik, yang Maha merajai hari perhitungan dan pembalasan amal manusia.
Dengan demikian, mengimani Allah al Malik hendaknya menyadarkan kita semua untuk memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, sehingga kita bersikap mawas diri dan hati-hati (bertakwa) memilih dan menentukan sikap dan perbuatan dalam hidup di dunia yang fana ini. Meneladani sifat al Malik mengharuskan setiap Muslim untuk bersikap sami’na wa atha’na, menjadi hamba yang taat, takwa, shalih, dan mushlih (reformis, selalu memperbaiki) kualitas hidupnya.
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2018